Berharap Kembali Bangkitkan Ekonomi Keluarga

Kamis, 22 Januari 2015 - 10:11 WIB
Berharap Kembali Bangkitkan...
Berharap Kembali Bangkitkan Ekonomi Keluarga
A A A
BANDUNG - Nasib para penambang material hulu Sungai Citarum mulai tergerus zaman. Padahal selama puluhan tahun para penambang pasir dan batu di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung itu, menjadikan profesi mereka sebagai pengisi periuk nasi keluarga mereka.

Profesi itu mereka jalani secara tradisional dan turun temurun. Hingga akhirnya sampai 2003, popularitas pasir Sungai Citarum merosot tajam karena ada pasir yang dinilai kualitasnya lebih bagus yakni dari Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Satu persatu warga Majalaya yang menjalani profesi penambang pasir itu pun menyusut, kemudian meredup dan tidak ada sama sekali yang menjalaninya lagi.

Semua pemborong pasir beralih ke Pasir Cimalaka. Demikian pula pemborong batu, yang tadinya membeli dari hasil penambangan Sungai Citarum pun, sudah beralih ke batu ares yang ditambang di perbukitan. Kini, mereka terpaksa beralih profesi jadi pekerja wiraswasta. Ada yang bekerja serabutan, bahkan ada pula yang tidak bekerja.

Seperti yang dialami salah seorang bekas penambang pasir, Endang Tosin, 54. Kini dia bekerja serabutan setelah usaha tambang pasirnya terhenti sejak 2003 lalu. Warga Kampung Balekambang Dangdeur, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya ini dulunya seorang yang mengkoordinir para penambang pasir di Sungai Citarum Blok Dangdeur Balekambang.

Menurut Endang, saban hari dari pagi hingga menjelang sore, dia menerima para penambang pasir hingga 10 orang. Dari hasil sepuluh pekerjanya itu, dia bisa menghasilkan delapan bak mobil hingga 10 truk pasir. Harga pasir hasil tambangan mereka kala itu mencapai Rp300.000 per bak mobil atau empat kubik. Dalam sehari penambangan pasir mereka bisa mencapai 240 kubik.

“Satu bak mobil itu bisa mencapai empat kubik pasir yang ditambang oleh dua orang pekerja. Setiap pekerja mendapat upah Rp100.000 per hari. Satu tanggungan pasir dihargai Rp1.000,” kata Endang kepada KORAN SINDO kemarin. Dengan hasil jerih payah seperti itu, cukup untuk menafkahi keluarga seharihari. Dari satu titik lokasi penambangan bisa menghidupi 30 jiwa.

Bahkan, kata Endang, pegawainya ada yang bisa membeli sebidang sawah. “Sawah di kampungkampung mereka kan waktu itu masih pada murah, jadi mereka bisa menabung dari hasil penambangan pasir,” kenangnya. Endang sendiri mengaku menjadi penambang pasir karena usaha turun temurun dari keluarganya.

Menurutnya, selama 30 tahun lebih ke belakang keluarganya mengikat nasib ke urat nadi Citarum. Endang sendiri baru saja lima tahun menjadi penambang pasir sebelum akhirnya penambangan pasir beralih ke Cimalaka Sumedang. Dia mengatakan, para pemborong beralih ke pasir Cimalaka karena kualitas pasirnya yang lebih bagus dari pasir Citarum.

“Katanya kalau pakai pasir Cimalaka itu adukan cukup dengan dua semen bisa neplok jadi tembok, sementara pasir Citarum adukan harus dengan empat semen sehingga para pemborong bisa lebih efisien kalau pakai pasir Cimalaka,” terangnya.

Endang mengatakan, penanganan banjir akibat luapan Sungai Citarum sebenarnya bisa teratasi jika para penambang pasir di aliran sungai terpanjang di Jawa Barat itu terus berlanjut. Daripada menghabiskan dana triliunan rupiah untuk pengerukan atas pendangkalan sungai dan pembangunan insfrastruktur penanganan banjir, kata Endang, akan lebih murah dan efektif lagi jika para penambang tetap mengeruk pasir di sungai tersebut.

“Kalau sungai dikeruk oleh para penambang pasir, sungai pun makin dalam, airnya pun tidak akan meluap ke daratan sampai ke permukiman warga,” kata dia.

Iwa Ahmad Sugriwa
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0930 seconds (0.1#10.140)