Pemkot Didesak Keluarkan Izin
A
A
A
SURABAYA - Komisi D DPRD Kota Surabaya mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengizinkan warga membuka usaha rumah musik di kawasan eks lokalisasi Dolly.
Pasalnya, rumah musik itu merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang menjadi penghidupan sehari-hari. Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Agustin Poliana, meminta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) segera membuka rumah musik di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan agar perekonomian warga segera pulih.
Pasalnya, pascapenutupan Dolly pada Juni lalu, perekonomian warga mati. Warga yang selama ini menggantungkan pendapatan dari geliat prostitusi, kini banyak yang jadi pengangguran. Warung-warung yang dulunya ramai sekarang sepi.
Tukang parkir yang dulu cukup banyak, sekarang berkurang. ”Kalau pemkot seperti itu tetap ngotot tidak mau membuka rumah musik, berarti kami juga ingin pokoknya rumah musik itu harus buka. Jika masih ditutup terus, bagaimana nasib warga di sana,” katanya, kemarin.
Agustin menegaskan, keinginan Komisi D agar rumah musik dibuka, semata-mata hanya ingin membantu masyarakat. Sebab, mulai penutupan hingga saat ini, perekonomian warga setempat masih terpuruk. Jika rumah musik kembali dibuka, tidak akan melanggar peraturan daerah (perda).
Jika memang pemkot khawatir prostitusi kembali lagi, pengawasan harus diperketat. ”Saya menilai pemkot telah melakukan diskriminasi. Kenapa hanya rumah musik di Dolly saja yang diubek-ubek. Sementara ada puluhan rumah musik yang masih tetap beroperasi tidak disegel dan dibiarkan,” keluhnya.
Hal senada dikatakan anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, Baktiono. Politisi asal fraksi PDI Perjaungan ini juga mendukung rumah musik di eks lokalisasi Dolly dibuka. Namun, harus ada pengawasan yang ketat. Misalnya memasang CCTV bahkan jika tempat tersebut menyediakan wanita harus diberi sanksi.
”Sejauh ini, pemkot tidak memiliki rencana jangka panjang untuk kawasan Dolly. Mau dijadikan apa kami tidak tahu. Blue print -nya tidak ada. Kalau dibiarkan seperti ini sama saja mematikan perekonomian masyarakat. Katanya pemkot akan menyejahterakan rakyat, rakyat yang mana?” tanyanya.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Masduki Toha, mengatakan, meski Dolly resmi ditutup, ternyata masih banyak tempat prostitusi terselubung yang semakin berkembang. Salah satunya di kawasan Jalan Kedungdoro. Menurut dia, tempat prostitusi di sana tidak banyak orang mengetahuinya karena perizinan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) adalah sebagai tempat pijat tradisional.
”Kenapa penutupan Dolly diikuti menjamurnya tempat- tempat prostitusi yang tersembunyi. Ini sangat ironis sekali,” kata politikus asal PKB ini. Masduki berharap, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR), Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Satpol PP lebih jeli dan teliti menyetujui segala bentuk izin yang berbau prostitusi.
Bahkan, harus melarang tempat usaha yang dulunya pernah beroperasi di Dolly untuk buka lagi dengan mengganti nama lain. Jika tidak selektif, akan menimbulkan masalah baru. ”Saya harap pemkot tidak mengeluarkan izin-izin tempat usaha yang dulu pernah buka di Dolly karena apapun namanya, praktik prostitusi harus dihindarkan,” pintanya.
Terpisah, Plt Kepala DCKTR Kota Surabaya, Eri Cahyadi, mengatakan, eks lokalisasi Dolly terdapat beberapa tempat khusus untuk pemukiman dan sebagian lagi untuk perdagangan dan jasa. Pihaknya tidak melarang rumah musik dibuka di eks lokalisasi tapi segala persya-ratannya harus dimiliki para pelaku usaha.
Misalnya upaya pengelolaan lingkungan hidup (UPL), upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) hingga analisa dampak lingkungan (amdal). ”Kalau semua persyaratan itu sudah dipenuhi, silakan saja dibuka rumah musik,” katanya.
Lukman Hakim
Pasalnya, rumah musik itu merupakan satu-satunya sumber pendapatan yang menjadi penghidupan sehari-hari. Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Agustin Poliana, meminta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) segera membuka rumah musik di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan agar perekonomian warga segera pulih.
Pasalnya, pascapenutupan Dolly pada Juni lalu, perekonomian warga mati. Warga yang selama ini menggantungkan pendapatan dari geliat prostitusi, kini banyak yang jadi pengangguran. Warung-warung yang dulunya ramai sekarang sepi.
Tukang parkir yang dulu cukup banyak, sekarang berkurang. ”Kalau pemkot seperti itu tetap ngotot tidak mau membuka rumah musik, berarti kami juga ingin pokoknya rumah musik itu harus buka. Jika masih ditutup terus, bagaimana nasib warga di sana,” katanya, kemarin.
Agustin menegaskan, keinginan Komisi D agar rumah musik dibuka, semata-mata hanya ingin membantu masyarakat. Sebab, mulai penutupan hingga saat ini, perekonomian warga setempat masih terpuruk. Jika rumah musik kembali dibuka, tidak akan melanggar peraturan daerah (perda).
Jika memang pemkot khawatir prostitusi kembali lagi, pengawasan harus diperketat. ”Saya menilai pemkot telah melakukan diskriminasi. Kenapa hanya rumah musik di Dolly saja yang diubek-ubek. Sementara ada puluhan rumah musik yang masih tetap beroperasi tidak disegel dan dibiarkan,” keluhnya.
Hal senada dikatakan anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, Baktiono. Politisi asal fraksi PDI Perjaungan ini juga mendukung rumah musik di eks lokalisasi Dolly dibuka. Namun, harus ada pengawasan yang ketat. Misalnya memasang CCTV bahkan jika tempat tersebut menyediakan wanita harus diberi sanksi.
”Sejauh ini, pemkot tidak memiliki rencana jangka panjang untuk kawasan Dolly. Mau dijadikan apa kami tidak tahu. Blue print -nya tidak ada. Kalau dibiarkan seperti ini sama saja mematikan perekonomian masyarakat. Katanya pemkot akan menyejahterakan rakyat, rakyat yang mana?” tanyanya.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Masduki Toha, mengatakan, meski Dolly resmi ditutup, ternyata masih banyak tempat prostitusi terselubung yang semakin berkembang. Salah satunya di kawasan Jalan Kedungdoro. Menurut dia, tempat prostitusi di sana tidak banyak orang mengetahuinya karena perizinan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) adalah sebagai tempat pijat tradisional.
”Kenapa penutupan Dolly diikuti menjamurnya tempat- tempat prostitusi yang tersembunyi. Ini sangat ironis sekali,” kata politikus asal PKB ini. Masduki berharap, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR), Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Satpol PP lebih jeli dan teliti menyetujui segala bentuk izin yang berbau prostitusi.
Bahkan, harus melarang tempat usaha yang dulunya pernah beroperasi di Dolly untuk buka lagi dengan mengganti nama lain. Jika tidak selektif, akan menimbulkan masalah baru. ”Saya harap pemkot tidak mengeluarkan izin-izin tempat usaha yang dulu pernah buka di Dolly karena apapun namanya, praktik prostitusi harus dihindarkan,” pintanya.
Terpisah, Plt Kepala DCKTR Kota Surabaya, Eri Cahyadi, mengatakan, eks lokalisasi Dolly terdapat beberapa tempat khusus untuk pemukiman dan sebagian lagi untuk perdagangan dan jasa. Pihaknya tidak melarang rumah musik dibuka di eks lokalisasi tapi segala persya-ratannya harus dimiliki para pelaku usaha.
Misalnya upaya pengelolaan lingkungan hidup (UPL), upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) hingga analisa dampak lingkungan (amdal). ”Kalau semua persyaratan itu sudah dipenuhi, silakan saja dibuka rumah musik,” katanya.
Lukman Hakim
(ftr)