Keraton Harus Berani Terbuka
A
A
A
YOGYAKARTA - Silang pendapat terkait Pasal 13 ayat 1 huruf M soal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam raperdais menimbulkan banyak persepsi di masyarakat.
Sikap terbuka keraton dinilai akan meminimalisasi persepsi yang berkembang. Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati mengatakan, polemik seputar pasal dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur sebenarnya bisa diselesakan secara internal jika sudah ada mekanisme internal yang mengaturnya.
Menurut dia, polemik ini sepeti yang terjadi dalam pilkada. Jika pada pilkada proses kandidat dilakukan melalui partai politik, maka di sini proses kandidatnya dilakukan melalui keraton. Dengan polemik ini, Mada justru ingin melihat sejauh mana RUU Keistimewaan DIY bisa mendorong proses demokratisasi di internal keraton. “Ini adalah momentum sekaligus ujian bagi keraton. Terlebih ini juga terbilang baru untuk Keraton sendiri,” ucapnya, kemarin.
Menurut dia, UU Keistimewaan tidak selalu dipahami sebagai berkah. Berkah itu justru akan menjadi masalah jika tidak dikelola dengan baik.“Saya berharap keraton memiliki mekanisme terkait masalah ini. Dan alangkah lebih baik melibatkan partisipasi publik,” katanya.
Dia menjelaskan, beragam persepsi yang muncul, baik terkait perpecahan dan lainnya, muncul karena partisipasi publik tidak bisa menjangkau masalah-masalah ini. Namun, jika keraton berani lebih terbuka maka persepsi-persepsi itu dapat diminimalisasi.
“Keraton harus berani membuka diri. Sultan HB IX sudah berani membuka diri. Sekarang tidak ada salahnya melibatkan partisipasi publik, misalnya dengan mengundang tokoh masyarakat agar tidak hanya elitis dan oligarkis,” katanya.
Dia menambahkan, sebagai lembaga keraton mestinya memiliki mekanisme internal untuk mengatur persoalan suksesi kekuasaan. Jika belum, harus segera dibuat. Sebab belum settle secara internal akan menjadi masalah bila dibuka keluar. “Implikasinya memang cukup luas nantinya, tapi sekali lagi mekanisme internal semestinya bisa menyelesaikan ini. Persoalan bisa dirembuk secara internal juga dengan melibatkan partisipasi masyarakat,” katanya.
Silang pendapat di internal keraton muncul dalam ketentuan perlu tidak mencantumkan nama istri. Sri Sultan HB X dan putri sulungnya, GKR Pembayun, sependapat jika nama istri tidak perlu dicantumkan. Namun, adik kandung Sultan GBPH Yudhaningrat berpendapat sebaliknya.
GBPH Yudhaningrat lebih memilih persyaratan calon gubernur dalam Pasal 13 ayat 1 huruf M ditulis lengkap karena agar tidak bertentangan dengan UUK DIY pada Pasal 18. “Kalau saya lebih memilih (persyaratan calon gubernur) ditulis lengkap, sesuai UU (Keistimewaan) DIY,” katanya.
Sodik
Sikap terbuka keraton dinilai akan meminimalisasi persepsi yang berkembang. Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati mengatakan, polemik seputar pasal dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur sebenarnya bisa diselesakan secara internal jika sudah ada mekanisme internal yang mengaturnya.
Menurut dia, polemik ini sepeti yang terjadi dalam pilkada. Jika pada pilkada proses kandidat dilakukan melalui partai politik, maka di sini proses kandidatnya dilakukan melalui keraton. Dengan polemik ini, Mada justru ingin melihat sejauh mana RUU Keistimewaan DIY bisa mendorong proses demokratisasi di internal keraton. “Ini adalah momentum sekaligus ujian bagi keraton. Terlebih ini juga terbilang baru untuk Keraton sendiri,” ucapnya, kemarin.
Menurut dia, UU Keistimewaan tidak selalu dipahami sebagai berkah. Berkah itu justru akan menjadi masalah jika tidak dikelola dengan baik.“Saya berharap keraton memiliki mekanisme terkait masalah ini. Dan alangkah lebih baik melibatkan partisipasi publik,” katanya.
Dia menjelaskan, beragam persepsi yang muncul, baik terkait perpecahan dan lainnya, muncul karena partisipasi publik tidak bisa menjangkau masalah-masalah ini. Namun, jika keraton berani lebih terbuka maka persepsi-persepsi itu dapat diminimalisasi.
“Keraton harus berani membuka diri. Sultan HB IX sudah berani membuka diri. Sekarang tidak ada salahnya melibatkan partisipasi publik, misalnya dengan mengundang tokoh masyarakat agar tidak hanya elitis dan oligarkis,” katanya.
Dia menambahkan, sebagai lembaga keraton mestinya memiliki mekanisme internal untuk mengatur persoalan suksesi kekuasaan. Jika belum, harus segera dibuat. Sebab belum settle secara internal akan menjadi masalah bila dibuka keluar. “Implikasinya memang cukup luas nantinya, tapi sekali lagi mekanisme internal semestinya bisa menyelesaikan ini. Persoalan bisa dirembuk secara internal juga dengan melibatkan partisipasi masyarakat,” katanya.
Silang pendapat di internal keraton muncul dalam ketentuan perlu tidak mencantumkan nama istri. Sri Sultan HB X dan putri sulungnya, GKR Pembayun, sependapat jika nama istri tidak perlu dicantumkan. Namun, adik kandung Sultan GBPH Yudhaningrat berpendapat sebaliknya.
GBPH Yudhaningrat lebih memilih persyaratan calon gubernur dalam Pasal 13 ayat 1 huruf M ditulis lengkap karena agar tidak bertentangan dengan UUK DIY pada Pasal 18. “Kalau saya lebih memilih (persyaratan calon gubernur) ditulis lengkap, sesuai UU (Keistimewaan) DIY,” katanya.
Sodik
(ftr)