Bantu Petani Tingkatkan Produktivitas Tanaman
A
A
A
YOGYAKARTA - Indonesian Science Project Olympiade (ISPO) kembali dihelat. Dalam kompetisi tahunan yang digelar 16–18 Februari 2015 di Jakarta tersebut, perwakilan DIY berhasil membawa pulang satu medali emas. Mereka merupakan dua siswi kelas XI SMA Kesatuan Bangsa Yogyakarta.
Berada di tim perlombaan bidang Rekayasa Teknologi untuk ISPO 2015, Nabila Zabrajad Assyahidah dan Kim Yoo Min tidak menyangka mampu meraih emas. Penelitian mereka ialah sistem cerdas pengairan tanaman C3 menggunakan sensor kelembaban tanah berbasis jaringan nirkabel.
”Awalnya kami hanya ingin membuat sebuah penelitian yang berguna dengan memanfaatkan teknologi. Kami pun mendapat masukan dari pembimbing untuk menerapkannya di bidang pertanian. Apalagi dengan data BPS di mana Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang memiliki pertanian terbesar,” ujar Nabila.
Saat mereka mengumpulkan data awal, diketahui jika sistem irigasi pertanian di Indonesia kebanyakan masih menggunakan sistem sederhana, tanpa aplikasi teknologi. Berangkat dari kondisi tersebut, mereka pun mulai merancang alat irigasi cerdas yang bekerja otomatis.
”Sistem irigasi juga menentukan maksimalnya kualitas dan kuantitas produktivitas tanaman. Kebutuhan kelembaban tanah berbeda-beda untuk tiap jenis tanaman. Misalnya, padi butuh kelembaban 40–60%, kentang 80–90%, kedelai 60–70%, atau gandum 30–40%. Dalam hal inilah alat kami ini bekerja,” kata Nabila.
Menurut Nabila, proses penelitian mereka dimulai sejak Oktober 2014 hingga Januari 2015 lalu. Komponen utama pada alat mereka ialah mikrokontroler dan jaringan nirkabel. Biaya yang mereka keluarkan hingga alat jadi senilai Rp700.000. Kim menjelaskan, inti kerja alat mereka tersebut ialah pemanfaatan air yang efisien dan optimal sekaligus mengurangi tenaga manusia.
Alat irigasi otomatis tersebut terbagi menjadi dua yakni node atau pengirim dan koordinator atau penerima. Pada node, tersambung sensor yang digunakan untuk mendeteksi kelembaban tanah yakni dengan cara menanamnya pada tanah. ”Node sendiri diletakkan di sawah atau kebun, sedangkan koordinator diletakkan di dekat sumur. Kondisi kelembaban tanah yang terukur akan dikirimkan oleh node ke koordinator.
Jika kelembaban tanah kurang dari seharusnya, koordinator akan dengan otomatis menyalakan sakelar untuk mengalirkan air hingga kelembaban mencapai ideal,” katanya. Diungkapkan Kim, jarak antara node dan koordinator maksimal 1,6 km agar sensor kelembaban tanah bisa diterima dengan baik. Node sendiri mereka rancang menggunakan tenaga baterai, sedangkan koordinator menggunakan listrik.
Alat tersebut baru merupakan prototipe sehingga masih butuh pengembangan. Namun, dibandingkan dengan alat serupa yang sudah ada, alat mereka memiliki kelebihan. ”Alat kami bisa diberi cabang. Maksudnya, dengan satu node dan satu koordinator bisa mendeteksi kelembaban beberapa area sawah hanya dengan menyambungkan beberapa sensor pada node. Selain itu, alat kami ini telah dilengkapi layar LCD pada koordinator sehingga angka persentase kelembaban bisa dimunculkan dan layar ini juga untuk digunakan memilih jenis tanaman apa yang ingin dideteksi,” paparnya.
Dengan prestasi yang telah mereka raih di ISPO 2015, Kemendikbud menunjuk mereka untuk mewakili Indonesia ke ajang Mostratech 2015 di Rio de Jeneiro, Brazil. Mereka berharap mampu mewakili Indonesia dengan baik dan membawa pulang kemenangan.
Ratih Keswara
Berada di tim perlombaan bidang Rekayasa Teknologi untuk ISPO 2015, Nabila Zabrajad Assyahidah dan Kim Yoo Min tidak menyangka mampu meraih emas. Penelitian mereka ialah sistem cerdas pengairan tanaman C3 menggunakan sensor kelembaban tanah berbasis jaringan nirkabel.
”Awalnya kami hanya ingin membuat sebuah penelitian yang berguna dengan memanfaatkan teknologi. Kami pun mendapat masukan dari pembimbing untuk menerapkannya di bidang pertanian. Apalagi dengan data BPS di mana Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang memiliki pertanian terbesar,” ujar Nabila.
Saat mereka mengumpulkan data awal, diketahui jika sistem irigasi pertanian di Indonesia kebanyakan masih menggunakan sistem sederhana, tanpa aplikasi teknologi. Berangkat dari kondisi tersebut, mereka pun mulai merancang alat irigasi cerdas yang bekerja otomatis.
”Sistem irigasi juga menentukan maksimalnya kualitas dan kuantitas produktivitas tanaman. Kebutuhan kelembaban tanah berbeda-beda untuk tiap jenis tanaman. Misalnya, padi butuh kelembaban 40–60%, kentang 80–90%, kedelai 60–70%, atau gandum 30–40%. Dalam hal inilah alat kami ini bekerja,” kata Nabila.
Menurut Nabila, proses penelitian mereka dimulai sejak Oktober 2014 hingga Januari 2015 lalu. Komponen utama pada alat mereka ialah mikrokontroler dan jaringan nirkabel. Biaya yang mereka keluarkan hingga alat jadi senilai Rp700.000. Kim menjelaskan, inti kerja alat mereka tersebut ialah pemanfaatan air yang efisien dan optimal sekaligus mengurangi tenaga manusia.
Alat irigasi otomatis tersebut terbagi menjadi dua yakni node atau pengirim dan koordinator atau penerima. Pada node, tersambung sensor yang digunakan untuk mendeteksi kelembaban tanah yakni dengan cara menanamnya pada tanah. ”Node sendiri diletakkan di sawah atau kebun, sedangkan koordinator diletakkan di dekat sumur. Kondisi kelembaban tanah yang terukur akan dikirimkan oleh node ke koordinator.
Jika kelembaban tanah kurang dari seharusnya, koordinator akan dengan otomatis menyalakan sakelar untuk mengalirkan air hingga kelembaban mencapai ideal,” katanya. Diungkapkan Kim, jarak antara node dan koordinator maksimal 1,6 km agar sensor kelembaban tanah bisa diterima dengan baik. Node sendiri mereka rancang menggunakan tenaga baterai, sedangkan koordinator menggunakan listrik.
Alat tersebut baru merupakan prototipe sehingga masih butuh pengembangan. Namun, dibandingkan dengan alat serupa yang sudah ada, alat mereka memiliki kelebihan. ”Alat kami bisa diberi cabang. Maksudnya, dengan satu node dan satu koordinator bisa mendeteksi kelembaban beberapa area sawah hanya dengan menyambungkan beberapa sensor pada node. Selain itu, alat kami ini telah dilengkapi layar LCD pada koordinator sehingga angka persentase kelembaban bisa dimunculkan dan layar ini juga untuk digunakan memilih jenis tanaman apa yang ingin dideteksi,” paparnya.
Dengan prestasi yang telah mereka raih di ISPO 2015, Kemendikbud menunjuk mereka untuk mewakili Indonesia ke ajang Mostratech 2015 di Rio de Jeneiro, Brazil. Mereka berharap mampu mewakili Indonesia dengan baik dan membawa pulang kemenangan.
Ratih Keswara
(bhr)