Lomba Mewarnai di Atas Kabar Karut-Marut Negeri

Minggu, 18 Januari 2015 - 10:15 WIB
Lomba Mewarnai di Atas...
Lomba Mewarnai di Atas Kabar Karut-Marut Negeri
A A A
SEKITAR pukul 07.15 WIB, Sabtu (17/1), kami berangkat menuju Taman Remaja Surabaya (TRS) untuk mengantar Ahmad Zidane mengikuti Lomba Mewarnai IGTKI-PGRI Kecamatan Sukolilo. Meja lipat dan sekotak krayon sudah siap di dalam tas. Tak lupa juga koran yang penuh berita karut-marut negeri ini di bawa untuk alas duduk.

Perjalanan 15 menit, kami sampai di TRS Jalan Kusuma Bangsa. Sempat kami akan parkir tak resmi di trotoar jalan dengan tarif Rp3000. Namun, entah mengapa, tiba-tiba juru parkir (jukir) menyuruh kami untuk parkir di dalam (parkir) resmi yang tarifnya Rp2000. Beruntung masih banyak ruang kosong sehingga kami bisa segera masuk ke area lomba, depan panggung besar.

Rombongan TK Permata Bangsa, Semolowaru Indah, sudah banyak yang tiba lebih dahulu. Lembarlembar koran sudah digelar dan di antaranya masih belum ada yang menempati. Zidane duduk di salah satu lembar koran tertanggal Sabtu 17 Desember 2015. Mungkin tadi pemiliknya sengaja membeli koran baru untuk alas duduk, bukan untuk dibaca. Karena sudah mendapat tempat, koran yang dibawa Zidane pun dibeber di tempat yang lain.

Ratusan atau bahkan mungkin seribu lebih para siswa TK, orang tua, guru, berkumpul di depan panggung utama THR. Mayoritas mereka beralas koran, sebagian kecil lainnya beralas spanduk bekas, tikar atau jenis alas lainnya. Berita-berita, foto-foto, iklaniklan, hingga opini-opini para ahli itu tertutup pantat. Zidane segera memasang meja lipat bergambar tokoh kartun ”Car” dan membuka kotak krayonnya.

Selembar kertas dengan gambar seorang anak berlari dengan latar pemandangan, diterimanya dari guru. Ia berbincang-gurau dengan teman-temannya sebentar, lalu sibuk mewarnai gambar tersebut. Satu demi satu warna diarsirkan untuk menutup kertas putih bergambar itu. Wajah anak laki-laki dalam gambar itu diwarnai cokelat, mirip warna biji salak. Ia tak peduli dengan warna yang ada di realitas.

Zidane hanya mewarna sesuka hatinya. Ia mengambil krayon dan memilih warna yang menurutnya bagus. Tak peduli itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tak ayal, langit warnanya dengan ungu. ”Lho ...Zid, langitnya kok ungu, bukan biru,” celetuk gurunya. Tapi bocah enam tahun itu cuek saja. ”Gak papa , bagusan ungu,” jawabnya tanpa menoleh sambil terus mewarnai langit.

Di sisi yang lain, tampak orang tua memandu anaknya memilih warna. Ya, pilihan warna orang tua yang sudah merasakan asam-garam kehidupan. Langit pun diwarnai biru, daundaun diwarnai hijau. Warna-warna yang telah menjadi konvensi manusia dewasa. Bahkan, dia sempat melarang anaknya itu saat hendak mengambil pensil biru untuk mewarnai gambar daun.
Sekitar 20 menit dari pukul 08.00 WIB, Zidane sudah selesai mewarnai. Segera kertas hasil kejujuran interpretasi seorang bocah, itu dikumpulkan ke gurunya. Zidane lalu diberi selembar tiket untuk bermain di salah satu wahana di tempat hiburan yang penuh sejarah di Surabaya itu. Ia berdiri dan meninggalkan begitu saja koran dengan gambar tokoh negeri ini yang tadi diduduki pantatnya.

Ia memilih naik kereta yang lintasan relnya di atas tiang mengelilingi TRS. Zidane duduk di gerbong paling depan. Tak lama, kereta itu sudah penuh berisi anak-anak TK, juga beberapa orang tua. Dari atas, bocah tinggi kurus itu sibuk melihat pemandangan di bawahnya. Dari atas ia menikmati dunia polosnya. ”Orang-orang lho kelihatan kecil semua (dilihat) dari atas tadi,” katanya setelah turun dari kereta.

Anak-Anak dan Warna

Semua orang pernah menjadi kanak-kanak, tanpa terkecuali. Para orang baik, orang jahat, dulu pastilah menjadi bocah yang menghadapi dunia ini dengan apa adanya. Negeri ini dengan segala kebaikan ataupun keburukannya akhirnya mewarnai sifat dan sikap saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, menjadi tua. Salah satu psikologis perkembangan anak yang kelak membentuk karakternya ketika dewasa adalah warna.

Departemen Pengembangan Anak di California State University Fullerton pernah melakukan studi tentang warna dan asosiasi terhadap emosional anak-anak. Pada studi tersebut, anakanak usia antara 5-6 tahun diminta memilih warna favorit dari sembilan warna yang diberikan secara acak sesuai dengan perasaan mereka saat itu.

Ternyata 69% dari anakanak memilih warna-warna cerah yang mengungkapkan kebahagiaan dan kegembiraan seperti pink , biru, dan merah. Beberapa memilih hitam, abuabu, dan cokelat yang menunjukkan emosi negatif seperti kesedihan. Berikut beberapa jenis warna dan maknanya, seperti dilansir Lifemojo. Putih, melambangkan kegembiraan, kedamaian, kemurnian, dan kebersihan.

Kuning, warna ini menenangkan saraf dengan memberikan efek menenangkan dan juga dikenal dapat merangsang aktivitas otot. Biru, warna ini menandakan keyakinan, perdamaian dan kebijaksanaan, dan dapat membantu menenangkan saraf anak, serta memberikan tidur yang baik di malam hari. Hijau adalah warna yang menandakan penyegaran dan membantu memperkuat harga diri dan menyalakan harapan.

Hijau adalah warna yang sangat menggembirakan dan idealnya cocok untuk anakanak yang memiliki perasaan rendah diri dan perasaan tertekan. Merah adalah warna yang menarik yang menandakan gairah, keinginan, dan membuat anak bersemangat.

Ungu menandakan kekuasaan, kemewahan, dan royalti bila muncul dalam nuansa lebih gelap. Nuansa ringan seperti lavender memberikan suasana damai dan membantu menenangkan saraf. Warna ungu yang sangat gelap tidak direkomendasikan karena dapat membangkitkan rasa frustrasi dan kesedihan pada anak-anak. Anak-anak tidak menangkap warna ini begitu mudah. Cokelat dan abu-abu adalah beberapa nada bumi.

Warna ini merupakan warna ideal untuk anak-anak yang hiperaktif dan penuh dengan energi. Warna ini memberikan relaksasi, kehangatan, dan kenyamanan. Jika demikian, kira-kira dulu semasa kecil para pemimpin dan petinggi negeri ini, suka warna apa?

Zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0793 seconds (0.1#10.140)