Nunggak di RSUP Terancam Dibui

Sabtu, 28 Februari 2015 - 11:50 WIB
Nunggak di RSUP Terancam...
Nunggak di RSUP Terancam Dibui
A A A
BANTUL - Gara-gara tak mampu membayar tagihan biaya perawatan anaknya pada 2009 lalu, pasangan suami istri (pasutri) Muhammad Thosim, 37, dan Siti Munawaroh, 22, terancam masuk penjara.

Pasutri yang tinggal di Dusun Sorogenen, RT 03, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, ini mengaku satu-satunya harta mereka, yakni rumah yang tinggali bersama keluarga adik Thosim bakal disita negara. Jika rumahnya tidak disita, salah satu dari mereka terancam akan merasakan dinginnya lantai di balik jeruji besi.

Kegelisahan keduanya dimulai sejak Rabu (25/2) lalu. Saat Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Jawa Tengah DIY Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) melayangkan surat tagih paksa bernomor PB 14/SUPNS.16.2015. Thosim merasa tidak mampu membayar utang kepada RSUP dr Sardjito sebesar Rp15.781.750 ditambah bunga 10% atau Rp1,5 juta.

Dengan terbata-bataThosim menceritakan bagaimana sampai mereka terlilit utang tersebut. Thosim yang memangku anaknya masih berusia 1,5 tahun, Khalisa, mengakui memiliki utang dengan RSUP dr Sardjito. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah Sorogenen ini mengatakan, pada 2009 lalu, anak pertama mereka, Eva Muribatul Musinah, jatuhsakit.

Eva pun harus dirawat di RSUP dr Sardjito. Dokter memvonis anak perempuan mereka sakit lever sehingga Eva terpaksa dirawat selama sebulan di rumah sakit terbesar di DIY tersebut. “Anak saya dirawat dari tanggal 13 September 2009 sampai 8 Oktober 2009. Namun nyawanya tidak tertolong juga,” tutur Thosim sembari sesekali menyeka air mukanya.

Setelah anaknya wafat, dia langsung mengurus jenazahnya agar cepat dibumikan. Saat itu untuk biaya perawatan selama sebulan mencapai Rp40 juta. Meski sedikit tertolong dengan kartu jaminan sosial (Jamkesos), Thosim tetap diharuskan membayar sisanya. Seperti diketahui, klaim kartu Jamkesos hanya mendapat alokasi tertinggi Rp15 juta sehingga dia masih memiliki tunggakan Rp25 juta.

Oleh pihak rumah sakit, jenazah anaknya diperkenankan dibawa pulang dengan syarat Thosim membayar uang jaminan Rp3 juta. Setelah membayar uang jaminan itu, anaknya bisa dibawa pulang dan langsung dibumikan. “Saya pikir tidak ada masalah lagi karena sudah boleh pulang,” ujarnya polos.

Selang beberapa waktu, dia mendapat surat panggilan untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Thosim lantas menghadap ke manajemen rumah sakit bersama kakaknya yang merupakan ketua rukun tetangga (RT). Di rumah sakit mereka berdua membayar Rp5 juta dan mengatakan tetap tidak bisa melunasi urusan administrasi ini.

Akhirnya, keduanya kembali ke rumah setelah mendapat penjelasan dari rumah sakit jika tidak diselesaikan, urusan tersebut akan ditangani Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Setelah sekian lama tidak ada kabar, tanggal 22 Januari 2015 lalu, dirinya mendapat surat panggilan dari Kantor Lelang untuk membayar utang dengan RSUP dr Sardjito.

“Saya datang lagi sama kakak saya,”tambah laki-laki yang bekerja sebagai buruh bangunan ini. Saat ditelepon dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, mereka diminta membawa fotokopi surat jaminan dan surat keterangan tidak mampu. Mereka pikir persoalan itu sudah selesai ketika sudah menyerahkan fotokopi kartu jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan surat keterangan tidak mampu sehingga pasangan ini tenang-tenang saja.

Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, Thosim mengaku disuguhi beberapa pertanyaan dan sejumlah berkas yang harus ditandatangani. Oleh seorang pegawai kantor itu, Thosim ditanya pekerjaannya apa dan penghasilannya berapa dalam sehari. Setelah itu, dia disuruh tanda tangan sekitar 10 lembar kertas.

Tanpa curiga berkas ditandatangani tanpa membacanya terlebih dulu karena petugas telah membacakan bagian atas kertas tersebut. “Ya saya tanda tangan saja, tidak tahu isinya apa,” katanya. Namun pada Rabu (25/2) lalu, Thosim mendapat surat tagih paksa dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.

Dari surat itu diketahui mereka harus segera membayar utang kepada RSUP dr Sardjito sebesar Rp15 juta ditambah bunga Rp1,5 juta. Dalam surat itu, kata dia, jika tidak bersedia membayar akan dilakukan penyitaan atau paksa badan alias dipenjara. Setelah dicermati, dalam surat tagih paksa tersebut ada surat lampiran berisi tentang kesanggupannya membayar utang itu.

Bila tidak, sesal dia, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang akan menyita jaminan yang digunakan dalam utang itu. Padahal Thosim tidak pernah merasa memberikan surat jaminan, baik berupa sertifikat tanah atau apapun kepada pihak RSUP dr Sardjito atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.

“Surat kesanggupan tersebut ada tanda tangan saya,” katanya lirih. Dia menduga dalam tumpukan kertas yang ditandatangani tersebut adalah surat kesanggupan itu. Hanya dia tetap merasa tidak menandatangani karena petugas di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang tidak pernah memberitahukan atau membacakan surat yang harus ditandatangani.

Selain itu, dia tidak pernah membaca surat kesanggupan tersebut. Sebagai buruh bangunan dengan penghasilan Rp50.000 per hari, Thosim mengaku tidak sanggup jika disuruh membayar seluruh utangnya tersebut. Dia meminta ada keringanan lantaran keluarganya benar-benar dari keluarga tidak mampu.

Thosim tidak tahu harus minta tolong ke mana untuk menyelesaikan persoalan keluarganya itu. “Jangankan membayar utang Rp15 juta dan bunganya. Yang Rp5 juta untuk nyicil di RSUP dr Sardjito dulu sampai sekarang juga belum lunas,” katanya. Dikonfirmasi, Kepala Humas RSUP dr Sardjito Tresno Heru mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya hal itu ke negara.

Untuk memutuskan apakah akan ditagih atau tidak, semuanya sudah ditangani Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Untuk memutihkan, kata dia, tampaknya tidak mungkin karena pihak rumah sakit memiliki bukti. Mereka tidak akan salah jika nanti ada audit ke rumah sakit. “Biaya pasien tersebut masuk dalam pendapatan dan masuk dalam operasional rumah sakit,” katanya.

DPRD DIY Akan Turun Tangan

Terpisah, anggota Komisi D DPRD DIY Hamam Mutaqien berpendapat perlu menelusuri kasus itu secara detail. Dia menduga ada proses yang dilalui secara janggal, seperti menandatangani kewajiban yang sebenarnya tidak diketahui.

Menurut Hamam, terkadang seseorang hanya diminta tanda tangan tapi tidak mengetahui substansi yang ditanda tangani. “Terlepas dijebak atau tidak tahu substansi, kronologi kasus harus ditelusuri secara riil,” katanya di Gedung DPRD DIY, kemarin.

Politikus PAN ini mengungkapkan, dari perspektif hukum ketika seseorang sudah menandatangani berita acara pelunasan memang sudah kalah. “Tapi hukum juga harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan,” kata Hamam.

Dalam aspek kemanusiaan, ujar dia, seseorang wajib mendapatkan perlindungan oleh negara. Seseorang perlu mendapatkan advokasi. Dalam konteks kemanusiaan, negara harus turun tangan,” kata politikus asal Kulonprogo ini. Dia menilai di lingkup Pemda DIY ada beberapa instansi yang bisa dilibatkan dalam advokasi tersebut antara lain Dinas Kesehatan, Dinas Sosial serta Biro Kesejahteraan Rakyat.

Mereka harus berperan aktif demi kemanusiaan,” katanya. Komisi D yang membidangi kesejahteraan rakyat pun akan turun tangan menanggapi kasus tersebut. “Kami akan tindak lanjuti jika ada laporan dari masyarakat atau bahkan berperan aktif dengan mengundang pihak terkait, termasuk korban,” katanya.

Erfant linangkung/ ridwan anshori
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1171 seconds (0.1#10.140)