Mengenang Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional dari Jombang
A
A
A
DI antara sekian banyak pahlawan nasional, ada nama Abdul Wahid Hasjim. Berikut sekilas kisah tentang ayah dari Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid.
Abdul Wahid Hasjim, selanjutnya disebut Wahid Hasyim, lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914. Dia adalah putra kelima dari pasangan KH Hasyim Asy'ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, dengan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas.
Dikutip dari pahlawancenter.com, mula-mula ia diberi nama Mohammad Hasyim, mewarisi nama kakeknya. Tetapi karena dianggap tidak serasi, namanya diganti menjadi Abdul Wahid.
Ia bersaudara 10 orang, lima lelaki dan lima perempuan. Mulai umur 5 tahun, Gus Wahid sudah belajar mengaji Alquran dari ayahnya. Pagi hari bersekolah di Dalafiyah di Tebuireng, lepas Salat Zuhur dan Magrib belajar mengaji.
Umur 7 tahun ia belajar dari ayahnya pula membaca kitab-kitab Fathul-Qarib, Minhatul Qaqim Mutamminah, dan lain-lain yang tidak biasanya dapat dibaca oleh anak berumur 7 tahun.
Ia terus belajar ke beberapa pesantren yaitu di Siwalan Panji, Sidoharjo, Mojosari, dan Lirboyo, Kediri. Di pesantren-pesantren itu, ia tidak lama belajar, kemudian pulang ke Tebuireng.
Mulai umur 15 tahun ia baru paham huruf latin, kemudian dengan bersungguh-sungguh mempelajari berbagai pengetahuan. Ia berlanganan majalah Penyebar Semangat (Aliran Dr. Sutomo) Daulat Rakyat (PNI-Hatta), dan Panji Pusaka, terbitan Balai Pustaka.
Ia juga berlangganan Umul Qur'an, Saultul Hijaz, Al-Lhatha'iful Musyawarah, Kullushai-in wad-Dunnya, dan Al-Itanain. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dengan berlangganan kursus tertulis "Sumber Pengetahuan" di Bandung.
Mula-mula, ia mengambil bahasa Belanda dan Arab, kemudian bahasa Inggris.
Mulai saat itu ia gemar dan banyak sekali membaca berbagai koran maupun buku. Karena itu, masih dalam usia muda ia harus mengenakan kaca mata akibat amat banyak membaca.
Johan Prasetya dalam buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penerbit Saufa, Agustus 2014) menulis, Wahid Hasyim hijrah ke Arab untuk memperdalam ilmu agamanya pada 1932, atau di usia 18 tahun. Dua tahun kemudian, dia kembali ke Tanah Air.
Sekembalinya dari Arab, Wahid Hasyim mengabdikan diri sepenuhnya kepada umat. Selain menjadi guru di madrasah yang dirintisnya, Madrasah Nidzamiyah, ia juga aktif di Nahdlatul Ulama (NU).
Pada usia 25 tahun ia terpilih menjadi Ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah wadah perkumpulan organisasi Islam di Indonesia.
Pada usia 25 tahun pula, Wahid Hasyim mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak, salah satunya Abdurrahman ad-Dakhil atau Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI.
Menurut Johan Prasetya, kepiawaian Wahid Hasyim dalam berorganisasi dan berpolitik, serta komitmen untuk memajukan bangsa Indonesia membuat Wahid Hasyim dipercaya NU sebagai wakil di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi yang didirikannya bersama Moh Natsir pada 1945.
Tahun 1947, Wahid Hasyim dipercaya memimpin Ponpes Tebuireng. Wahid Hasyim juga merupakan salah satu anggota di Tim Sembilan BPUPKI.
Panitia ini mengambil waktu setelah menjalani sidang pertama hingga menghasilkan rumusan yang menggambarkan asas dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka. Hasil rumusan tersebut diberi nama Piagam Jakarta dan ditandatangani Mohammad Yamin pada 22 Juni 1945.
Rumusan dalam Piagam Jakarta perihal lima asas falsafah negara Indonesia merdeka mencantumkan sila pertama berbunyi,"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Rumusan tersebut menjadi perdebatan panas. Wahid Hasyim mengatakan, akibat dari anak kalimat tersebut sesungguhnya tidak seperti yang ditakutkan banyak pihak. Namun, penjelasannya mendapat tanggapan keras dari berbagai pihak.
Perdebatan tentang rumusan tersebut tetap berlangsung hingga Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekan RI pada 17 Agustus 1945.
Sehari setelah itu, PPKI bersidang. Salah satu hasil keputusan sidang tersebut adalah mengubah kalimat sila pertama dalam Pancasila sehingga berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial 2 September 1945. Selain itu, dia juga ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan yakni Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), dan Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951-3 April 1952).
Pada tahun 1951, NU dalam pimpinan Wahid Hasyim menyatakan keluar dari Masyumi. Ia mendirikan partai politik Nahdlatul Ulama dan terpilih menjadi ketua umum.
Wahid Hasyim meninggal dunia 19 April 1953 akibat kecelakaan. Sehari sebelumnya, dia bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Dia bersama beberapa orang, termasuk sopir dan Abdurrahman Wahid, naik mobil Chevrolet miliknya.
Kala itu, jalan di sekitar Cimahi dan Bandung licin akibat hujan. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi Wahid Hasyim selip, sang sopir tidak bisa menguasai kendaraan. Mobilnya membentur badan truk.
Wahid Hasyim terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Sementara, sang sopir dan Abdurrahman Wahid tidak cedera sedikit pun.
Sejak mengalami kecelakaan, Wahid Hasyim yang dirawat di RS Borromeus di Bandung, tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Wahid Hasyim mengembuskan napas terakhir dalam usia yang relatif muda, 39 tahun.
Meski telah tiada, kiprah dan sumbangsih Wahid Hasyim tentu tak bisa dilupakan. Termasuk, saat dia menggagas perubahan sistem pendidikan di Tebuireng. Ia memasukkan pendidikan umum untuk kurikulum pesantren yang didirikan ayahnya. Ia juga mendorong santri untuk gemar membaca dan berorganisasi.
Karena begitu besar jasa Wahid Hasyim bagi negeri ini, gelar Pahlawan Nasional pun diberikan kepadanya melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 206 Tahun 1964, tertanggal 24 Agustus 1964.
Abdul Wahid Hasjim, selanjutnya disebut Wahid Hasyim, lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914. Dia adalah putra kelima dari pasangan KH Hasyim Asy'ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, dengan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas.
Dikutip dari pahlawancenter.com, mula-mula ia diberi nama Mohammad Hasyim, mewarisi nama kakeknya. Tetapi karena dianggap tidak serasi, namanya diganti menjadi Abdul Wahid.
Ia bersaudara 10 orang, lima lelaki dan lima perempuan. Mulai umur 5 tahun, Gus Wahid sudah belajar mengaji Alquran dari ayahnya. Pagi hari bersekolah di Dalafiyah di Tebuireng, lepas Salat Zuhur dan Magrib belajar mengaji.
Umur 7 tahun ia belajar dari ayahnya pula membaca kitab-kitab Fathul-Qarib, Minhatul Qaqim Mutamminah, dan lain-lain yang tidak biasanya dapat dibaca oleh anak berumur 7 tahun.
Ia terus belajar ke beberapa pesantren yaitu di Siwalan Panji, Sidoharjo, Mojosari, dan Lirboyo, Kediri. Di pesantren-pesantren itu, ia tidak lama belajar, kemudian pulang ke Tebuireng.
Mulai umur 15 tahun ia baru paham huruf latin, kemudian dengan bersungguh-sungguh mempelajari berbagai pengetahuan. Ia berlanganan majalah Penyebar Semangat (Aliran Dr. Sutomo) Daulat Rakyat (PNI-Hatta), dan Panji Pusaka, terbitan Balai Pustaka.
Ia juga berlangganan Umul Qur'an, Saultul Hijaz, Al-Lhatha'iful Musyawarah, Kullushai-in wad-Dunnya, dan Al-Itanain. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dengan berlangganan kursus tertulis "Sumber Pengetahuan" di Bandung.
Mula-mula, ia mengambil bahasa Belanda dan Arab, kemudian bahasa Inggris.
Mulai saat itu ia gemar dan banyak sekali membaca berbagai koran maupun buku. Karena itu, masih dalam usia muda ia harus mengenakan kaca mata akibat amat banyak membaca.
Johan Prasetya dalam buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penerbit Saufa, Agustus 2014) menulis, Wahid Hasyim hijrah ke Arab untuk memperdalam ilmu agamanya pada 1932, atau di usia 18 tahun. Dua tahun kemudian, dia kembali ke Tanah Air.
Sekembalinya dari Arab, Wahid Hasyim mengabdikan diri sepenuhnya kepada umat. Selain menjadi guru di madrasah yang dirintisnya, Madrasah Nidzamiyah, ia juga aktif di Nahdlatul Ulama (NU).
Pada usia 25 tahun ia terpilih menjadi Ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah wadah perkumpulan organisasi Islam di Indonesia.
Pada usia 25 tahun pula, Wahid Hasyim mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak, salah satunya Abdurrahman ad-Dakhil atau Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 RI.
Menurut Johan Prasetya, kepiawaian Wahid Hasyim dalam berorganisasi dan berpolitik, serta komitmen untuk memajukan bangsa Indonesia membuat Wahid Hasyim dipercaya NU sebagai wakil di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi yang didirikannya bersama Moh Natsir pada 1945.
Tahun 1947, Wahid Hasyim dipercaya memimpin Ponpes Tebuireng. Wahid Hasyim juga merupakan salah satu anggota di Tim Sembilan BPUPKI.
Panitia ini mengambil waktu setelah menjalani sidang pertama hingga menghasilkan rumusan yang menggambarkan asas dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka. Hasil rumusan tersebut diberi nama Piagam Jakarta dan ditandatangani Mohammad Yamin pada 22 Juni 1945.
Rumusan dalam Piagam Jakarta perihal lima asas falsafah negara Indonesia merdeka mencantumkan sila pertama berbunyi,"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Rumusan tersebut menjadi perdebatan panas. Wahid Hasyim mengatakan, akibat dari anak kalimat tersebut sesungguhnya tidak seperti yang ditakutkan banyak pihak. Namun, penjelasannya mendapat tanggapan keras dari berbagai pihak.
Perdebatan tentang rumusan tersebut tetap berlangsung hingga Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekan RI pada 17 Agustus 1945.
Sehari setelah itu, PPKI bersidang. Salah satu hasil keputusan sidang tersebut adalah mengubah kalimat sila pertama dalam Pancasila sehingga berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial 2 September 1945. Selain itu, dia juga ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan yakni Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), dan Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951-3 April 1952).
Pada tahun 1951, NU dalam pimpinan Wahid Hasyim menyatakan keluar dari Masyumi. Ia mendirikan partai politik Nahdlatul Ulama dan terpilih menjadi ketua umum.
Wahid Hasyim meninggal dunia 19 April 1953 akibat kecelakaan. Sehari sebelumnya, dia bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Dia bersama beberapa orang, termasuk sopir dan Abdurrahman Wahid, naik mobil Chevrolet miliknya.
Kala itu, jalan di sekitar Cimahi dan Bandung licin akibat hujan. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi Wahid Hasyim selip, sang sopir tidak bisa menguasai kendaraan. Mobilnya membentur badan truk.
Wahid Hasyim terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Sementara, sang sopir dan Abdurrahman Wahid tidak cedera sedikit pun.
Sejak mengalami kecelakaan, Wahid Hasyim yang dirawat di RS Borromeus di Bandung, tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Wahid Hasyim mengembuskan napas terakhir dalam usia yang relatif muda, 39 tahun.
Meski telah tiada, kiprah dan sumbangsih Wahid Hasyim tentu tak bisa dilupakan. Termasuk, saat dia menggagas perubahan sistem pendidikan di Tebuireng. Ia memasukkan pendidikan umum untuk kurikulum pesantren yang didirikan ayahnya. Ia juga mendorong santri untuk gemar membaca dan berorganisasi.
Karena begitu besar jasa Wahid Hasyim bagi negeri ini, gelar Pahlawan Nasional pun diberikan kepadanya melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 206 Tahun 1964, tertanggal 24 Agustus 1964.
(zik)