Remang Suramadu Di Bangkalan
A
A
A
Pada 10 Juni 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Jembatan Surabaya–Madura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jembatan Suramadu. Jembatan sepanjang 5,4 km bernilai Rp4,5 triliun ini digadang-gadang menjadi motor perubahan di Pulau Madura. Kemegahan Jembatan Suramadu dikonotasikan dengan Madura masa depan yang berkembang pesat, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kini lima tahun sejak diresmikan, hanya ratusan hektare lahan kosong berhias gubuk-gubuk kumuh pedagang kaki lima (PKL) yang tampak di sekitar Jembatan Suramadu.
Nyaris tidak ada yang berubah dari Madura. Jembatan Suramadu benar-benar hanya sarana mempercepat transportasi manusia dan barang, tapi bukan katalisator kesejahteraan dan mengangkat ekonomi masyarakat Madura.
“Semua bisa melihat, apa yang ada setelah pembangunan Suramadu, khususnya di Kabupaten Bangkalan. Tidak ada pembangunan yang bisa dibanggakan, hanya hamparan tanah kosong yang berhektare-hektare,” ujar KH Ahmad Ali Ridho, tokoh masyarakat Desa Tragah, Kabupaten Bangkalan, beberapa waktu lalu.
Satu-satunya kemajuan Bangkalan yang dilihatnya adalah akses sepanjang 11 km menuju dan dari Jembatan Suramadu, dengan lampu penerangan yang berjajar terang. Bagi lelaki yang akrab dipanggil Lora Ahmad ini, pembangunan yang bisa mengangkat kesejahteraan masyarakatnya adalah pabrik atau usaha lain yang sejauh ini belum terlihat sama sekali.
Padahal, itulah yang sangat dinantikan warga Pulau Madura, khususnya Bangkalan, sehingga tidak perlu lagi berbondongbondong ke Surabaya untuk jadi pekerja pabrik. “Kendalanya apa? Kami juga tidak tahu. Koksampai saat ini juga belum ada perubahan ke arah yang lebih baik di sepanjang kaki Suramadu sini?” ucap Lora Ahmad.
Sebagai pintu gerbang menuju seluruh wilayah Madura, Bangkalan paling seharusnya bisa merasakan dampak positif Jembatan Suramadu paling awal. Namun yang terjadi, perkembangan di sekitar kaki Suramadu terjadi secara sporadis, bukan karena perencanaan yang matang. Sebut saja menjamurnya pedagang aksesori, makanan, dan camilan khas Pulau Madura.
Ya, Madura masih stagnan. “Kenapa pembangunan mandek? Karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Masukan masyarakat juga tidak didengarkan pihak terkait (BPWS dan Pemkab),” ungkap Ketua LSM Forum Masyarakat Labang (Formal) H Hai.
Menurut Hai, masyarakat Madura tidak antipembangunan. Sebaliknya, mereka siap menerima derap dan laju pembaruan untuk peningkatan mutu hidup mereka. “Tentu juga harus memakai kearifan budaya lokal. Jangan sampai mentang-mentang mau membangun tidak ada etikanya pada masyarakat sekitar. Ya akan jadi persoalan baru,” ucapnya.
Harapan masyarakat Madura atas keberadaan Jembatan Suramadu sepertinya memang masih jauh panggang dari api. Jembatan megah di atas Selat Madura itu lebih mirip mercusuar yang sinarnya terang hingga membuat mata yang melihatnya silau, tidak mampu melihat hal-hal lain di sekelilingnya.
Mantan anggota DPRD Bangkalan M Iksan menilai BPWS seharusnya bisa lebih lincah dengan progres kinerja yang menggembirakan, terlebih dengan dukungan anggaran yang besar. Namun, kata Iksan, apa yang disebut sebagai kemajuan Madura sampai saat ini sebetulnya bisa dilakukan pemerintah daerah, tidak perlu badan khusus semacam BPWS. “Kalau hanya membangun sarana seperti sekarang ini, saya kira Pemkab Bangkalan juga bisa. Saya kira BPWS harus kerja ekstra, jangan ituitu saja yang digarap,” ucapnya.
Menurut Iksan, bila tidak ada perubahan pada 2015 di Bangkalan, sebaiknya BPWS dibubarkan saja. Anggaran BPWS bisa dialokasikan langsung kepada empat pemerintah daerah di Madura. Dia yakin, dalam beberapa tahun sudah ada perubahan yang mencolok di Madura dibandingkan saat ini.
Bagi Iksan, sudah sewajarnya ada evaluasi dari pemerintah terhadap BPWS bila lembaga ini tidak punya terobosan untuk mencapai target yang dibebankan. Faktanya, saat ini para calon investor dan pelaku usaha berpikir panjang untuk menanamkan modal di Kabupaten Bangkalan lantaran belum adanya kepastian mengenai pengembangan fasilitas dan infrastruktur di Madura.
“Orang mau mendirikan pabrik apa juga bingung, SDA (Sumber Daya Alam) sudah minim ditambah kepastian pembangunan yang sampai saat ini masih jalan di tempat,” ucapnya.
Subairi
Kini lima tahun sejak diresmikan, hanya ratusan hektare lahan kosong berhias gubuk-gubuk kumuh pedagang kaki lima (PKL) yang tampak di sekitar Jembatan Suramadu.
Nyaris tidak ada yang berubah dari Madura. Jembatan Suramadu benar-benar hanya sarana mempercepat transportasi manusia dan barang, tapi bukan katalisator kesejahteraan dan mengangkat ekonomi masyarakat Madura.
“Semua bisa melihat, apa yang ada setelah pembangunan Suramadu, khususnya di Kabupaten Bangkalan. Tidak ada pembangunan yang bisa dibanggakan, hanya hamparan tanah kosong yang berhektare-hektare,” ujar KH Ahmad Ali Ridho, tokoh masyarakat Desa Tragah, Kabupaten Bangkalan, beberapa waktu lalu.
Satu-satunya kemajuan Bangkalan yang dilihatnya adalah akses sepanjang 11 km menuju dan dari Jembatan Suramadu, dengan lampu penerangan yang berjajar terang. Bagi lelaki yang akrab dipanggil Lora Ahmad ini, pembangunan yang bisa mengangkat kesejahteraan masyarakatnya adalah pabrik atau usaha lain yang sejauh ini belum terlihat sama sekali.
Padahal, itulah yang sangat dinantikan warga Pulau Madura, khususnya Bangkalan, sehingga tidak perlu lagi berbondongbondong ke Surabaya untuk jadi pekerja pabrik. “Kendalanya apa? Kami juga tidak tahu. Koksampai saat ini juga belum ada perubahan ke arah yang lebih baik di sepanjang kaki Suramadu sini?” ucap Lora Ahmad.
Sebagai pintu gerbang menuju seluruh wilayah Madura, Bangkalan paling seharusnya bisa merasakan dampak positif Jembatan Suramadu paling awal. Namun yang terjadi, perkembangan di sekitar kaki Suramadu terjadi secara sporadis, bukan karena perencanaan yang matang. Sebut saja menjamurnya pedagang aksesori, makanan, dan camilan khas Pulau Madura.
Ya, Madura masih stagnan. “Kenapa pembangunan mandek? Karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Masukan masyarakat juga tidak didengarkan pihak terkait (BPWS dan Pemkab),” ungkap Ketua LSM Forum Masyarakat Labang (Formal) H Hai.
Menurut Hai, masyarakat Madura tidak antipembangunan. Sebaliknya, mereka siap menerima derap dan laju pembaruan untuk peningkatan mutu hidup mereka. “Tentu juga harus memakai kearifan budaya lokal. Jangan sampai mentang-mentang mau membangun tidak ada etikanya pada masyarakat sekitar. Ya akan jadi persoalan baru,” ucapnya.
Harapan masyarakat Madura atas keberadaan Jembatan Suramadu sepertinya memang masih jauh panggang dari api. Jembatan megah di atas Selat Madura itu lebih mirip mercusuar yang sinarnya terang hingga membuat mata yang melihatnya silau, tidak mampu melihat hal-hal lain di sekelilingnya.
Mantan anggota DPRD Bangkalan M Iksan menilai BPWS seharusnya bisa lebih lincah dengan progres kinerja yang menggembirakan, terlebih dengan dukungan anggaran yang besar. Namun, kata Iksan, apa yang disebut sebagai kemajuan Madura sampai saat ini sebetulnya bisa dilakukan pemerintah daerah, tidak perlu badan khusus semacam BPWS. “Kalau hanya membangun sarana seperti sekarang ini, saya kira Pemkab Bangkalan juga bisa. Saya kira BPWS harus kerja ekstra, jangan ituitu saja yang digarap,” ucapnya.
Menurut Iksan, bila tidak ada perubahan pada 2015 di Bangkalan, sebaiknya BPWS dibubarkan saja. Anggaran BPWS bisa dialokasikan langsung kepada empat pemerintah daerah di Madura. Dia yakin, dalam beberapa tahun sudah ada perubahan yang mencolok di Madura dibandingkan saat ini.
Bagi Iksan, sudah sewajarnya ada evaluasi dari pemerintah terhadap BPWS bila lembaga ini tidak punya terobosan untuk mencapai target yang dibebankan. Faktanya, saat ini para calon investor dan pelaku usaha berpikir panjang untuk menanamkan modal di Kabupaten Bangkalan lantaran belum adanya kepastian mengenai pengembangan fasilitas dan infrastruktur di Madura.
“Orang mau mendirikan pabrik apa juga bingung, SDA (Sumber Daya Alam) sudah minim ditambah kepastian pembangunan yang sampai saat ini masih jalan di tempat,” ucapnya.
Subairi
(ftr)