Revolusi Fisik Setara dengan Pertempuran 10 November

Senin, 16 Februari 2015 - 10:27 WIB
Revolusi Fisik Setara...
Revolusi Fisik Setara dengan Pertempuran 10 November
A A A
BLITAR - Pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Kota Blitar memiliki bobot sejarah yang setara dengan Pertempuran 10 November Surabaya.

Peperangan milisi rakyat melawan penjajah Dai Nippon (Jepang) itu juga layak disamakan dengan revolusi fisik Palagan Ambarawa, pertempuran lima hari di Semarang, peristiwa Bandung Lautan Api, dan Puputan Margarana di Pulau Dewata, Bali.

Meski kalah, perang yang dikobarkan Sudanco Soeprijadi 70 tahun silam (14 Februari 1945) itu telah menginspirasi PETA di daerah lain untuk berani berperang melawan penjajah Jepang. “Karenanya setiap 14 Februari, Pemerintah Kota Blitar selalu mengenang dan memperingatinya,” ujar Wali Kota Blitar, M Samanhudi Anwar.

Di Kompleks Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya, Jalan Raya Sudanco Soeprijadi Kota Blitar, drama kolosal berjudul “Thatit Sigar Ing Palagan PETA Blitar”dipentaskan. Selain sosok Soeprijadi yang lahir pada 13 April 1923 di Kabupaten Trenggalek, peringatan setiap tahun, pada Sabtu (14/2) itu juga menitikberatkan pada semangat perjuangan PETA.

“Ada nilai perjuangan yang bisa kita teladani. Warga Bltar patut berbangga daerahnya tercatat di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia,” ucap Samanhudi. Mengacu tinta sejarah, keberadaan Sudanco Soeprijadi tidak jelas rimbanya. Setelah pemberontakan, putra bupati Blitar tersebut lenyap. Nasibnya misterius.

Berada pada dua versi hidup dan mati. Bahkan, saat Presiden Soekarno memanggil untuk menduduki jabatan Menteri Keamanan Rakyat, Soeprijadi tidak pernah muncul. Dengan melibatkan 350 pemain dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD), seniman, kepala sekolah, guru dan siswa, lakon pemberontakan PETA diceritakan ulang.

Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Porbudpar) Kota Blitar, Tri Iman Parsetyo, menambahkan, selain Sudanco Soeprijadi, sejumlah pemain memerankan sebagai Daidanco Surahmadi, Chudanco dr Suryo Ismangil, dan Sudanco Muradi. “Drama kolosal ini mengisahkan ulang bagaimana peristiwa pemberontakan PETA mula-mula meletus di Blitar,” ujarnya.

Sekadar mengingatkan, PETA awalnya adalah bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera jika pasukan sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda.) tiba.

Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Kekaisaran Jepang, tetapi berbeda dengan tentaratentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur.

Soeprijadi bersama rekan lainnya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar. Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang.

Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan. Banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia.

Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun terusik dan terhina. Itulah awal PETA di Blitar bergolak.

Solichan Arif
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8524 seconds (0.1#10.140)