Tambang Ilegal di Merapi Ada Sejak 1980

Selasa, 17 Februari 2015 - 10:44 WIB
Tambang Ilegal di Merapi...
Tambang Ilegal di Merapi Ada Sejak 1980
A A A
SLEMAN - Penambangan material berupa pasir dan bebatuan di Kali Gendol, Lereng Gunung Merapi, ada sejak lama. Penambangan yang masuk kategori galian C itu dilakukan masyarakat tanpa mengantongi izin dari pemerintah setempat, yakni Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman.

Kepala Desa Kepoharjo Heri Suprapto menyampaikan, pengambilan sirtu (pasir dan batu) sudah ada sekitar tahun 1980-an. Sebelum tahun tersebut juga sudah ada, tapi tak begitu banyak yang melakukan penambangan material.

"Pengerukan sirtu di Kali Gendol itu sudah ada sejak tahun 1980-an. Tahun 2004 meletus, material makin banyak, belum habis, meletus lagi kemarin tahun 2010," kata Heri Suprapto ditemui di Balai Desa Kepoharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Selasa (17/2/2015).

Pada erupsi 2010, kata Heri, material Merapi seperti batu besar dan pasir tak hanya menutup kedalaman jurang aliran Kali Gendol, tetapi meluas hingga lahan, pekarangan, rumah serta kebun milik penduduk setempat.

Masyarakat yang notabene bekerja di sektor pertanian dan peternakan menjadi lumpuh total karena lahan dan tempat tinggal mereka rata tertutup material Merapi.

"Saat darurat Merapi 2010 lalu, Bupati Sleman (Sri Purnomo) mengeluarkan rekomendasi pengerukan material Merapi sebagai upaya normalisasi lahan," paparnya.

Terdapat empat Desa, mulai Kepoharjo, Glagaharjo, Argomulyo, dan Wukirsari yang direkomendasikan untuk diambil material Merapi. Seiring waktu, tiga desa kecuali Kepoharjo (aliran Kali Gendol) di beberapa pedukuhan sudah selesai normalisasi sehingga rekomendasi penambangan yang masuk galian C tersebut dicabut pemerintah.

"Itu yang aliran sungai, kalau lahan dan permukiman warga masih tertutup material. Makanya, penambangan dilakukan oleh warga atas kesepakatan bersama."

Heri menyampaikan, ada larangan dari Pemerintah Pusat diteruskan Pemda DIY hingga tataran Kelurahan/ Desa.

Warga dilarang menempati zona bahaya, yakni radius 15 kilometer dari puncak Merapi sebagai tempat tinggal atau hunian tetap. Sehingga, masyarakat yang sebelumnya tinggal di zona larangan tidak lagi menempati lahan mereka sebagai tempat tinggal, pasca erupsi 2010.

Solusinya, Pemkab Sleman membuatkan tempat tinggal di beberapa Hunian Tetap (Huntap) yang berada di luar zona bahaya. Kini, warga yang sebelumnya tinggal di zona bahaya lereng Merapi, sudah tak ada lagi.

Masalahnya, aset tanah milik warga yang terkena erupsi ini masih menjadi tarik ulur pemerintah dan pemilik lahan. Pemilik lahan tetap menggunakan tanah-tanah mereka meski hanya ditanam rumput gajah sebagai pakan ternak. Banyak di antara mereka yang mengeruk material untuk dijual.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2754 seconds (0.1#10.140)