Masyarakat Tak Puas, UU Keistimewaan Perlu Direvisi

Selasa, 03 Februari 2015 - 15:31 WIB
Masyarakat Tak Puas,...
Masyarakat Tak Puas, UU Keistimewaan Perlu Direvisi
A A A
YOGYAKARTA - Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY telah diterapkan lebih dari satu tahun. Namun keberadaan UU Keistimewaan dinilai belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat DIY.

Karena itu, ke depan diharapkan UUK DIY bisa direvisi agar dapat benar-benar berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. “Dari hasil penelitian tentang pelaksanaan UUK, ternyata belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Padahal salah satu tujuan UUK dirancang dulunya ialah untuk menyejahterakan masyarakat DIY. Hal ini menurut saya dikarenakan substansi keistimewaan dan kewenangan pada UUK sendiri belum sinkron,” papar pakar hukum Isti’bah ZA MHum kemarin.

Dalam pemaparan evaluasi pelaksanaan UU Keistimewaan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Isti’bah menuturkan substansi keistimewaan DIY dalam UUK ialah penetapan Sultan sebagai gubernur; kelembagaan; budaya; pertanahan; dan tata ruang. Sayangnya, tujuan menyejahterakan sulit dikaitkan dengan kelima substansi itu.

Untuk substansi penetapan Sultan sebagai gubernur DIY, UUK lebih dapat dikatakan hanya menentramkan masyarakat, bukan menyejahterakan. “Bukti menentramkannya, saat ini sudah tidak ada lagi gejolak lima tahunan di mana merupakan siklus pemilihan gubernur. Tapi kesejahteraan itu juga tidak berkaitan dengan substansi lainnya, seperti kelembagaan. Dalam UUK, DIY hanya diberikan hak memiliki lembaga baru menangani keistimewaan,” sebut Isti’bah.

Isti’bah mengungkapkan, arti sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat. Ini juga tidak ada kaitannya dengan substansi tata ruang dan pertanahan dalam UUK. Untuk substansi pertanahan bahkan ada kecenderungan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Hal ini dikarenakan adanya aturan terkait pelaporan tanah Kasultaanan dan Kadipaten. Di mana cukup banyak dari tanah-tanah tersebut telah ditempati sebagian masyarakat DIY dalam waktu puluhan tahun. “Untuk substansi kebudayaan, sebenarnya bisa saja dikaitkan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya dengan menggelar pendidikan berbasis budaya. Sayangnya, arti kebudayaan yang ada masih sempit,” kritiknya.

Untuk itu, Isti’bah mengusulkan perlu adanya perubahan UUK, utamanya pada lingkup kewenangan yang perlu diperluas. Perubahan harus benarbenar menyentuh tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat DIY tanpa mengurangi lima substansi utama DIY yang sudah ada saat ini.

“Di sisi lain, mayoritas masyarakat DIY sendiri belum paham benar UUK secara keseluruhan. Selain sosialisasi yang masih kurang, forum seperti musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) terkait rencana-rencana penggunaaan Dana Keistimewaan juga tidak ada. Pada akhirnya, penggunaan Dana Keistimewaan yang memang sudah dianggarkan tidak maksimal,” bebernya.

Sementara itu, peneliti ilmu pemerintahan UMY Ane Permatasari MA mengungkapkan hasil penelitiaan timnya terkait pelaksanaan UUK. Kesimpulan dari penelitian tersebut ialah adanya kecenderungan ketidakpuasan masyarakat dengan pelaksanaaan Keistimewaan DIY, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan Dana Keistimewaan.

“Walaupun terdapat ekspresi ketidakpuasan, dukungan terhadap Sultan sebagai gubernur ternyata tetap tinggi. Hal ini menunjukkan masyarakat DIY masih menaruh harapan besar bahwa Sultan mampu membuat keistimewaan DIY lebih terasa dampaknyaa bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat DIY,” jelasnya.

Menurut Ane, besarnya dukungan masyarakat tersebut juga menunjukkan adanya loyalitas tradisional dari masyarakat terhadap kepemimpinan Sultan sebagai gubernur. Khususnya dari kalangan masyarakat berpendidikan tinggi.

Terpisah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengutarakan, DIY mendapatkan kucuran Danais berkat diberlakukannya UU Keistimewaan. UU Keistimewaan bagi DIY berbeda dengan otonomi khusus seperti di Papua atau Nangroe Aceh Darussalam.

Menurut Sultan, perbedaan itu salah satunya berkaitan dengan transfer anggaran dari pusat untuk daerah. “Otonomi khusus hanya ditransfer anggaran dari pusat selama 15 tahun. Sedangkan DIY melalui Danais, ditransfer seterusnya, setidaknya sampai tidak ada perubahan dalam UU Keistimewaan itu sendiri,” paparnya.

Raja Keraton Yogyakarta ini menegaskan UU Keistimewaan beserta Danaisnya tidak hanya untuk Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. “Saya sebagai Raja Keraton menegaskan, Danais juga tidak hanya untuk Keraton dan Pakualaman, tapi Danais untuk rakyat Yogyakarta tanpa membedakan,” tambahnya.

Pria bernama lahir Herjuno Darpito ini mengatakan, kucuran Danais untuk DIY yang sudah berjalan dua tahun ini (Danais 2015 belum ditransfer dari pusat) sudah mengalami perkembangan yang cukup bagus. “Kalau di awal masih berupa pertunjukan, kemarin sudah dalam bentuk program,” ungkapnya.

Menurut Sultan, agar serapan Danais bisa maksimal, maka perlu ada perubahan kelembangaan dalam struktur Pemda DIY. Saat ini Pemda dan DPRD DIY sedang menyusun kelembangaan tersebut lewat Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) urusan Kelembanggaan. “Perubahan kelembagaan ini berdasarkan kebutuhan, termasuk dalam mengelola Danais,” ungkapnya.

Sultan berharap Raperdais urusan Kelembanggaan segera disahkan sehingga aplikasi Danais bisa lebih maksimal. “Harapan kami, (Raperdais) Kelembanggaan segera disahkan. Dulu (DPRD DIY periode 2009-2014) hampir jadi. Tapi berhenti karena ada perbedaan nomenklatur provinsi,” imbuhnya.

Lebih lanjut Sultan mengungkapkan, Raperdais urusan Kelembanggaan ini menjadi acuan bagi kabupaten/kota untuk mengubah kelembagaannya. “(Pemkab/pemkot) bisa menyesuiakan dengan Pemda DIY agar tidak terjadi simpangsiur,” kata Sultan.

Ratih Keswara/ Ridwan Anshori
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0822 seconds (0.1#10.140)