Warga Minta Shelter di Jalan Pahlawan
A
A
A
SEMARANG - Warga yang setiap hari melintasi Jalan Pahlawan meminta pemerintah membangun shelter Bus Rapid Transit (BRT) di wilayah tersebut.
Meski sudah lama dilintasi BRT Trans Semarang Koridor III, namun tidak ada satu pun shelter di kawasan itu. Faisol, 26, misalnya, salah satu mahasiswa Undip Semarang itu mengaku heran dengan tidak adanya shelter di jalan Pahlawan. Padahal menurutnya, lokasi tersebut sangat strategis karena selalu ramai aktivitas masyarakat.
“Heran juga, kenapa tidak ada shelter di lokasi ini (jalan Pahlawan). Padahal jalan ini selalu ramai karena berada di areal perkantoran,” kata dia. Warga Banyumanik ini memilih menggunakan angkutan kota biasa, padahal menurutnya, dirinya juga ingin menaiki BRT yang lebih nyaman daripada angkutan kota.
“Tapi kalau naik BRT turunnya terlalu jauh, jadi saya memilih menaiki angkot meskipun tidak nyaman dan kadang harus mengetem lama,”ujar Faisol. Dia berharap Pemkot Semarang terutama BLU Trans Semarang membangun shelter di jalan tersebut. Sebab, hal itu dirasa akan sangat membantu masyarakat yang sehari-hari mengandalkan angkutan untuk beraktivitas. Menurut pakar Transportasi Publik Semarang Djoko Setijowarno, tidak adanya shelter di Jalan Pahlawan merupakan sebuah ironi.
Lokasi itu merupakan lingkungan perkantoran yang seharusnya dibangun banyak shelter untuk mendorong para pegawai menaiki transportasi umum itu. “Yang saya tahu, tidak adanya shelter BRT di lokasi itu karena para pejabat yang berkantor di Jalan Pahlawan enggan dibangun shelter di depan kantor mereka. Mungkin bagi mereka, shelter dapat membuat kumuh dan mengganggu pandangan ke kantor mereka,” kata dia.
Stigma transportasi umum adalah transportasi orang melarat lanjut Djoko masih melekat di pikiran sebagian orang. Para pejabat dan orang-orang kaya masih merasa berwibawa jika bepergian menggunakan kendaraan pribadi yang mewah. “Padahal di negara lain yang lebih maju, pejabat dan orangorang kaya itu berebut untuk dibangun halte di depan kantor mereka. Selain lebih hemat, penggunaan kendaraan umum juga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi para pegawainya sehingga lahan parkir dapat dimanfaatkan untuk hal yang lebih berguna,” ungkap Djoko.
Pemkot harus segera melakukan pembicaraan dengan para pejabat yang berkantor di Jalan Pahlawan untuk merealisasikan pembangunan shelter di lokasi itu. Dengan begitu, tak hanya membantu masyarakat yang sering beraktivitas di sana, juga dapat dijadikan program percontohan bagi para pejabat untuk mulai menggunakan transportasi umum.
“Kalau pejabatnya saja mau menggunakan BRT, maka masyarakat juga akan meniru. Sehingga, kemacetan di Kota Semarang pasti akan terselesaikan,” pungkasnya.
Andika prabowo
Meski sudah lama dilintasi BRT Trans Semarang Koridor III, namun tidak ada satu pun shelter di kawasan itu. Faisol, 26, misalnya, salah satu mahasiswa Undip Semarang itu mengaku heran dengan tidak adanya shelter di jalan Pahlawan. Padahal menurutnya, lokasi tersebut sangat strategis karena selalu ramai aktivitas masyarakat.
“Heran juga, kenapa tidak ada shelter di lokasi ini (jalan Pahlawan). Padahal jalan ini selalu ramai karena berada di areal perkantoran,” kata dia. Warga Banyumanik ini memilih menggunakan angkutan kota biasa, padahal menurutnya, dirinya juga ingin menaiki BRT yang lebih nyaman daripada angkutan kota.
“Tapi kalau naik BRT turunnya terlalu jauh, jadi saya memilih menaiki angkot meskipun tidak nyaman dan kadang harus mengetem lama,”ujar Faisol. Dia berharap Pemkot Semarang terutama BLU Trans Semarang membangun shelter di jalan tersebut. Sebab, hal itu dirasa akan sangat membantu masyarakat yang sehari-hari mengandalkan angkutan untuk beraktivitas. Menurut pakar Transportasi Publik Semarang Djoko Setijowarno, tidak adanya shelter di Jalan Pahlawan merupakan sebuah ironi.
Lokasi itu merupakan lingkungan perkantoran yang seharusnya dibangun banyak shelter untuk mendorong para pegawai menaiki transportasi umum itu. “Yang saya tahu, tidak adanya shelter BRT di lokasi itu karena para pejabat yang berkantor di Jalan Pahlawan enggan dibangun shelter di depan kantor mereka. Mungkin bagi mereka, shelter dapat membuat kumuh dan mengganggu pandangan ke kantor mereka,” kata dia.
Stigma transportasi umum adalah transportasi orang melarat lanjut Djoko masih melekat di pikiran sebagian orang. Para pejabat dan orang-orang kaya masih merasa berwibawa jika bepergian menggunakan kendaraan pribadi yang mewah. “Padahal di negara lain yang lebih maju, pejabat dan orangorang kaya itu berebut untuk dibangun halte di depan kantor mereka. Selain lebih hemat, penggunaan kendaraan umum juga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi para pegawainya sehingga lahan parkir dapat dimanfaatkan untuk hal yang lebih berguna,” ungkap Djoko.
Pemkot harus segera melakukan pembicaraan dengan para pejabat yang berkantor di Jalan Pahlawan untuk merealisasikan pembangunan shelter di lokasi itu. Dengan begitu, tak hanya membantu masyarakat yang sering beraktivitas di sana, juga dapat dijadikan program percontohan bagi para pejabat untuk mulai menggunakan transportasi umum.
“Kalau pejabatnya saja mau menggunakan BRT, maka masyarakat juga akan meniru. Sehingga, kemacetan di Kota Semarang pasti akan terselesaikan,” pungkasnya.
Andika prabowo
(ars)