Rendi, Pecatan Polisi Divonis Mati
A
A
A
PALEMBANG - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Khusus Palembang kemarin menjatuhkan hukuman mati terhadap Rendi Oktariza, 30, terdakwa kasus pembunuhan di Kawasan Kalidoni Palembang, 2014 lalu.
Majelis hakim menilai tidak ada hal yang meringankan perbuatan pembunuhan berencana yang dilakukan pecatan polisi dengan kesatuan terakhir Sabhara Polres OKU Timur ini. “Terdakwa pembunuhan terhadap korban Hj Maryam dan Masnun ini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tin dak pidana seba gaimana diatur dan diancam Pasal 340 KUHP,” tegas Ketua Majelis Hakim Togar saat mem bacakan putusan.
Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengajukan tuntutan pidana penjara seumur hidup. Mendengar vonis tersebut, keluarga dan kerabat korban langsung berteriak dan mengucapkan syukur dengan keputusan hakim. Bahkan beberapa di antaranya sujud syukur di dalam ruang sidang yang dikawal ketat aparat kepolisian. “Dia pantas mendapat hukuman itu,” ujar Reka, anak korban sembari menyeka air matanya.
Terdakwa yang terlihat ketakutan, sempat hendak meninggalkan ruang sidang, padahal sidang belum ditutup oleh majelis hakim. Oleh aparat, dia pun ditarik agar kembali duduk di kursi pesakitan hingga persidangan dinyatakan selesai. Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Erwin mengatakan, pihaknya menghormati putusan dari majelis hakim.
Namun, terkait dengan upaya hukum apa yang akan ditempuh nantinya masih akan berkoordinasi dengan terdakwa. “Sejauh ini terdakwa masih pikir-pikir. Semua terserah terdakwa mau menerima ataupun mengajukan banding atas putusan ini,” sebutnya. Dihubungi terpisah, Kriminolog Sri Sulastri menilai, vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim tentunya sudah sesuai prosedur. Hukuman mati di Indonesia telah diatur.
Apabila tidak ada hal-hal yang meringankan, terdakwa layak menjalankan vonis tersebut. “Saya rasa tidak ada masalah walaupun awalnya dia hanya dituntut seumur hidup (oleh JPU). Apabila hakim menentukan vonis mati tidak menjadi persoal an karena undang-undang yang mengaturnya ada,” ujar Sri.
Menurut Dosen Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) ini, memang hukuman mati di Palembang sedikit aneh di dengar, karena jarang sekali terjadi dan tidak sering diekspose. “Tidak hanya narkoba apabila kasus pembunuhan berencana me mang layak divonis mati. Tentunya sah-sah saja karena hukum yang mengatur tentang vonis tersebut,” katanya.
Untuk diketahui, perbuatan terdakwa terjadi Sabtu 23 Agustus 2014, sekitar pukul 14.00 WIB. Korban Maryam, 60 dan pembantunya Masnun, 37, hanya berdua di dalam rumah di Jalan RW Monginsidi, RT 1/1 Kelurahan Kalidoni, Kecamatan Kalidoni Palembang, dibunuh secara membabi buta.
Menurut sumber informasi, terdakwa yang merupakan pecatan polisi (Sabhara Polres OKU Timur) tahun 2009 sengaja datang ke rumah korban karena kesal selalu ditagih utang. Pelaku terlebih dahulu menghabisi nyawa pembantu dengan menusukkan pisau sebanyak enam kali, sedangkan pemilik rumah tewas dipukul dengan tabung gas 3 kg dan dihujani 30 tusukan. Lalu pelaku kabur membawa perhiasan seberat 15 suku dan uang tunai Rp20 juta.
Usai melakukan pembunuhan, terdakwa Rendi sempat melarikan diri dan akhirnya ditangkap polisi di Tangerang pada awal September 2014.
Retno Palupi/M Moeslim
Majelis hakim menilai tidak ada hal yang meringankan perbuatan pembunuhan berencana yang dilakukan pecatan polisi dengan kesatuan terakhir Sabhara Polres OKU Timur ini. “Terdakwa pembunuhan terhadap korban Hj Maryam dan Masnun ini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tin dak pidana seba gaimana diatur dan diancam Pasal 340 KUHP,” tegas Ketua Majelis Hakim Togar saat mem bacakan putusan.
Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengajukan tuntutan pidana penjara seumur hidup. Mendengar vonis tersebut, keluarga dan kerabat korban langsung berteriak dan mengucapkan syukur dengan keputusan hakim. Bahkan beberapa di antaranya sujud syukur di dalam ruang sidang yang dikawal ketat aparat kepolisian. “Dia pantas mendapat hukuman itu,” ujar Reka, anak korban sembari menyeka air matanya.
Terdakwa yang terlihat ketakutan, sempat hendak meninggalkan ruang sidang, padahal sidang belum ditutup oleh majelis hakim. Oleh aparat, dia pun ditarik agar kembali duduk di kursi pesakitan hingga persidangan dinyatakan selesai. Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Erwin mengatakan, pihaknya menghormati putusan dari majelis hakim.
Namun, terkait dengan upaya hukum apa yang akan ditempuh nantinya masih akan berkoordinasi dengan terdakwa. “Sejauh ini terdakwa masih pikir-pikir. Semua terserah terdakwa mau menerima ataupun mengajukan banding atas putusan ini,” sebutnya. Dihubungi terpisah, Kriminolog Sri Sulastri menilai, vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim tentunya sudah sesuai prosedur. Hukuman mati di Indonesia telah diatur.
Apabila tidak ada hal-hal yang meringankan, terdakwa layak menjalankan vonis tersebut. “Saya rasa tidak ada masalah walaupun awalnya dia hanya dituntut seumur hidup (oleh JPU). Apabila hakim menentukan vonis mati tidak menjadi persoal an karena undang-undang yang mengaturnya ada,” ujar Sri.
Menurut Dosen Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) ini, memang hukuman mati di Palembang sedikit aneh di dengar, karena jarang sekali terjadi dan tidak sering diekspose. “Tidak hanya narkoba apabila kasus pembunuhan berencana me mang layak divonis mati. Tentunya sah-sah saja karena hukum yang mengatur tentang vonis tersebut,” katanya.
Untuk diketahui, perbuatan terdakwa terjadi Sabtu 23 Agustus 2014, sekitar pukul 14.00 WIB. Korban Maryam, 60 dan pembantunya Masnun, 37, hanya berdua di dalam rumah di Jalan RW Monginsidi, RT 1/1 Kelurahan Kalidoni, Kecamatan Kalidoni Palembang, dibunuh secara membabi buta.
Menurut sumber informasi, terdakwa yang merupakan pecatan polisi (Sabhara Polres OKU Timur) tahun 2009 sengaja datang ke rumah korban karena kesal selalu ditagih utang. Pelaku terlebih dahulu menghabisi nyawa pembantu dengan menusukkan pisau sebanyak enam kali, sedangkan pemilik rumah tewas dipukul dengan tabung gas 3 kg dan dihujani 30 tusukan. Lalu pelaku kabur membawa perhiasan seberat 15 suku dan uang tunai Rp20 juta.
Usai melakukan pembunuhan, terdakwa Rendi sempat melarikan diri dan akhirnya ditangkap polisi di Tangerang pada awal September 2014.
Retno Palupi/M Moeslim
(ftr)