Industri Gula Indonesia Tak Siap Pasar Bebas ASEAN
A
A
A
SURABAYA - Tahun ini industri gula nasional bakal masuk pasar bebas ASEAN (MEA). Perlu banyak pembenahan jika industri gula tak ingin tertinggal dengan Thailand, Vietnam, danMalaysia.
Direktur PTPN X wilayah Jawa Timur Subiyono memprediksi dengan kondisi yang ada sekarang, maka dari berbagai sudut pandang manapun, industri gula nasional tetap kalah. Jika tak diantisipasi dengan upaya maksimal, bukan tidak mungkin industri yang sebagian besar berbasis di wilayah pedesaan ini bakal segera gulung tikar.
”Tidak akan lama, pasti gulung tikar jika kondisi sulit ini tidak segera dicari solusinya,” jelasnya. Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di berbagai negara seperti Australia, Thailand, Afrika, dan Amerika Selatan, industri gula berkembang sangat pesat. Sayangnya secara umum industri gula nasional cenderung stagnan bahkan mengalami kemunduran. Satu di antaranya karena sejak lebih dari dua dekade silam, industri gula harus beroperasi dengan teknologi usang dan peralatan tua. Investasi yang dikeluarkan untuk perbaikan pabrik juga sangat rendah.
Selain itu, lanjut dia, bidang perkebunan mengalami kemunduran yang menyebabkan turunnya kinerja maupun efisiensi pada level makro. Padahal hal ini menurunkan rural income serta kesejahteraan petani. ”Melihat keadaan ini Industri gula seperti diambang kehancuran karena sulit bersaing dengan produk gula impor. Dan dipastikan industri gula nasional belum siap menghadapi MEA,” sesal Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) ini.
Beberapa hal yang mulai diperhatikan untuk menyambut MEA adalah menjaga kualitas barang, menjaga harga barang dan menjaga perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi barang karena Indonesia telah memasuki pasar bebas. Berbagai produk hingga tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia siap bersaing dengan produk dalam negeri dan tenaga kerja Indonesia.
Terpisah, pengamat ekonomi dari UII Edy Suandi Hamid mengatakan dampak MEA sudah terasa dua tahun terakhir ini. Hanya masyarakat kurang peka dengan maraknya serbuan produk-produk asing yang mulai membanjiri toko-toko ritel. Ketidakpekaan masyarakat diakibatkan pola konsumtif warga Indonesia yang tinggi, sehingga tidak terlalu memedulikan dari mana produk berasal.
”Menghadapi MEA yang sudah di depan mata ini para pelaku industri harus mengencangkan ikat pinggang guna menghadapi persaingan produk secara langsung. Pemerintah juga seharusnya memberikan proteksi terhadap produk lokal agar tidak kalah dengan gempuran asing. Karena saat ini 50% lebih produk di pasar-pasar modern adalah produk asing bukan produk dalam negeri,” kritiknya kemarin.
Tantangan berikutnya dari munculnya MEA akan menjadi momentum pembuktian seberapa kuat industri gula nasional. Dengan berlakunya MEA, maka impor gula dari Thailand akan sulit dibendung. Dengan demikian, pabrik gula yang memiliki harga patokan petani (HPP) Lebih dari Rp6.000 per kilogram (kg) pasti akan sulit bersaing dengan produk yang sama di pasar global yang harganya bisakurang dari Rp4.850 per kg.
Tanpa adanya langkah yang drastis, biaya SDM dan lain-lain akan terus mengalami peningkatan. Tuntutan peningkatan kesejahteraan petani juga akan semakin keras, misalnya melalui penjaminan harga.
Windy anggraina/ Ratih koswara
Direktur PTPN X wilayah Jawa Timur Subiyono memprediksi dengan kondisi yang ada sekarang, maka dari berbagai sudut pandang manapun, industri gula nasional tetap kalah. Jika tak diantisipasi dengan upaya maksimal, bukan tidak mungkin industri yang sebagian besar berbasis di wilayah pedesaan ini bakal segera gulung tikar.
”Tidak akan lama, pasti gulung tikar jika kondisi sulit ini tidak segera dicari solusinya,” jelasnya. Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di berbagai negara seperti Australia, Thailand, Afrika, dan Amerika Selatan, industri gula berkembang sangat pesat. Sayangnya secara umum industri gula nasional cenderung stagnan bahkan mengalami kemunduran. Satu di antaranya karena sejak lebih dari dua dekade silam, industri gula harus beroperasi dengan teknologi usang dan peralatan tua. Investasi yang dikeluarkan untuk perbaikan pabrik juga sangat rendah.
Selain itu, lanjut dia, bidang perkebunan mengalami kemunduran yang menyebabkan turunnya kinerja maupun efisiensi pada level makro. Padahal hal ini menurunkan rural income serta kesejahteraan petani. ”Melihat keadaan ini Industri gula seperti diambang kehancuran karena sulit bersaing dengan produk gula impor. Dan dipastikan industri gula nasional belum siap menghadapi MEA,” sesal Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) ini.
Beberapa hal yang mulai diperhatikan untuk menyambut MEA adalah menjaga kualitas barang, menjaga harga barang dan menjaga perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi barang karena Indonesia telah memasuki pasar bebas. Berbagai produk hingga tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia siap bersaing dengan produk dalam negeri dan tenaga kerja Indonesia.
Terpisah, pengamat ekonomi dari UII Edy Suandi Hamid mengatakan dampak MEA sudah terasa dua tahun terakhir ini. Hanya masyarakat kurang peka dengan maraknya serbuan produk-produk asing yang mulai membanjiri toko-toko ritel. Ketidakpekaan masyarakat diakibatkan pola konsumtif warga Indonesia yang tinggi, sehingga tidak terlalu memedulikan dari mana produk berasal.
”Menghadapi MEA yang sudah di depan mata ini para pelaku industri harus mengencangkan ikat pinggang guna menghadapi persaingan produk secara langsung. Pemerintah juga seharusnya memberikan proteksi terhadap produk lokal agar tidak kalah dengan gempuran asing. Karena saat ini 50% lebih produk di pasar-pasar modern adalah produk asing bukan produk dalam negeri,” kritiknya kemarin.
Tantangan berikutnya dari munculnya MEA akan menjadi momentum pembuktian seberapa kuat industri gula nasional. Dengan berlakunya MEA, maka impor gula dari Thailand akan sulit dibendung. Dengan demikian, pabrik gula yang memiliki harga patokan petani (HPP) Lebih dari Rp6.000 per kilogram (kg) pasti akan sulit bersaing dengan produk yang sama di pasar global yang harganya bisakurang dari Rp4.850 per kg.
Tanpa adanya langkah yang drastis, biaya SDM dan lain-lain akan terus mengalami peningkatan. Tuntutan peningkatan kesejahteraan petani juga akan semakin keras, misalnya melalui penjaminan harga.
Windy anggraina/ Ratih koswara
(ars)