Akademisi DIY Desak Presiden Rilis Keppres
A
A
A
PROSES kasus yang dituduhkan kepada Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) harus ditangani secara independen, bukan oleh institusi Polri.
Hal ini dikarenakan telah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai aparat penegak hukum. “Penanganan kasus BW ini harusnya melalui independensi proses. Kami sendiri menuntut agar presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas KPK maupun Polri mau membuat keputusan presiden (Keppres) yang bertugas menyelesaikan kasus BW ini.
Bayangan kami setidaknya sama dengan Tim 8 yang dulu dibentuk untuk menangani kasus Bibit-Candra,” ungkap Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Zainal Arifin Mochtar di Balairung UGM, kemarin.
Kepada wartawan saat mengikuti Pernyataan Sikap Akademisi Yogyakarta untuk Sinergi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta Penegakan Hukum, Zainal menegaskan, tim independen itulah yang nantinya menelaah apakah BW benar melakukan apa yang disangkakan. Atau hanya bermaksud mengkriminalisasikan KPK.
“Meski kedudukan presiden tinggi, tapi dia tidak memiliki hak intervensi soal hukum. Karena itu, bentuk saja tim independen dan lalui prosesnya. Sebagai advokat, saya yakin BW telah melakukan tugasnya dengan benar,” katanya.
Bertindak sebagai moderator pernyataan sikap akademisi DIY, Zainal mengungkapkan, banyak pakar hukum dan tata negara yang bisa ditunjuk untuk bergabung dalam tim independen untuk kasus BW tersebut. Nama-nama terkenal seperti Mahfud MD, Taufiequrahman Ruki, Jimly Asshiddiqie, dan Muchtar Mahfud bisa masuk dalam tim tersebut.
“Saya ingin kembali mengingatkan masyarakat, kasus BW berbeda dengan kasus BG yang jelas merupakan kasus korupsi. Marilah kita belajar dari sejarah. Terbukti, setiap ada aparat Polri yang terjerat kasus oleh KPK, ada saja anggota KPK yang dikriminalisasi. Ini bisa dikatakan cicak vs buaya jilid 3,” beber Zainal.
Dalam pernyataan sikap para akademisi DIY tersebut, hadir sejumlah pegiat antikorupsi yang sepakat melindungi dan mengawal KPK. Sebagai institusi yang dipercaya rakyat dalam memberantas korupsi.
Tak hanya poin independensi proses, mereka juga sepakat diperlukan hak imunitas bagi komisioner dan anggota KPK terhadap upaya kriminalisasi. “Di Undang-Undang (UU) KPK tidak ada pasal imunitas, sehingga rawan dikriminalisasi. Sehingga perlu digagas pasal imunitas untuk komisioner dan anggota KPK. Imunitas ini segera harus diwujudkan, setidaknya menjadi Perppu (peraturan presiden pengganti UU). Karena advokat saja ada perlindungan hukumnya, ada imunitasnya,” ungkap anggota Ombudsman RI Budi Santoso.
Persoalan hukum yang melibatkan kedua lembaga hukum ini juga mendapat perhatian dari kalangan akademisi DIY. “Komitmen pemberantasan korupsi merupakan bagian dari mandat konstitusi dan spirit reformasi. Presiden sebagai kepala negara harus tetap berdiri pada garis konstitusi upaya pemberantasan korupsi. Presiden seyogianya tidak ragu mengambil sikap dan keputusan yang tepat dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan,” ucap Rek-tor UGM Prof Ir Dwikorita Karnawati PhD, kemarin.
Saat menyampaikan Pernyataan Sikap Akademisi Yogyakarta untuk Sinergi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta Penegakan Hukum, Rita sapaan akrab Dwikorita Karnawati juga menegaskan, adanya kecenderungan terjadi politisasi hukum yang berdampak pada merosotnya kredibilitas lembaga negara dalam gesekan yang melibatkan KPK dan Polri tersebut.
Dia khawatir hal tersebut bisa melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat hukum. “Karenanya, kami mengimbau agar hukum ditegakkan, ditaati prinsip- prinsip dasarnya guna mewujudkan keadilan dan mengembalikan lembaga negara sesuai fungsinya dengan mendasarkan pada etika dan konstitusi,” ucapnya.
Selain itu, gejala pengabaian terhadap suara dan aspirasi rakyat di dalam menyelesaikan persolan bangsa saat ini cukup meresahkan. Oleh karena itu, presiden dalam menyelesaikan persoalan krusial diharapkan tetap bisa mendengar dan memerhatikan suara dari tokohtokoh masyarakat.
Seperti akademisi, LSM, tokoh agama, dan mereka yang peduli terhadap bangsa Indonesia. Pernyataan sikap tersebut didukung oleh pimpinan dan guru besar UGM, Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM, Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Indonesia (Gemati) UGM, serta perwakilan dari UNY, UIN, UII, UMY, UAJY, UKDW, UMY, UKDW, Universitas Janabadra, dan Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional (STPN).
Menurut pakar hukum UAJY Sundari, penanganan kasus BG seharusnya didahulukan dibandingkan kasus BW. Hal tersebut didasarkan pada teori hukum extraordinary, di mana kasus hukum yang besar didahulukan penyelesaiannya, sebelum menyelesaikan perkara hukum kecil lainnya.
Wakil Rektor III UII Dr Abdul Jamil SH MH pun menegaskan, presiden harus bersikap tegas dalam menyikapi persoalan yang ada. Dia berharap Presiden Jokowi tidak terpengaruh oleh sikap partai politik pengusungnya.
“Presiden itu milik rakyat. Jadi wajib mendukung rakyatnya. Selama presiden bertindak sesuai keinginan rakyat, dukungan rakyat sudah pasti akan diterimanya,” tuturnya.
Ratih Keswara
Hal ini dikarenakan telah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebagai aparat penegak hukum. “Penanganan kasus BW ini harusnya melalui independensi proses. Kami sendiri menuntut agar presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas KPK maupun Polri mau membuat keputusan presiden (Keppres) yang bertugas menyelesaikan kasus BW ini.
Bayangan kami setidaknya sama dengan Tim 8 yang dulu dibentuk untuk menangani kasus Bibit-Candra,” ungkap Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Zainal Arifin Mochtar di Balairung UGM, kemarin.
Kepada wartawan saat mengikuti Pernyataan Sikap Akademisi Yogyakarta untuk Sinergi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta Penegakan Hukum, Zainal menegaskan, tim independen itulah yang nantinya menelaah apakah BW benar melakukan apa yang disangkakan. Atau hanya bermaksud mengkriminalisasikan KPK.
“Meski kedudukan presiden tinggi, tapi dia tidak memiliki hak intervensi soal hukum. Karena itu, bentuk saja tim independen dan lalui prosesnya. Sebagai advokat, saya yakin BW telah melakukan tugasnya dengan benar,” katanya.
Bertindak sebagai moderator pernyataan sikap akademisi DIY, Zainal mengungkapkan, banyak pakar hukum dan tata negara yang bisa ditunjuk untuk bergabung dalam tim independen untuk kasus BW tersebut. Nama-nama terkenal seperti Mahfud MD, Taufiequrahman Ruki, Jimly Asshiddiqie, dan Muchtar Mahfud bisa masuk dalam tim tersebut.
“Saya ingin kembali mengingatkan masyarakat, kasus BW berbeda dengan kasus BG yang jelas merupakan kasus korupsi. Marilah kita belajar dari sejarah. Terbukti, setiap ada aparat Polri yang terjerat kasus oleh KPK, ada saja anggota KPK yang dikriminalisasi. Ini bisa dikatakan cicak vs buaya jilid 3,” beber Zainal.
Dalam pernyataan sikap para akademisi DIY tersebut, hadir sejumlah pegiat antikorupsi yang sepakat melindungi dan mengawal KPK. Sebagai institusi yang dipercaya rakyat dalam memberantas korupsi.
Tak hanya poin independensi proses, mereka juga sepakat diperlukan hak imunitas bagi komisioner dan anggota KPK terhadap upaya kriminalisasi. “Di Undang-Undang (UU) KPK tidak ada pasal imunitas, sehingga rawan dikriminalisasi. Sehingga perlu digagas pasal imunitas untuk komisioner dan anggota KPK. Imunitas ini segera harus diwujudkan, setidaknya menjadi Perppu (peraturan presiden pengganti UU). Karena advokat saja ada perlindungan hukumnya, ada imunitasnya,” ungkap anggota Ombudsman RI Budi Santoso.
Persoalan hukum yang melibatkan kedua lembaga hukum ini juga mendapat perhatian dari kalangan akademisi DIY. “Komitmen pemberantasan korupsi merupakan bagian dari mandat konstitusi dan spirit reformasi. Presiden sebagai kepala negara harus tetap berdiri pada garis konstitusi upaya pemberantasan korupsi. Presiden seyogianya tidak ragu mengambil sikap dan keputusan yang tepat dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan,” ucap Rek-tor UGM Prof Ir Dwikorita Karnawati PhD, kemarin.
Saat menyampaikan Pernyataan Sikap Akademisi Yogyakarta untuk Sinergi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta Penegakan Hukum, Rita sapaan akrab Dwikorita Karnawati juga menegaskan, adanya kecenderungan terjadi politisasi hukum yang berdampak pada merosotnya kredibilitas lembaga negara dalam gesekan yang melibatkan KPK dan Polri tersebut.
Dia khawatir hal tersebut bisa melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan aparat hukum. “Karenanya, kami mengimbau agar hukum ditegakkan, ditaati prinsip- prinsip dasarnya guna mewujudkan keadilan dan mengembalikan lembaga negara sesuai fungsinya dengan mendasarkan pada etika dan konstitusi,” ucapnya.
Selain itu, gejala pengabaian terhadap suara dan aspirasi rakyat di dalam menyelesaikan persolan bangsa saat ini cukup meresahkan. Oleh karena itu, presiden dalam menyelesaikan persoalan krusial diharapkan tetap bisa mendengar dan memerhatikan suara dari tokohtokoh masyarakat.
Seperti akademisi, LSM, tokoh agama, dan mereka yang peduli terhadap bangsa Indonesia. Pernyataan sikap tersebut didukung oleh pimpinan dan guru besar UGM, Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM, Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Indonesia (Gemati) UGM, serta perwakilan dari UNY, UIN, UII, UMY, UAJY, UKDW, UMY, UKDW, Universitas Janabadra, dan Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional (STPN).
Menurut pakar hukum UAJY Sundari, penanganan kasus BG seharusnya didahulukan dibandingkan kasus BW. Hal tersebut didasarkan pada teori hukum extraordinary, di mana kasus hukum yang besar didahulukan penyelesaiannya, sebelum menyelesaikan perkara hukum kecil lainnya.
Wakil Rektor III UII Dr Abdul Jamil SH MH pun menegaskan, presiden harus bersikap tegas dalam menyikapi persoalan yang ada. Dia berharap Presiden Jokowi tidak terpengaruh oleh sikap partai politik pengusungnya.
“Presiden itu milik rakyat. Jadi wajib mendukung rakyatnya. Selama presiden bertindak sesuai keinginan rakyat, dukungan rakyat sudah pasti akan diterimanya,” tuturnya.
Ratih Keswara
(ftr)