Hak Anak Terenggut oleh Tugas Sekolah
A
A
A
BANDUNG - Pendidikan bagi anak, terutama yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), lebih besar porsi “bermain” sekaligus belajar bersosialisasi, mengendalikan emosi, dan disiplin.
Namun, akibat penerapan Kurikulum 2013, waktu “bermain” mereka terenggut. Kurikulum 2013 membebani siswa, terutama SD, dengan tugas-tugas. Akibatnya, anak-anak menjadi kehilangan hak untuk menikmati masa tumbuh kembang mereka. Demikian salah satu poin penting yang muncul dalam diskusi panel bertajuk “Pelaksanaan Kurikulum 2013 dan Petunjuk Teknisnya” di Aula SMA Negeri 8 Bandung, Jalan Solontongan, Kota Bandung kemarin.
Para pakar yang hadir dalam diskusi tersebut menilai Kurikulum 2013 (K-13) tak memperhitungkan penilaian keseluruhan proses belajar anak. Hal ini mengakibatkan mental anak belum siap dalam menerima bahan-bahan pelajaran dan tugas-tugasnya di rumah.
Ketua Penelitian Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pen didikan Indonesia (UPI) Ifa H Misbach mengatakan, secara otomatis, hal itu menyebabkan hak-hak anak terenggut karena waktunya habis untuk berkutat dengan pelajaran. Terlebih saat ini, masih banyak sekolah yang secara standar pelayanan minimalnya belum siap untuk melaksanakan K-13.
Ifa mengaku, banyak menerima keluhan dari guru dan orang tua siswa terkait penerapan K-13. Bahkan isi dari buku-buku yang mengacu pada K-13 memberatkan siswa. “Isinya memang terlampau berat,” kata Ifa. Dia mengemukakan, banyak siswa mengeluhkan hilangnya waktu bermain mereka. Untuk mengerjakan tugas sekolah. Mereka terpaksa mengerjakan tugas-tugas itu hingga menjelang tengah malam.
Sementara, esok harinya mereka harus ke sekolah dan pulang sore hari. “Penyusun kurikulum tidak pernah mengkalkulasikan mental anak. Dampak dari penerapan K-13, ada penambahan jam pelajaran di sekolah. Akibatnya anak kehilangan waktu bermain. Kondisi ini menyebabkan otak anak tak mampu mengolah apa yang masuk ke dalamnya,” tutur dia.
Ifa mencontohkan sistem pendidikan di Finlandia. Anakanak lebih banyak bermain sehingga otaknya lebih fokus. Setelah 45 menit belajar, anak akan istirahat atau bermain selama 15 menit. Keutamaan dalam bermain inilah yang membuat anak-anak di Finlandia pada usia 15 tahun mampu menguasai semua pelajaran karena otak mereka dianggap lebih efektif dan siap dalam menerima materi yang disampaikan di sekolah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kepala Sekolah Seluruh Indonesia (AKSI) Ahmad Taufan, mengemukakan, sekolah yang bisa menerapkan K-13 seharusnya memenuhi standar pelayanan minimal. Namun kenyataannya di Kota Bandung dari 412 sekolah, baru 14 sekolah yang bisa memenuhi standar itu, dan itu pun masih didominasi oleh sekolah swasta.
Penerapan K-13, ungkap Taufan, tak dapat dilakukan secara maksimal di sekolahsekolah yang belum memenuhi standar pelayanan minimal. Masih ada sekolah yang menyelenggarakan proses belajar mengajar sampai dengan tiga shift.
Anne Rufaidah
Namun, akibat penerapan Kurikulum 2013, waktu “bermain” mereka terenggut. Kurikulum 2013 membebani siswa, terutama SD, dengan tugas-tugas. Akibatnya, anak-anak menjadi kehilangan hak untuk menikmati masa tumbuh kembang mereka. Demikian salah satu poin penting yang muncul dalam diskusi panel bertajuk “Pelaksanaan Kurikulum 2013 dan Petunjuk Teknisnya” di Aula SMA Negeri 8 Bandung, Jalan Solontongan, Kota Bandung kemarin.
Para pakar yang hadir dalam diskusi tersebut menilai Kurikulum 2013 (K-13) tak memperhitungkan penilaian keseluruhan proses belajar anak. Hal ini mengakibatkan mental anak belum siap dalam menerima bahan-bahan pelajaran dan tugas-tugasnya di rumah.
Ketua Penelitian Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pen didikan Indonesia (UPI) Ifa H Misbach mengatakan, secara otomatis, hal itu menyebabkan hak-hak anak terenggut karena waktunya habis untuk berkutat dengan pelajaran. Terlebih saat ini, masih banyak sekolah yang secara standar pelayanan minimalnya belum siap untuk melaksanakan K-13.
Ifa mengaku, banyak menerima keluhan dari guru dan orang tua siswa terkait penerapan K-13. Bahkan isi dari buku-buku yang mengacu pada K-13 memberatkan siswa. “Isinya memang terlampau berat,” kata Ifa. Dia mengemukakan, banyak siswa mengeluhkan hilangnya waktu bermain mereka. Untuk mengerjakan tugas sekolah. Mereka terpaksa mengerjakan tugas-tugas itu hingga menjelang tengah malam.
Sementara, esok harinya mereka harus ke sekolah dan pulang sore hari. “Penyusun kurikulum tidak pernah mengkalkulasikan mental anak. Dampak dari penerapan K-13, ada penambahan jam pelajaran di sekolah. Akibatnya anak kehilangan waktu bermain. Kondisi ini menyebabkan otak anak tak mampu mengolah apa yang masuk ke dalamnya,” tutur dia.
Ifa mencontohkan sistem pendidikan di Finlandia. Anakanak lebih banyak bermain sehingga otaknya lebih fokus. Setelah 45 menit belajar, anak akan istirahat atau bermain selama 15 menit. Keutamaan dalam bermain inilah yang membuat anak-anak di Finlandia pada usia 15 tahun mampu menguasai semua pelajaran karena otak mereka dianggap lebih efektif dan siap dalam menerima materi yang disampaikan di sekolah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Kepala Sekolah Seluruh Indonesia (AKSI) Ahmad Taufan, mengemukakan, sekolah yang bisa menerapkan K-13 seharusnya memenuhi standar pelayanan minimal. Namun kenyataannya di Kota Bandung dari 412 sekolah, baru 14 sekolah yang bisa memenuhi standar itu, dan itu pun masih didominasi oleh sekolah swasta.
Penerapan K-13, ungkap Taufan, tak dapat dilakukan secara maksimal di sekolahsekolah yang belum memenuhi standar pelayanan minimal. Masih ada sekolah yang menyelenggarakan proses belajar mengajar sampai dengan tiga shift.
Anne Rufaidah
(ftr)