Risma Larang Kawasan Eks Dolly Dibuka Rumah Karaoke
A
A
A
SURABAYA - Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) melarang keras eks lokalisasi Dolly yang ada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan dibuka untuk usaha rumah karaoke.
Karena, kawasan itu merupakan pemukiman warga. Dikhawatirkan, keberadaan rumah hiburan itu akan mengganggu ketentraman dan kenyamanan warga.
Disamping itu, di kawasan itu dalam tata kota Surabaya memang untuk kawasan pemukiman, bukan jasa maupun perdagangan.
Risma, panggilan Tri Rismaharini mengakui bahwa, perekonomian warga setempat pasca lokalisasi terbesar se-Indonesia itu ditutup, mengalami kolaps.
Banyak warga yang pendapatannya berkurang karena faktor utama yang menggerakkan perekonomian warga setempat sudah tidak ada.
Namun pihaknya berharap warga mencari sumber-sumber pendapatan baru tanpa harus menggantungkan dari geliat prostitusi.
Salah satunya dengan membuka usaha seperti kerajinan, laundry, membuat kue atau jenis usaha lain.
"Ini kan masih tiga bulan (pasca penutupan Dolly). Jadi (perekonomian) masih belum sempurna. Tapi saya yakin, kalau memang sungguh-sungguh, nanti bisa seperti Dupak Bangunsari (lokalisasi yang juga ditutup Risma). Disana sudah ada kerajinan yang bisa ekspor. Memang butuh waktu," katanya usai menghadiri acara ulang tahun LKBN Antara ke-77 di kantor LKBN Antara Jatim Jalan Kombespol Duryat, Sabtu 13 Desember.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Supomo menambahkan, Pemkot Surabaya tetap berupaya memulihkan perekonomian warga.
Pihaknya mengaku sudah banyak berbuat agar warga terdampak bisa membangun usaha baru.
Selain memberi pelatihan ketrampilan, Dinsos juga memberikan bantuan permodalan. Saat ini, sudah banyak pengajuan proposal usaha yang diajukan warga.
Tapi sayang, tidak semua proposal yang diajukan bisa disetujui. Semua harus ada seleksi yang ketat. Sebab, bantuan permodalan ini menggunakan uang negara. Sehingga, bertanggungjawaban harus jelas.
"Kami juga menggandeng sejumlah perusahaan swasta melalui program CSR (corporate social responsibility) mereka. Perusahaan ini memberi pelatihan ketrampilan pada warga," ujarnya.
Supomo menjelaskan, terkait perizinan usaha, khususnya untuk rumah karaoke, dari tata kota Surabaya memang dilarang karena ada di pemukiman warga.
Pihaknya sepakat dan mendukung jika ada warga terdampak yang membangun usaha. Tapi, usaha itu harus sesuai dengan aturan yang ada.
Jika memang ada desakan warga agar tidak ada pelarangan membuka usaha rumah karaoke di kawasan eks Dolly, pihaknya siap untuk mengkaji lagi tata kota. Pada prinsipnya, pihaknya ingin agar perekonomian warga setempat segera pulih seperti sedia kala.
Tapi yang patut dicatat, geliat perekonomian ini bukan lagi digerakkan dari aktivitas prostitusi.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Kota Surabaya, Sukadar geram dengan Pemkot Surabaya yang kurang serius dalam membenahi perekonomian warga terdampak.
Rumitnya mengurus izin usaha seperti rumah karaoke merupakan bentuk ketidakberpihakan Pemkot Surabaya dalam menggairahkan perekonomian warga setempat.
Seharusnya, yang patut dikhawatirkan adalah pada praktik-praktik prostitusinya, bukan pada rumah karaokenya.
"Janji pemkot untuk memulihkan perekonomian warga hanya janji semata tanpa ada tindakan nyata. Ketika warga terdampak dikumpulkan oleh dinas sosial, warga hanya dikasih tahu bahwa, yang ditutup hanya lokalisasi saja. Nah, ini bagaimana. Kami sepakat jika lokalisasi ditutup. Tapi setelah ditutup warga jangan dibiarkan," katanya.
Sebenarnya, lanjut dia, tidak sulit untuk menutup lokalisasi Dolly. Yang menjadi sulit adalah, selama ini Pemkot Surabaya tidak pernah melibatkan warga dalam pengambilan kebijakan menutup Dolly.
Jangankan dengan warga, DPRD Kota Surabaya juga tidak pernah dilibatkan dalam penutupan eks lokalisasi yang dihuni sekitar 1.500 pekerja seks komersial (PSK) itu.
Karena, kawasan itu merupakan pemukiman warga. Dikhawatirkan, keberadaan rumah hiburan itu akan mengganggu ketentraman dan kenyamanan warga.
Disamping itu, di kawasan itu dalam tata kota Surabaya memang untuk kawasan pemukiman, bukan jasa maupun perdagangan.
Risma, panggilan Tri Rismaharini mengakui bahwa, perekonomian warga setempat pasca lokalisasi terbesar se-Indonesia itu ditutup, mengalami kolaps.
Banyak warga yang pendapatannya berkurang karena faktor utama yang menggerakkan perekonomian warga setempat sudah tidak ada.
Namun pihaknya berharap warga mencari sumber-sumber pendapatan baru tanpa harus menggantungkan dari geliat prostitusi.
Salah satunya dengan membuka usaha seperti kerajinan, laundry, membuat kue atau jenis usaha lain.
"Ini kan masih tiga bulan (pasca penutupan Dolly). Jadi (perekonomian) masih belum sempurna. Tapi saya yakin, kalau memang sungguh-sungguh, nanti bisa seperti Dupak Bangunsari (lokalisasi yang juga ditutup Risma). Disana sudah ada kerajinan yang bisa ekspor. Memang butuh waktu," katanya usai menghadiri acara ulang tahun LKBN Antara ke-77 di kantor LKBN Antara Jatim Jalan Kombespol Duryat, Sabtu 13 Desember.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Supomo menambahkan, Pemkot Surabaya tetap berupaya memulihkan perekonomian warga.
Pihaknya mengaku sudah banyak berbuat agar warga terdampak bisa membangun usaha baru.
Selain memberi pelatihan ketrampilan, Dinsos juga memberikan bantuan permodalan. Saat ini, sudah banyak pengajuan proposal usaha yang diajukan warga.
Tapi sayang, tidak semua proposal yang diajukan bisa disetujui. Semua harus ada seleksi yang ketat. Sebab, bantuan permodalan ini menggunakan uang negara. Sehingga, bertanggungjawaban harus jelas.
"Kami juga menggandeng sejumlah perusahaan swasta melalui program CSR (corporate social responsibility) mereka. Perusahaan ini memberi pelatihan ketrampilan pada warga," ujarnya.
Supomo menjelaskan, terkait perizinan usaha, khususnya untuk rumah karaoke, dari tata kota Surabaya memang dilarang karena ada di pemukiman warga.
Pihaknya sepakat dan mendukung jika ada warga terdampak yang membangun usaha. Tapi, usaha itu harus sesuai dengan aturan yang ada.
Jika memang ada desakan warga agar tidak ada pelarangan membuka usaha rumah karaoke di kawasan eks Dolly, pihaknya siap untuk mengkaji lagi tata kota. Pada prinsipnya, pihaknya ingin agar perekonomian warga setempat segera pulih seperti sedia kala.
Tapi yang patut dicatat, geliat perekonomian ini bukan lagi digerakkan dari aktivitas prostitusi.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Kota Surabaya, Sukadar geram dengan Pemkot Surabaya yang kurang serius dalam membenahi perekonomian warga terdampak.
Rumitnya mengurus izin usaha seperti rumah karaoke merupakan bentuk ketidakberpihakan Pemkot Surabaya dalam menggairahkan perekonomian warga setempat.
Seharusnya, yang patut dikhawatirkan adalah pada praktik-praktik prostitusinya, bukan pada rumah karaokenya.
"Janji pemkot untuk memulihkan perekonomian warga hanya janji semata tanpa ada tindakan nyata. Ketika warga terdampak dikumpulkan oleh dinas sosial, warga hanya dikasih tahu bahwa, yang ditutup hanya lokalisasi saja. Nah, ini bagaimana. Kami sepakat jika lokalisasi ditutup. Tapi setelah ditutup warga jangan dibiarkan," katanya.
Sebenarnya, lanjut dia, tidak sulit untuk menutup lokalisasi Dolly. Yang menjadi sulit adalah, selama ini Pemkot Surabaya tidak pernah melibatkan warga dalam pengambilan kebijakan menutup Dolly.
Jangankan dengan warga, DPRD Kota Surabaya juga tidak pernah dilibatkan dalam penutupan eks lokalisasi yang dihuni sekitar 1.500 pekerja seks komersial (PSK) itu.
(sms)