Hukuman Mati di Indonesia Timbulkan Efek Jera
A
A
A
BANDUNG - Kriminolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yesmil Anwar menyatakan, Indonesia perlu memberlakukan hukuman mati di tengah adanya pihak-pihak yang menginginkan hukuman ekstrim itu dicabut.
"Pendapat saya, pro dan kontra hukuman mati ini menjadi sangat klasik dibicarakan, dan selalu digayuti berbagai motif orang membicarakannya," kata Yesmil, kepada wartawan, Senin (9/3/2015).
Saat pemilu misalnya, ada beberapa parpol yang menentang hukuman mati sebagai salah satu bentuk kampanyenya. "Kalau lagi pemilu, parpol-parpol tertentu akan melakukan satu manuver," ungkapnya.
Dalam momen tertentu, para tokoh yang mengaku pembela Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul ke publik dengan reaksi keras menentang hukuman mati, karena dipandang melanggar HAM.
"Menurut hemat saya, marilah kita lihat ini dalam konteks ke-Indonesiaan masa kini. Hari ini apa yang kita lihat hukuman mati itu adalah pertama ada dasar hukumnya, di dalam Pasal 10 KUHP mengenai jenis-jenis hukuman. Selain penjara atau kurungan, juga ada hukuman mati," jelasnya.
Hukuman mati itu diberlakukan bagi para pelaku kejahatan yang sifatnya extra ordinary atau luar biasa. "Hukuman mati ini ada di dalam sistem criminal justice kita yang merupakan hukuman tertinggi pada pelaku kejahatan setelah hukuman seumur hidup," ujarnya.
Tapi, di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan hak hidup tidak diperbolehkan diambil begitu saja. "Artinya ada problema yang bersifat peraturan perundang-undangan. Problema ini tidak terselesaikan karena masalah yang terjadi di dalam masyarakat ini demikian kompleksitasnya tinggi," tutur Yesmil.
Lalu ada hal yang dipertanyakan, terutama dalam kasus narkoba yang bisa berakibat menghilangnya nyawa. Penjahat narkoba begitu enaknya membunuh orang secara tidak langsung. Korban jiwa pun terus berjatuhan.
Sehingga, tidak adil jika penjahat narkoba "kelas atas" tidak dihukum berat. "Pertanyaannya adalah mengapa orang begitu sadis membunuh orang dengan seenaknya, sementara korbannya tidak bisa memberikan reaksi apa-apa. Kontrakdiksi ini yang kita perlu lihat," tegasnya.
Yesmil menilai, hukuman mati adalah langkah efektif untuk memberantas dan mencegah kejahatan yang sifatnya luar biasa.
"Menurut hemat saya, yang harus kita lihat adalah bagaimana hukuman mati itu digunakan untuk bentuk-bentuk kejahatan yang betul-betul efektif apabila itu dilakukan," paparnya.
"Jadi secara umum saya ingin mengatakan hukuman mati itu masih dibutuhkan untuk di negara kita, apalagi kalau kejahatannya extra ordinary seperti narkotika, terorisme, dan juga tidak mustahil untuk kasus korupsi juga dihukum mati," tegasnya.
Karena dalam banyak kasus, para penjahat yang dihukum ringan banyak yang melakukan kembali kejahatan serupa begitu keluar dari penjara. "Jadi menurut saya hal-hal seperti itu yang membuat kita harus berpikir, bahwa hukuman mati masih dibutuhkan untuk proses penjeraan," bebernya.
"Bukan penjeraan bagi yang (dihukum) mati. Tapi penjeraan bagi orang yang akan menjadi calon penjahat dalam konteks itu dan masyarakat merasa lebih nyaman, karena sistem keadilan bisa dipenuhi," pungkas Yesmil.
"Pendapat saya, pro dan kontra hukuman mati ini menjadi sangat klasik dibicarakan, dan selalu digayuti berbagai motif orang membicarakannya," kata Yesmil, kepada wartawan, Senin (9/3/2015).
Saat pemilu misalnya, ada beberapa parpol yang menentang hukuman mati sebagai salah satu bentuk kampanyenya. "Kalau lagi pemilu, parpol-parpol tertentu akan melakukan satu manuver," ungkapnya.
Dalam momen tertentu, para tokoh yang mengaku pembela Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul ke publik dengan reaksi keras menentang hukuman mati, karena dipandang melanggar HAM.
"Menurut hemat saya, marilah kita lihat ini dalam konteks ke-Indonesiaan masa kini. Hari ini apa yang kita lihat hukuman mati itu adalah pertama ada dasar hukumnya, di dalam Pasal 10 KUHP mengenai jenis-jenis hukuman. Selain penjara atau kurungan, juga ada hukuman mati," jelasnya.
Hukuman mati itu diberlakukan bagi para pelaku kejahatan yang sifatnya extra ordinary atau luar biasa. "Hukuman mati ini ada di dalam sistem criminal justice kita yang merupakan hukuman tertinggi pada pelaku kejahatan setelah hukuman seumur hidup," ujarnya.
Tapi, di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan hak hidup tidak diperbolehkan diambil begitu saja. "Artinya ada problema yang bersifat peraturan perundang-undangan. Problema ini tidak terselesaikan karena masalah yang terjadi di dalam masyarakat ini demikian kompleksitasnya tinggi," tutur Yesmil.
Lalu ada hal yang dipertanyakan, terutama dalam kasus narkoba yang bisa berakibat menghilangnya nyawa. Penjahat narkoba begitu enaknya membunuh orang secara tidak langsung. Korban jiwa pun terus berjatuhan.
Sehingga, tidak adil jika penjahat narkoba "kelas atas" tidak dihukum berat. "Pertanyaannya adalah mengapa orang begitu sadis membunuh orang dengan seenaknya, sementara korbannya tidak bisa memberikan reaksi apa-apa. Kontrakdiksi ini yang kita perlu lihat," tegasnya.
Yesmil menilai, hukuman mati adalah langkah efektif untuk memberantas dan mencegah kejahatan yang sifatnya luar biasa.
"Menurut hemat saya, yang harus kita lihat adalah bagaimana hukuman mati itu digunakan untuk bentuk-bentuk kejahatan yang betul-betul efektif apabila itu dilakukan," paparnya.
"Jadi secara umum saya ingin mengatakan hukuman mati itu masih dibutuhkan untuk di negara kita, apalagi kalau kejahatannya extra ordinary seperti narkotika, terorisme, dan juga tidak mustahil untuk kasus korupsi juga dihukum mati," tegasnya.
Karena dalam banyak kasus, para penjahat yang dihukum ringan banyak yang melakukan kembali kejahatan serupa begitu keluar dari penjara. "Jadi menurut saya hal-hal seperti itu yang membuat kita harus berpikir, bahwa hukuman mati masih dibutuhkan untuk proses penjeraan," bebernya.
"Bukan penjeraan bagi yang (dihukum) mati. Tapi penjeraan bagi orang yang akan menjadi calon penjahat dalam konteks itu dan masyarakat merasa lebih nyaman, karena sistem keadilan bisa dipenuhi," pungkas Yesmil.
(san)