Sengketa Cantayan Berlarut-larut
A
A
A
PURWAKARTA - DPRD Kabupaten Purwakarta meminta persoalan sengketa lahan Cantayan di kawasan bendungan PLTA PT PJB UP Cirata atau tepatnya di Kecamatan Tegalwaru dan Maniis, Kabupaten Purwakarta, segera tuntas.
Legislator tidak ingin persoalan tersebut berlarut-larut. Pasalnya, dikhawatirkan dapat me man cing kemarahan warga se hingga bisa menimbulkan kerugian cukup besar karena tanah yang jadi sengketa sudah men jadi objek vital. Permintaan tersebut menyusul adanya aksi pemblokadean jalan arternatif oleh warga di Kawasan Waduk Cirata yang menghubungkan Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur, kemarin.
Mereka merupa kan ahli waris Emad bin Uci dkk pemilik lahan Cantayan seluas 88,9 hektare yang kini sudah berubah fungsi menjadi bendungan waduk terbesar se-Asia Tenggara itu. Klaim kepemilikan lahan Cantayan oleh warga setelah memenangkan sidang peninjauan kembali (PK) perkara sengketa lahan Cantayan di Mahkamah Agung 2012 lalu.
Dalam kasus sengketa la han ini warga melawan pihak pemerintah dalam hal ini di antaranya Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, PT Perhutani, PT PLN dkk. Warga menggelar aksi pembelokadean jalan karena kesal proses ganti rugi tidak juga dilakukan. Bahkan, mereka mengecam akan meduduki kator PT PJB UP Cirata anak prusahaan PT PLN jika tuntutan mereka tidak juga direlisasikan.
Terlebih aksi unjuk rasa menutut ganti rugi yang dilakukan bukan kali pertama setelah perkara sengketa lahan itu sudah memiliki kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan PK pada 2012 lalu.
“Bagaimana pun persoalan ini harus segera diselesaikan. Jika sudah ada proses hukum yang yang berperan dalam penyelesaian perkara ini maka harus dipatuhi. Pihak yang kalah berati harus segera membayar. Apapun alasannya ya harus dibayar,”kata Ketua DPRD Kabupaten Purwakarta Sarip Hidayat kepada KORAN SINDO di lokasi ujuk rasa, kemarin.
Adanya putusan PK Nomor No 737 PK/PDT/2010, yang diputus pada 2012, dinyatakan kalah dalam perkara sengketa tersebut dan pihak pemerintah di wajibkan harus membayar ganti rugi kepada masyarakat yang dalam hal ini adalah ahli waris Emad bin Uci dkk yang sebelumnya berperan sebagai penggugat. Untuk itu DPRD Purwakarta, tambah Sarip, siap memfasilitasi warga dengan pihakpihak terkait yang terlibat dalam sengketa tersebut.
“Kami akan undang semua pihak-pihak terkait untuk mengetahui kenapa proses gantirugi tidak kunjung dilakukan, padahal dalam kasus ini sudah ada putusan PK dari Mahkamah Agung yang telah memenangkan mereka (masyarakat),”ujar Sarip.
Sementara itu, Dodo Jabrig, 53, salah seorang warga yang juga ahli waris lahan Cantayan sekaligus kordinator dalam aksi pemblokadean jalan tersebut mengaku gugatan warga dalam sengketa lahan Cantayan tersebut dilakukan sejak 1998 lalu. Saat itu proses hukum dilakukan cukup panjang, dari mulai proses sidang dari tingkat pengadilan tinggi (PN) Purwakarta, Kasasi sidang di PN Bandung hingga pengadilan di MA.
“Hingga akhirnya dalam putusan PK sengketa lahan di menangkan pihak masyarakat. Kasus sengketa lahan ini bergulir hampir 33 tahun, sebelum akhirnya menempuh proses hukum pada 1998 itu. Kami sudah lelah, kenapa proses hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap sekalipun pihak pemerintah tidak kujung melakukan ganti rugi hingga sekarang,”ujar Dodo.
Didin Jalaludin
Legislator tidak ingin persoalan tersebut berlarut-larut. Pasalnya, dikhawatirkan dapat me man cing kemarahan warga se hingga bisa menimbulkan kerugian cukup besar karena tanah yang jadi sengketa sudah men jadi objek vital. Permintaan tersebut menyusul adanya aksi pemblokadean jalan arternatif oleh warga di Kawasan Waduk Cirata yang menghubungkan Kabupaten Purwakarta, Bandung Barat dan Cianjur, kemarin.
Mereka merupa kan ahli waris Emad bin Uci dkk pemilik lahan Cantayan seluas 88,9 hektare yang kini sudah berubah fungsi menjadi bendungan waduk terbesar se-Asia Tenggara itu. Klaim kepemilikan lahan Cantayan oleh warga setelah memenangkan sidang peninjauan kembali (PK) perkara sengketa lahan Cantayan di Mahkamah Agung 2012 lalu.
Dalam kasus sengketa la han ini warga melawan pihak pemerintah dalam hal ini di antaranya Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, PT Perhutani, PT PLN dkk. Warga menggelar aksi pembelokadean jalan karena kesal proses ganti rugi tidak juga dilakukan. Bahkan, mereka mengecam akan meduduki kator PT PJB UP Cirata anak prusahaan PT PLN jika tuntutan mereka tidak juga direlisasikan.
Terlebih aksi unjuk rasa menutut ganti rugi yang dilakukan bukan kali pertama setelah perkara sengketa lahan itu sudah memiliki kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan PK pada 2012 lalu.
“Bagaimana pun persoalan ini harus segera diselesaikan. Jika sudah ada proses hukum yang yang berperan dalam penyelesaian perkara ini maka harus dipatuhi. Pihak yang kalah berati harus segera membayar. Apapun alasannya ya harus dibayar,”kata Ketua DPRD Kabupaten Purwakarta Sarip Hidayat kepada KORAN SINDO di lokasi ujuk rasa, kemarin.
Adanya putusan PK Nomor No 737 PK/PDT/2010, yang diputus pada 2012, dinyatakan kalah dalam perkara sengketa tersebut dan pihak pemerintah di wajibkan harus membayar ganti rugi kepada masyarakat yang dalam hal ini adalah ahli waris Emad bin Uci dkk yang sebelumnya berperan sebagai penggugat. Untuk itu DPRD Purwakarta, tambah Sarip, siap memfasilitasi warga dengan pihakpihak terkait yang terlibat dalam sengketa tersebut.
“Kami akan undang semua pihak-pihak terkait untuk mengetahui kenapa proses gantirugi tidak kunjung dilakukan, padahal dalam kasus ini sudah ada putusan PK dari Mahkamah Agung yang telah memenangkan mereka (masyarakat),”ujar Sarip.
Sementara itu, Dodo Jabrig, 53, salah seorang warga yang juga ahli waris lahan Cantayan sekaligus kordinator dalam aksi pemblokadean jalan tersebut mengaku gugatan warga dalam sengketa lahan Cantayan tersebut dilakukan sejak 1998 lalu. Saat itu proses hukum dilakukan cukup panjang, dari mulai proses sidang dari tingkat pengadilan tinggi (PN) Purwakarta, Kasasi sidang di PN Bandung hingga pengadilan di MA.
“Hingga akhirnya dalam putusan PK sengketa lahan di menangkan pihak masyarakat. Kasus sengketa lahan ini bergulir hampir 33 tahun, sebelum akhirnya menempuh proses hukum pada 1998 itu. Kami sudah lelah, kenapa proses hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap sekalipun pihak pemerintah tidak kujung melakukan ganti rugi hingga sekarang,”ujar Dodo.
Didin Jalaludin
(ftr)