Pegiat Antikorupsi DIY Kecam Polri
A
A
A
PENANGKAPAN Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) oleh aparat Bareskrim Mabes Polri menuai kecaman dari masyarakat Yogyakarta, Gerakan Rakyat Antikorupsi DIY.
Kemarin, mereka menggelar aksi mengecam tindakan Polri di Simpang Empat Tugu Kota Yogyakarta. Para penggiat antikorupsi ini menilai Polri mengkriminalisasi KPK. Dalam aksinya, mereka membentangkan poster berisi dukungan terhadap KPK, di antaranya bertulis Anda Dimana Mister Presiden? #save KPK’, Lawan Kriminalisasi KPK, Rakyat Bersatu Lawan Kriminalisasi KPK, dan Gerakan Rakyat Antikorpsi DIY Dukung KPK.
Salah satu aktivis, Baharuddin Kamba mengatakan, penangkapan BW layaknya penangkapan teroris. Dia melihat ada upaya kriminalisasi yang dilakukan Polri terhadap pimpinan KPK. “Kami akan lawan segala bentuk kriminalisasi dan upaya melemahkan KPK. Karena kami percaya KPK adalah satu-satunya institusi yang memiliki taring memberantas korupsi di Tanah Air,” kata Kamba disela aksi demonstrasi.
Mereka meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil sikap atas penangkapan BW. Jika tidak, akan muncul pertanyaan terhadap komitmen presiden dalam upaya pemberantasan korupsi seperti yang janjikan saat kampanye pilpres. “Hari ini (kemarin) ujian bagi Jokowi, buktikan janji-janji saat kampanye,” desaknya.
Terpisah, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM juga mengecam penangkapan BW. “Ini upaya nyata perlawanan Polri mematikan upaya pemberantasan korupsi,” kata peneliti Pukat Zainurahman saat menggelar konferensi pers di kantornya, kemarin.
Dia khawatir penangkapan ini adalah upaya menghancurkan KPK secara perlahan. Karena jika BW ditangkap, maka komisioner KPK tinggal tersisa tiga orang, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen. Jika isu yang menyerang Abraham Samad terus dilontarkan, tersisa dua komisioner.
“Kalau tinggal dua komisioner, KPK praktis berhenti. KPK bekerja secara kolektif kolegial sehingga komisioner tidak bisa ambil kebijakan penting seperti penetapan tersangka atau penahanan,” katanya.
100 Pengacara Dampingi BW
Penangkapan BW juga dianggap tidak patut bila melihat dasar dan cara penangkapan yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri. Hal tersebut diungkapkan Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI) Aprillia Supaliyanto.
Menurut informasi yang diterimanya, BW ditangkap atas sangkaan menyuruh saksi atau turut memberikan keterangan palsu pada sidang di Mahkamah Konstitusi tahun 2010 terkait sengketa Pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah.
“Kasus tersebut telah disidang dan divonis pengadilan. Seharusnya BW jauh hari diperiksa dulu oleh penyidik, untuk klarifikasi awal, itu dari sisi KUHAP. Terlepas dari KUHAP, jika main tangkap seperti ini, bisa disebut bak koboi,” ujarnya saat konferensi pers bersama Jogjakarta Lawyers Club (JLC), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dan KAI di Yogyakarta, kemarin.
Pihaknya prihatin atas penangkapan BW karena terkesan Polri menunjukkan arogansinya. Publik pasti bertanya apakah penangkapan BW ada kaitan dengan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh KPK. “Setiap anggota Polri tersentuh kasus hukum di KPK, pasti ada korban. Ini sudah ke sekian kalinya. Wajar jika publik mengaitkannya dengan kasus BG,” ujarnya.
Ketua JLC Najib A Gisymar menambahkan, sebagai bentuk dukungan kepada BW, mereka akan menyiapkan 100 pengacara mendampinginya menempuh proses hukum. “Kami juga ingin memberikan dukungan untuk membersihkan institusi Polri dari orang yang punya kepentingan dan ingin menjatuhkan KPK,” katanya.
Pihaknya juga meminta Presiden segera mengambil sikap. Jika permasalahan ini dibiarkan, maka yang terjadi adalah darurat hukum di Indonesia. “Ini bukan negara koboi, presiden harus ambil alih perkara ini agar tidak terjadi darurat hukum,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum MUI Din Syamsuddin mengaku sangat prihatin dengan penangkapan BW. “Dengan kenegarawanan, saya kira perlu turun tangan presiden dan wapres,” katanya seusai bertemu Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Kepatihan Yogyakarta, kemarin.
Din mengungkapkan MUI tidak bisa berbuat banyak dengan masalah tersebut. Apalagi sebagai ulama, mereka hanya bisa memberikan imbauan. “Semua pihak, baik ormas, partai politik, dan lembaga negara untuk mengendalikan diri,” katanya.
Ristu Hanafi
Kemarin, mereka menggelar aksi mengecam tindakan Polri di Simpang Empat Tugu Kota Yogyakarta. Para penggiat antikorupsi ini menilai Polri mengkriminalisasi KPK. Dalam aksinya, mereka membentangkan poster berisi dukungan terhadap KPK, di antaranya bertulis Anda Dimana Mister Presiden? #save KPK’, Lawan Kriminalisasi KPK, Rakyat Bersatu Lawan Kriminalisasi KPK, dan Gerakan Rakyat Antikorpsi DIY Dukung KPK.
Salah satu aktivis, Baharuddin Kamba mengatakan, penangkapan BW layaknya penangkapan teroris. Dia melihat ada upaya kriminalisasi yang dilakukan Polri terhadap pimpinan KPK. “Kami akan lawan segala bentuk kriminalisasi dan upaya melemahkan KPK. Karena kami percaya KPK adalah satu-satunya institusi yang memiliki taring memberantas korupsi di Tanah Air,” kata Kamba disela aksi demonstrasi.
Mereka meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil sikap atas penangkapan BW. Jika tidak, akan muncul pertanyaan terhadap komitmen presiden dalam upaya pemberantasan korupsi seperti yang janjikan saat kampanye pilpres. “Hari ini (kemarin) ujian bagi Jokowi, buktikan janji-janji saat kampanye,” desaknya.
Terpisah, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM juga mengecam penangkapan BW. “Ini upaya nyata perlawanan Polri mematikan upaya pemberantasan korupsi,” kata peneliti Pukat Zainurahman saat menggelar konferensi pers di kantornya, kemarin.
Dia khawatir penangkapan ini adalah upaya menghancurkan KPK secara perlahan. Karena jika BW ditangkap, maka komisioner KPK tinggal tersisa tiga orang, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen. Jika isu yang menyerang Abraham Samad terus dilontarkan, tersisa dua komisioner.
“Kalau tinggal dua komisioner, KPK praktis berhenti. KPK bekerja secara kolektif kolegial sehingga komisioner tidak bisa ambil kebijakan penting seperti penetapan tersangka atau penahanan,” katanya.
100 Pengacara Dampingi BW
Penangkapan BW juga dianggap tidak patut bila melihat dasar dan cara penangkapan yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri. Hal tersebut diungkapkan Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI) Aprillia Supaliyanto.
Menurut informasi yang diterimanya, BW ditangkap atas sangkaan menyuruh saksi atau turut memberikan keterangan palsu pada sidang di Mahkamah Konstitusi tahun 2010 terkait sengketa Pilkada Kotawaringin, Kalimantan Tengah.
“Kasus tersebut telah disidang dan divonis pengadilan. Seharusnya BW jauh hari diperiksa dulu oleh penyidik, untuk klarifikasi awal, itu dari sisi KUHAP. Terlepas dari KUHAP, jika main tangkap seperti ini, bisa disebut bak koboi,” ujarnya saat konferensi pers bersama Jogjakarta Lawyers Club (JLC), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dan KAI di Yogyakarta, kemarin.
Pihaknya prihatin atas penangkapan BW karena terkesan Polri menunjukkan arogansinya. Publik pasti bertanya apakah penangkapan BW ada kaitan dengan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh KPK. “Setiap anggota Polri tersentuh kasus hukum di KPK, pasti ada korban. Ini sudah ke sekian kalinya. Wajar jika publik mengaitkannya dengan kasus BG,” ujarnya.
Ketua JLC Najib A Gisymar menambahkan, sebagai bentuk dukungan kepada BW, mereka akan menyiapkan 100 pengacara mendampinginya menempuh proses hukum. “Kami juga ingin memberikan dukungan untuk membersihkan institusi Polri dari orang yang punya kepentingan dan ingin menjatuhkan KPK,” katanya.
Pihaknya juga meminta Presiden segera mengambil sikap. Jika permasalahan ini dibiarkan, maka yang terjadi adalah darurat hukum di Indonesia. “Ini bukan negara koboi, presiden harus ambil alih perkara ini agar tidak terjadi darurat hukum,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum MUI Din Syamsuddin mengaku sangat prihatin dengan penangkapan BW. “Dengan kenegarawanan, saya kira perlu turun tangan presiden dan wapres,” katanya seusai bertemu Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Kepatihan Yogyakarta, kemarin.
Din mengungkapkan MUI tidak bisa berbuat banyak dengan masalah tersebut. Apalagi sebagai ulama, mereka hanya bisa memberikan imbauan. “Semua pihak, baik ormas, partai politik, dan lembaga negara untuk mengendalikan diri,” katanya.
Ristu Hanafi
(ftr)