Petisah, Kejayaan Petojo Isj dan Pajak Bundar
A
A
A
Kawasan Petisah, Medan, tumbuh pesat sebagai kota berbasis jasa dan perdagangan. Jangan heran kalau wilayah yang kini menjadi kecamatan ini berdiri bangunan mewah, gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan, gedung pemerintahan, dan lokasi modern lainnya.
Petisah juga memiliki pasar tradisional yang cukup terkenal. Tidak banyak referensi bisa ditemukan soal sebutan Petisah ini bermula. Tapi istilah Petisah, jauh lebih dulu ada dibandingkan Kecamatan Medan Petisah yang dibentuk pada 1991, hasil pemekaran dari Kecamatan Medan Baru.
Satu-satunya argumentasi soal asal-usul nama Petisah disebutkan, dulunya di kawasan Petisah atau kini Jalan Jenderal Gatot Subroto, banyak terdapat depot atau pabrik es batu batangan (balok). Diketahui pada masa penjajahan, Belanda memang membangun berbagai industri untuk memenuhi kebutuhan mereka, es merupakan salah satunya yang diproduksi Petojo Ijs .
Petojo Ijs merupakan pabrik buatan Belanda yang dibangun di wilayah Jakarta. Depot Es Petojo yang awalnya dibuat di daerah Petojo Jakarta, namun dengan meluasnya daerah jajahan Belanda, pabrik es tersebut menyebar di Cilacap, Yogyakarta, dan beberapa daerah lain, termasuk Medan.
Nama Petojo Ijs pun sampai ke Medan. Depot es balok dan peti-peti berbentuk kotak papan yang di dalamnya dilapis seng banyak ditemukan di kawasan itu. Mungkin dari sana, istilah Petisah itu muncul. Bagi Anda yang kelahiran 1980 ke atas mungkin kurang mengetahui bahwa di Medan dahulunya ada perusahaan es batu batangan (balok) atau Petijo Ijs yang begitu berjaya.
Sebelum 1987 Petijo Ijs yang diproduksi PT Sari Petojo sangat dikenal karena masyarakat yang ingin menikmati hidangan makanan dan minuman dingin dengan campuran es batu harus membeli ke satusatunya perusahaan es pada masa itu. Tidak diketahui pasti tahun berdiri Petojo Ijs di Medan.
Akan tetapi, kehadiran Petojo Ijs bukan hanya dirasakan warga Medan saja karena penjualan es mencapai wilayah Deliserdang, Serdangbedagai, Binjai, Langkat dan beberapa wilayah lainnya. Permintaan Petojo Ijs sangat tinggi dari masyarakat sehingga Sari Petojo melakukan ekspansi dengan membangun perusahaan di Tebingtinggi.
Adapun gedung PT Sari Petojo terdapat di Jalan S Parman Medan yang kini telah dirubuhkan dan berganti dengan Kompleks Pertokoan Medan Bisnis Center (MBC). Dulu, Sari Petojo tidak sertamerta mendapat dukungan warga sekitar karena beroperasi 24 jam dengan mengeluarkan suara cukup bising.
Warga terkadang merasa terganggu dan melakukan protes. Namun, keramahan dari pengusaha dan tidak pernah lupa memberikan sumbangan setiap Idul Fitri dan hari-hari besar lainnya membuat warga tidak perah mengusik keberadaannya.
Salah seorang istri karyawan di Sari Petojo Medan, Saleha Lubis, 79, mengatakan, Petojo Ijs menghasilkan es balok dengan menggunakan air yang mengalir dari Sungai Babura. Dimana saat itu air Sungai Babura memiliki kejernihan yang baik, dan biasa digunakan sebagai air minum.
Air tersebut diambil melalui mesin yang menyerupai kincir, kemudian mengalir ke pendingin perusahaan dan diproses selanjutnya dimasukkan ke dalam peti sesuai dengan tuangan es batu. Setelah menjadi es batu, segera dikirim ke tujuan yang sudah memesan dengan menggunakan truk besar.
Menurut dia, suaminya mulai bekerja di Petojo Ijs sejak 1953 dimana perusahaan tersebut sedang berjaya. Biasa para karyawan Petojo Ijs tinggal di rumah yang disediakan di dekat pabriknya.
“Luas pabrik dan perumahan hampir dua hektare. Sebagai istri karyawan kami tinggal di perumahan. Pabrik beroperasi hampir 24 jam dengan jadwal kerja shift malam dan siang karena permintaan sangat tinggi. Dulu jumlah karyawan sekitar 100 orang, Alhamdulillah kami cukup sejahtera dan disediakan perumahan,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN , baru-baru ini.
Seperti kalimat bijak, semua ada masanya, begitu juga dengan Petojo Ijs. Pada 1975 mulai mengalami penurunan dan pada 1978 tidak beroperasi lagi. Banyak alasan penghentian operasi, tetapi yang jelas pabrik es sudah tidak memberikan keuntungan lagi.
Booming kulkas di awal 1975 membuat warga sangat gampang membuat es batu sendiri serta air Sungai Babura tidak jernih lagi, termasuk pasokan energi listrik kian sulit diperoleh memaksa perusahaan ini gulung tikar. Soal keruhnya air Sungai Babura disebabkan meningkatnya populasi penduduk di bantaran sungai yang berdampak meningkatnya warga pengguna sungai tersebut.
Warga mencuci pakaian di sungai, ditambah lagi banyak pabrik yang membuang limbah ke sungai. Walau demikian, ada juga penyebab internal Sari Petojo yang membuat perusahaan ini tutup. Diduga ada penyimpangan keuangan yang dilakukan karyawannya.
Pengamat sosial perkotaan dari Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suriadi, mengatakan, kawasan Petisah awalnya berada di sekitar Bundaran Majestik, termasuk Jalan Letjen S Parman sekarang, sampai ke jembatan Jalan Kapten Maulana Lubis (arah ke Kantor Wali Kota Medan).
Kawasan tersebut merupakan pusat perdagangan yang paling ramai. Kemudian saat Taman Ria didirikan pada 1970, dibangunlah pasar yang kini menjadi Pasar Petisah. “Itu pun setelah Pusat Pasar dikembangkan terlebih dahulu dengan Olimpia,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN , belum lama ini.
Menurut Sejarawan Kota Medan, Muhammad To’ Wan Haria atau yang biasa disapa TWH, tidak ada bangunan bersejarah berada di Kecamatan Medan Petisah. Namun, nama kecamatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Taman Ria Medan atau yang juga biasa disebut Medan Fair, yang mulai 2002 lalu menjadi Plaza Medan Fair.
“Di kawasan Kecamatan Medan Petisah sekarang, yang dulu terkenal itu Medan Fair sejak sekitar tahun 1972. Kawasan itu paling ramai dan paling top di masanya. Tidak banyak toko-toko yang berubah kecuali bangunannya sekarang. Yang berubah paling hanya bangunan Pajak (pasar) Petisah yang dulunya cuma dua tingkat. Untuk bangunan bersejarah, seingat saya tidak ada,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN , belum lama ini.
Kendati saat ini Pasar Petisah jadi salah satu ikon kecamatan tersebut, sekitar tahun 1950-an Pajak Bundar yang berlokasi di sekitar jembatan Jalan Guru Patimpus merupakan pusat kegiatan jual beli di wilayah tersebut. Disebut Pajak Bundar, kata TWH, karena pasar tersebut berbentuk lingkaran.
Sayang, pesatnya pembangunan dan karena pelebaran jalan serta faktor lain, pasar tersebut hilang sekitar 1980-an. Barulah sekitar tahun 1980-an, Pajak Petisah dibangun dengan bangunan dua tingkat yang mengalami perubahan dan tetap berdiri dan ramai hingga sekarang. Di kecamatan tersebut, terdapat pula pemakaman untuk etnis Tionghoa , yakni di lokasi yang sekarang berdiri Mal Palladium dan Plaza Medan Fair.
Karena perkembangan kota, Wali Kota Medan saat itu, Syurkani, memindahkan makam itu ke Jalan Perintis Kemerdekaan dan selanjutnya dipindahkan ke tempat yang tidak diketahui untuk dibangun menjadi Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Lokasi pemakaman tersebut diperkirakan pindah ke Tanjung Morawa dan Binjai.
Syukri amal/Fakhrur Rozi/Irwan siregar
Petisah juga memiliki pasar tradisional yang cukup terkenal. Tidak banyak referensi bisa ditemukan soal sebutan Petisah ini bermula. Tapi istilah Petisah, jauh lebih dulu ada dibandingkan Kecamatan Medan Petisah yang dibentuk pada 1991, hasil pemekaran dari Kecamatan Medan Baru.
Satu-satunya argumentasi soal asal-usul nama Petisah disebutkan, dulunya di kawasan Petisah atau kini Jalan Jenderal Gatot Subroto, banyak terdapat depot atau pabrik es batu batangan (balok). Diketahui pada masa penjajahan, Belanda memang membangun berbagai industri untuk memenuhi kebutuhan mereka, es merupakan salah satunya yang diproduksi Petojo Ijs .
Petojo Ijs merupakan pabrik buatan Belanda yang dibangun di wilayah Jakarta. Depot Es Petojo yang awalnya dibuat di daerah Petojo Jakarta, namun dengan meluasnya daerah jajahan Belanda, pabrik es tersebut menyebar di Cilacap, Yogyakarta, dan beberapa daerah lain, termasuk Medan.
Nama Petojo Ijs pun sampai ke Medan. Depot es balok dan peti-peti berbentuk kotak papan yang di dalamnya dilapis seng banyak ditemukan di kawasan itu. Mungkin dari sana, istilah Petisah itu muncul. Bagi Anda yang kelahiran 1980 ke atas mungkin kurang mengetahui bahwa di Medan dahulunya ada perusahaan es batu batangan (balok) atau Petijo Ijs yang begitu berjaya.
Sebelum 1987 Petijo Ijs yang diproduksi PT Sari Petojo sangat dikenal karena masyarakat yang ingin menikmati hidangan makanan dan minuman dingin dengan campuran es batu harus membeli ke satusatunya perusahaan es pada masa itu. Tidak diketahui pasti tahun berdiri Petojo Ijs di Medan.
Akan tetapi, kehadiran Petojo Ijs bukan hanya dirasakan warga Medan saja karena penjualan es mencapai wilayah Deliserdang, Serdangbedagai, Binjai, Langkat dan beberapa wilayah lainnya. Permintaan Petojo Ijs sangat tinggi dari masyarakat sehingga Sari Petojo melakukan ekspansi dengan membangun perusahaan di Tebingtinggi.
Adapun gedung PT Sari Petojo terdapat di Jalan S Parman Medan yang kini telah dirubuhkan dan berganti dengan Kompleks Pertokoan Medan Bisnis Center (MBC). Dulu, Sari Petojo tidak sertamerta mendapat dukungan warga sekitar karena beroperasi 24 jam dengan mengeluarkan suara cukup bising.
Warga terkadang merasa terganggu dan melakukan protes. Namun, keramahan dari pengusaha dan tidak pernah lupa memberikan sumbangan setiap Idul Fitri dan hari-hari besar lainnya membuat warga tidak perah mengusik keberadaannya.
Salah seorang istri karyawan di Sari Petojo Medan, Saleha Lubis, 79, mengatakan, Petojo Ijs menghasilkan es balok dengan menggunakan air yang mengalir dari Sungai Babura. Dimana saat itu air Sungai Babura memiliki kejernihan yang baik, dan biasa digunakan sebagai air minum.
Air tersebut diambil melalui mesin yang menyerupai kincir, kemudian mengalir ke pendingin perusahaan dan diproses selanjutnya dimasukkan ke dalam peti sesuai dengan tuangan es batu. Setelah menjadi es batu, segera dikirim ke tujuan yang sudah memesan dengan menggunakan truk besar.
Menurut dia, suaminya mulai bekerja di Petojo Ijs sejak 1953 dimana perusahaan tersebut sedang berjaya. Biasa para karyawan Petojo Ijs tinggal di rumah yang disediakan di dekat pabriknya.
“Luas pabrik dan perumahan hampir dua hektare. Sebagai istri karyawan kami tinggal di perumahan. Pabrik beroperasi hampir 24 jam dengan jadwal kerja shift malam dan siang karena permintaan sangat tinggi. Dulu jumlah karyawan sekitar 100 orang, Alhamdulillah kami cukup sejahtera dan disediakan perumahan,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN , baru-baru ini.
Seperti kalimat bijak, semua ada masanya, begitu juga dengan Petojo Ijs. Pada 1975 mulai mengalami penurunan dan pada 1978 tidak beroperasi lagi. Banyak alasan penghentian operasi, tetapi yang jelas pabrik es sudah tidak memberikan keuntungan lagi.
Booming kulkas di awal 1975 membuat warga sangat gampang membuat es batu sendiri serta air Sungai Babura tidak jernih lagi, termasuk pasokan energi listrik kian sulit diperoleh memaksa perusahaan ini gulung tikar. Soal keruhnya air Sungai Babura disebabkan meningkatnya populasi penduduk di bantaran sungai yang berdampak meningkatnya warga pengguna sungai tersebut.
Warga mencuci pakaian di sungai, ditambah lagi banyak pabrik yang membuang limbah ke sungai. Walau demikian, ada juga penyebab internal Sari Petojo yang membuat perusahaan ini tutup. Diduga ada penyimpangan keuangan yang dilakukan karyawannya.
Pengamat sosial perkotaan dari Universitas Sumatera Utara (USU), Agus Suriadi, mengatakan, kawasan Petisah awalnya berada di sekitar Bundaran Majestik, termasuk Jalan Letjen S Parman sekarang, sampai ke jembatan Jalan Kapten Maulana Lubis (arah ke Kantor Wali Kota Medan).
Kawasan tersebut merupakan pusat perdagangan yang paling ramai. Kemudian saat Taman Ria didirikan pada 1970, dibangunlah pasar yang kini menjadi Pasar Petisah. “Itu pun setelah Pusat Pasar dikembangkan terlebih dahulu dengan Olimpia,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN , belum lama ini.
Menurut Sejarawan Kota Medan, Muhammad To’ Wan Haria atau yang biasa disapa TWH, tidak ada bangunan bersejarah berada di Kecamatan Medan Petisah. Namun, nama kecamatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Taman Ria Medan atau yang juga biasa disebut Medan Fair, yang mulai 2002 lalu menjadi Plaza Medan Fair.
“Di kawasan Kecamatan Medan Petisah sekarang, yang dulu terkenal itu Medan Fair sejak sekitar tahun 1972. Kawasan itu paling ramai dan paling top di masanya. Tidak banyak toko-toko yang berubah kecuali bangunannya sekarang. Yang berubah paling hanya bangunan Pajak (pasar) Petisah yang dulunya cuma dua tingkat. Untuk bangunan bersejarah, seingat saya tidak ada,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN , belum lama ini.
Kendati saat ini Pasar Petisah jadi salah satu ikon kecamatan tersebut, sekitar tahun 1950-an Pajak Bundar yang berlokasi di sekitar jembatan Jalan Guru Patimpus merupakan pusat kegiatan jual beli di wilayah tersebut. Disebut Pajak Bundar, kata TWH, karena pasar tersebut berbentuk lingkaran.
Sayang, pesatnya pembangunan dan karena pelebaran jalan serta faktor lain, pasar tersebut hilang sekitar 1980-an. Barulah sekitar tahun 1980-an, Pajak Petisah dibangun dengan bangunan dua tingkat yang mengalami perubahan dan tetap berdiri dan ramai hingga sekarang. Di kecamatan tersebut, terdapat pula pemakaman untuk etnis Tionghoa , yakni di lokasi yang sekarang berdiri Mal Palladium dan Plaza Medan Fair.
Karena perkembangan kota, Wali Kota Medan saat itu, Syurkani, memindahkan makam itu ke Jalan Perintis Kemerdekaan dan selanjutnya dipindahkan ke tempat yang tidak diketahui untuk dibangun menjadi Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Lokasi pemakaman tersebut diperkirakan pindah ke Tanjung Morawa dan Binjai.
Syukri amal/Fakhrur Rozi/Irwan siregar
(ftr)