DPRD Jatim Kecam Badan Pusat Statistik
A
A
A
SURABAYA - Komisi A DPRD Jatim mengaku kecewa atas data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menempatkan Provinsi Jatim di urutan ke-32 dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
Mereka menuding bahwa BPS keliru dan asal-asalan dalam melakukan survei maupun pendataan. “Apa yang dipaparkan BPS sangat tidak rasional terutama menyangkut perpolitikan dan demokrasi. Masa Jatim di urutan kedua terakhir. Padahal kalau mau fair , situasi dan kondisi Jatim sangat kondusif dibandingkan DKI Jakarta. Sebagai bukti, Jatim selalu menjadi barometer perpolitikan di Indonesia,” ungkap Ketua Komisi A DPRD Jatim Fredy Pooernomo, kemarin.
Bukan hanya persoalan politik dan demokrasi. Sektor pertanian di Jatim juga ditempatkan di urutan buncit oleh BPS. Padahal, kata Fredy, selama ini Jatim selalu surplus pangan. “Tetapi apa yang dipaparkan BPS ini meleset semua. Data seperti ini tentu merugikan bagi Jatim. Apalagi selama ini data BPS selalu menjadi rujukan,” kata politikus Partai Golkar ini.
Fredy menguraikan, selama ini demokrasi di Jatim berjalan santun dan tidak anarkis sehingga mendorong iklim investasi yang tinggi. Bahkan, Indeks Pertumbuhan Ekonomi Jatim sebesar 7,1% atau lebih tinggi dibanding nasional yang hanya 6.8%.
Hal yang juga dianggap Fredy tidak masuk akal adalah data tentang regulasi (peraturan daerah/perda). Pada 2012 misalnya, muncul catatan dari BPS bahwa tidak ada regulasi apa pun yang dikeluarkan pemerintah provinsi. Padahal tahun itu, DPRD Jatim cukup produktif.
“Menurut catatan saya, ada 17 perda inisiatif yang dibuat pada saat itu. Tetapi oleh BPS dianggap tidak ada. Ini aneh. Atas dasar apa mereka membuat laporan itu,” katanya kesal. Kekesalan Fredy kian bertambah saat BPS menyebut bahwa hubungan koordinasi antara legislatif dan eksekutif di Jatim tidak baik. Padahal selama ini dua lembaga di Provinsi Jatim tersebut cukup kondusif.
Sebagai bukti setiap tiga bulan sekali ada forum silaturahim antara eksekutif (gubernur) dengan partai politik maupun pimpinan DPRD. Data “ngawur” tersebut, kata Fredy, muncul sejak tahun 2009. Sebagai bukti saat itu posisi Jatim menempati urutan 32 dari 34 provinsi terkait proses pelaksanaan demokrasi. Termasuk kebebasan sipil, Jatim menempati urutan ke- 20. Kalah dengan provinsi lain, yakni Bali.
Atas data dan laporan itu, Fredy mengaku Komisi A DPRD Jatim akan mendatangi BPS meminta klarifikasi. Pihaknya akan menyampaikan keberatan kepada BPS melalui Direktur Ketahanan Sosial Toman Pardosi dan Direktur Politik dan Keamanan Sumarwanto. “Akan kami tanyakan, variabel apa yang dipakai BPS dalam melakukan penelitian itu. Termasuk juga validasinya. Ini penting karena selama ini BPS selalu menjadi rujukan. Kalau ternyata salah bagaimana? Yang rugi tentu masyarakat kita (Jatim),” katanya.
Seperti diketahui, data indeks demokrasi peringkat provinsi berdasarkan indeks keseluruhan dan indeks masingmasing aspek yang dirilis BPS menyebutkan urutan pertama DKI Jakarta disusul Bali, Sulawesi, dan NTT. Sementara Jawa Timur mendapatkan urutan ke-32.
Kemudian untuk kebebasan sipil, Jawa Timur menempati urutan ke-20, jauh di bawah Kalimantan Timur yang menempati urutan pertama. Sementara mengenai hakhak politik, Provinsi Jatim menempati urutan ke-30, jauh di bawah DKI Jakarta dan Sulawesi Utara.
Ihya ulumuddin
Mereka menuding bahwa BPS keliru dan asal-asalan dalam melakukan survei maupun pendataan. “Apa yang dipaparkan BPS sangat tidak rasional terutama menyangkut perpolitikan dan demokrasi. Masa Jatim di urutan kedua terakhir. Padahal kalau mau fair , situasi dan kondisi Jatim sangat kondusif dibandingkan DKI Jakarta. Sebagai bukti, Jatim selalu menjadi barometer perpolitikan di Indonesia,” ungkap Ketua Komisi A DPRD Jatim Fredy Pooernomo, kemarin.
Bukan hanya persoalan politik dan demokrasi. Sektor pertanian di Jatim juga ditempatkan di urutan buncit oleh BPS. Padahal, kata Fredy, selama ini Jatim selalu surplus pangan. “Tetapi apa yang dipaparkan BPS ini meleset semua. Data seperti ini tentu merugikan bagi Jatim. Apalagi selama ini data BPS selalu menjadi rujukan,” kata politikus Partai Golkar ini.
Fredy menguraikan, selama ini demokrasi di Jatim berjalan santun dan tidak anarkis sehingga mendorong iklim investasi yang tinggi. Bahkan, Indeks Pertumbuhan Ekonomi Jatim sebesar 7,1% atau lebih tinggi dibanding nasional yang hanya 6.8%.
Hal yang juga dianggap Fredy tidak masuk akal adalah data tentang regulasi (peraturan daerah/perda). Pada 2012 misalnya, muncul catatan dari BPS bahwa tidak ada regulasi apa pun yang dikeluarkan pemerintah provinsi. Padahal tahun itu, DPRD Jatim cukup produktif.
“Menurut catatan saya, ada 17 perda inisiatif yang dibuat pada saat itu. Tetapi oleh BPS dianggap tidak ada. Ini aneh. Atas dasar apa mereka membuat laporan itu,” katanya kesal. Kekesalan Fredy kian bertambah saat BPS menyebut bahwa hubungan koordinasi antara legislatif dan eksekutif di Jatim tidak baik. Padahal selama ini dua lembaga di Provinsi Jatim tersebut cukup kondusif.
Sebagai bukti setiap tiga bulan sekali ada forum silaturahim antara eksekutif (gubernur) dengan partai politik maupun pimpinan DPRD. Data “ngawur” tersebut, kata Fredy, muncul sejak tahun 2009. Sebagai bukti saat itu posisi Jatim menempati urutan 32 dari 34 provinsi terkait proses pelaksanaan demokrasi. Termasuk kebebasan sipil, Jatim menempati urutan ke- 20. Kalah dengan provinsi lain, yakni Bali.
Atas data dan laporan itu, Fredy mengaku Komisi A DPRD Jatim akan mendatangi BPS meminta klarifikasi. Pihaknya akan menyampaikan keberatan kepada BPS melalui Direktur Ketahanan Sosial Toman Pardosi dan Direktur Politik dan Keamanan Sumarwanto. “Akan kami tanyakan, variabel apa yang dipakai BPS dalam melakukan penelitian itu. Termasuk juga validasinya. Ini penting karena selama ini BPS selalu menjadi rujukan. Kalau ternyata salah bagaimana? Yang rugi tentu masyarakat kita (Jatim),” katanya.
Seperti diketahui, data indeks demokrasi peringkat provinsi berdasarkan indeks keseluruhan dan indeks masingmasing aspek yang dirilis BPS menyebutkan urutan pertama DKI Jakarta disusul Bali, Sulawesi, dan NTT. Sementara Jawa Timur mendapatkan urutan ke-32.
Kemudian untuk kebebasan sipil, Jawa Timur menempati urutan ke-20, jauh di bawah Kalimantan Timur yang menempati urutan pertama. Sementara mengenai hakhak politik, Provinsi Jatim menempati urutan ke-30, jauh di bawah DKI Jakarta dan Sulawesi Utara.
Ihya ulumuddin
(ftr)