Polemik Salat di Tiga Waktu Bisa Picu Kebencian
A
A
A
SURABAYA - Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminatif (JIAD) Jawa Timur Aan Anshori menganggap polemik salat di tiga waktu harus segera diselesaikan dengan cara dialog karena bisa memicu kebencian.
"Saya kuatir situasi ini akan dimanfaatkan oleh kekuatan intoleran yang mau mengacak-cak Kabupaten Jombang. Kepada para tokoh agama dan masyarakat untuk tidak terprovokasi yang ingin menyebar kebencian dengan kelompok lain," kata Aan, Rabu (17/2/2015).
Dia menjelaskan, terkait salat di tiga waktu ini memang terjadi perbedaan di kalangan ahli Fiqih.
Salat di tiga waktu yang dimaksud adalah penggabungan salat atau jamak yang menggabungkan salat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.
Ada pendapat yang menyatakan penggabungan salat itu boleh dilakukan namun dengan ketentuan seperti sakit, dalam perjalanan atau yang lain.
"Ada kelompok lain yang memiliki argumentasi yang kuat bahwa Nabi pernah melakukan penggabungan salat tanpa terpenuhinya syarat-syarat syar'i itu. Pendapat ini juga kredibel dan argumentasi yang kuat," jelas Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdhotul Ulama (ISNU) ini.
Aan menyebut, perbedaan dalam aspek Fiqihiyyah merupakan hal yang wajar dalam spektrum hukum Islam.
Namun demikian dalam konteks konteks konstitusi yang menjamin kuat kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana pada Pasal 28e UUD 1945.
Permasalahan ini sedapat mungkin disikapi secara dewasa dan mengedepankan dialog. Penyikapan yang bersifat menghakimi dalam bentuk penyesatan justru akan menciptakan situasi yang kontraproduktif bagi kondusivitas Jombang.
"Semua pihak perlu mengedepankan sikap Tawassuth (moderat), Tawazzun (proporsional), dan itidal (bersikap adil) dalam menyikapi polemik salat di tiga waktu itu," pungkasnya.
"Saya kuatir situasi ini akan dimanfaatkan oleh kekuatan intoleran yang mau mengacak-cak Kabupaten Jombang. Kepada para tokoh agama dan masyarakat untuk tidak terprovokasi yang ingin menyebar kebencian dengan kelompok lain," kata Aan, Rabu (17/2/2015).
Dia menjelaskan, terkait salat di tiga waktu ini memang terjadi perbedaan di kalangan ahli Fiqih.
Salat di tiga waktu yang dimaksud adalah penggabungan salat atau jamak yang menggabungkan salat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.
Ada pendapat yang menyatakan penggabungan salat itu boleh dilakukan namun dengan ketentuan seperti sakit, dalam perjalanan atau yang lain.
"Ada kelompok lain yang memiliki argumentasi yang kuat bahwa Nabi pernah melakukan penggabungan salat tanpa terpenuhinya syarat-syarat syar'i itu. Pendapat ini juga kredibel dan argumentasi yang kuat," jelas Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdhotul Ulama (ISNU) ini.
Aan menyebut, perbedaan dalam aspek Fiqihiyyah merupakan hal yang wajar dalam spektrum hukum Islam.
Namun demikian dalam konteks konteks konstitusi yang menjamin kuat kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana pada Pasal 28e UUD 1945.
Permasalahan ini sedapat mungkin disikapi secara dewasa dan mengedepankan dialog. Penyikapan yang bersifat menghakimi dalam bentuk penyesatan justru akan menciptakan situasi yang kontraproduktif bagi kondusivitas Jombang.
"Semua pihak perlu mengedepankan sikap Tawassuth (moderat), Tawazzun (proporsional), dan itidal (bersikap adil) dalam menyikapi polemik salat di tiga waktu itu," pungkasnya.
(sms)