Ketika Assaat Menjabat Presiden Sembilan Bulan
A
A
A
Assaat, ternyata pernah menjadi penjabat presiden selama sembilan bulan menggantikan Presiden Soekarno. Bagaimana ceritanya?
Selain Sjafrudin Prawiranegara, Assaat juga pernah menjabat presiden RI. Berbeda dengan sejumlah presiden lain yang populer di masyarakat, baik Sjafrudin maupun Assaat, nyaris tak diketahui bahwa mereka pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950.
Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai. Begitu juga, jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya.
Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Saat menjadi acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi menteri dalam negeri, sejak September 1950 sampai Maret 1951.
Setelah Kabinet Natsir bubar, dia kembali menjadi anggota Parlemen. Tahun 1955, dia menjabat sebagai formatur kabinet, bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai perdana menteri.
Sebab, pada saat itu terjadi ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintahan pusat. Pemerintah daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur (Assaat, Soekiman Wirjosandjojo, dan Wilopo) tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh parlemen.
Assat lahir di Dusun Pincuran Landai, Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, pada 18 September 1904. Suami Roesiah ini meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976, pada usia 71 tahun dengan meninggalkan empat putra dan putri, yakni Ras Soelaiman Assaat, Aminullah Assaat, Lucy Sakura Assaat, dan Iqbal Assaat.
Saat kecil, Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang. Kemudian, melanjutkan sekolah ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Jakarta. Lantaran merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMA sekarang).
Setelah lulus AMS, Assaat melanjutkan pendidikannya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Ketika menjadi mahasiswa RHS, dia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, gerakan pemuda, dan politik.
Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya, makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda, dia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin, serta beberapa tokoh lainnya.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan meskipun sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum.
Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajah Belanda, sepulangnya ke tanah air pada Tahun 1939, Assaat membuka praktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang, dia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI).
Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung. Dia selalu diawasi oleh intel, serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja", dia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jalan Teuku Umar ke Jalan Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang.
Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu, di Sumatera Selatan sudah terbentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatera Barat, Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng.
Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatera Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.
Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Soekarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah pemerintah pusat menggempur kekuatan PRRI.
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani hidup di dalam penjara Demokrasi Terpimpin selama 4 tahun (1962-1966). Dia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung Jati, Jakarta Selatan. Assaat diberi gelar Datuk Mudo, diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai taulan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Sumber : wikipedia.org (diolah dari berbagai sumber)
Selain Sjafrudin Prawiranegara, Assaat juga pernah menjabat presiden RI. Berbeda dengan sejumlah presiden lain yang populer di masyarakat, baik Sjafrudin maupun Assaat, nyaris tak diketahui bahwa mereka pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950.
Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai. Begitu juga, jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya.
Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Saat menjadi acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi menteri dalam negeri, sejak September 1950 sampai Maret 1951.
Setelah Kabinet Natsir bubar, dia kembali menjadi anggota Parlemen. Tahun 1955, dia menjabat sebagai formatur kabinet, bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai perdana menteri.
Sebab, pada saat itu terjadi ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintahan pusat. Pemerintah daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur (Assaat, Soekiman Wirjosandjojo, dan Wilopo) tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh parlemen.
Assat lahir di Dusun Pincuran Landai, Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, pada 18 September 1904. Suami Roesiah ini meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976, pada usia 71 tahun dengan meninggalkan empat putra dan putri, yakni Ras Soelaiman Assaat, Aminullah Assaat, Lucy Sakura Assaat, dan Iqbal Assaat.
Saat kecil, Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang. Kemudian, melanjutkan sekolah ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Jakarta. Lantaran merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMA sekarang).
Setelah lulus AMS, Assaat melanjutkan pendidikannya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Ketika menjadi mahasiswa RHS, dia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, gerakan pemuda, dan politik.
Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya, makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda, dia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin, serta beberapa tokoh lainnya.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan meskipun sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum.
Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajah Belanda, sepulangnya ke tanah air pada Tahun 1939, Assaat membuka praktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang, dia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI).
Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung. Dia selalu diawasi oleh intel, serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja", dia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jalan Teuku Umar ke Jalan Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang.
Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu, di Sumatera Selatan sudah terbentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatera Barat, Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng.
Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatera Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.
Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Soekarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah pemerintah pusat menggempur kekuatan PRRI.
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani hidup di dalam penjara Demokrasi Terpimpin selama 4 tahun (1962-1966). Dia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung Jati, Jakarta Selatan. Assaat diberi gelar Datuk Mudo, diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai taulan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Sumber : wikipedia.org (diolah dari berbagai sumber)
(lis)