Alunan Jazz Pesisir dari Blambangan
A
A
A
BANYUWANGI - Banyuwangi Beach Jazz Festival 2014 di Pantai Boom Banyuwangi tadi malam berlangsung meriah. Sejumlah musisi jazz ternama Indonesia hadir dalam pertunjukkan kolaborasi jazz-etnis ini.
Panggung jazz di Selat Bali ini dibuka dengan penampilan Kua Etnika yang dipimpin Djaduk Ferianto. Seniman serba bisa asal Surabaya ini memainkan musik perkusi yang diberinya judul ”Kupu Tarung”.
Dengan dukungan puluhan pemain perkusi Kuntulan dari para seniman lokal Banyuwangi, Kua Etnika mampu menyajikan irama musik yang rancak dan dinamis, menghipnotis pada penonton, termasuk Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jafar yang turut menyaksikan pergelaran tersebut. Penampilan Kua Etnika makin hangat dengan bergabungnya Trie Utami.
Vokalis Krakatau Band ini tak hanya membius pendengaran penonton dengan suaranya yang ringan. Dia pun mengajak para penonton untuk turut menyanyi. Sebelumnya, tampil gitaris jazz Tohpati dengan sentuhan nada-nadanya yang lembut. Yang menarik, di sela-sela pertunjukan, duet pemandu acara Cak Lontong dan Insan Nur Akbar tak kalah memberikan joke-joke ringan yang menyegarkan suasana.
Pergelaran Banyuwangi Beach Festival diakhiri dengan penampilan Kahitna. Perhelatan musik jazz di Banyuwangi ini mendapat apresiasi positif dari para musisi. Dalam konferensi pers sebelum pertunjukan dimulai, Djaduk Ferianto mengaku bangga bisa bermain musik di Banyuwangi. Bagi Djaduk, musik Banyuwangi tidak asing. Dia telah mempelajarinya melalui sanggar yang didirikan ayahnya sejak 1979. Musik ”Kupu Tarung” yang dimainkan diciptakannya pada 2001, terinspirasi kesenian angklung caruk khas dari Banyuwangi.
“Malam ini saya mengembalikan Kupu Tarung kembali ke habitatnya yaitu Banyuwangi,” jelas Djaduk di Pendopo Shaba Swagata Blambangan Banyuwangi. Djaduk yang sudah tiba di Banyuwangi sejak 2 Desember 2014 mengatakan bahwa Beach Jazz Festival 2014 berbeda dengan pergelaran-pergelaran jazz lain, semisal di Gunung Bromo. Dengan mengambil lokasi di pantai, Beach Jazz Festival lebih bernuansa pesisir yang ritmis dan dinamis.
”Masyarakat pesisir lebih terbuka, selaras dengan budaya jazz di mana unsur keterbukaan, kejujuran berekspresi dan keberagaman ada di dalamnya,” jelasnya. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menjelaskan jazz tidak hanya hadir sebagai seni pertunjukan tapi secara tidak langsung bertransformasi dengan musik etnik Banyuwangi sehingga ada warna baru bagi perkembangan musik di Banyuwangi.
Dalam pergelaran kali ini panitia mencetak 300 tiket VVIP, 300 tiket VIP, 500 tiket tribun, dan 500 tiket festival. Harga tiket kelas VVIP dijual Rp 1,5 juta, VIP Rp650 juta, tribun Rp300.000, dan festival Rp250.000. Panitia juga menjual langsung 100 tiket festival di lokasi dengan harga Rp300.000.
Musikus jazz kawakan, Beny Likumahuwa menilai perkembangan musik jazz di Tanah Air sangat pesat dan bagus. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya festival musik jazz yang digelar di berbagai daerah di Indonesia.
“Sekarang banyak sekali festival-festival musik jazz, seperti JakJazz, Java Jazz, Sumatera Jazz, dimana- mana ada, ini menjadikan musik jazz berkembang, mulai dari segi pemusiknya hingga penonton, karena semakin banyak penonton semakin banyak musisi yang tertantang membuat musik,” kata Beny Likumahuwa beberapa waktu lalu. Beny bercerita, sebelum tahun 1960, musik jazz merajai Indonesia, namun tahun 1960- an hilang karena munculnya The Beatles.
Musik jazz kembali berkembang di Indonesia pada tahun 1974 bersamaan dengan hidupnya kembali musik jazz di negara asalnya, Amerika. Selain Benny, generasi pertama musisi jazz Indonesia di antaranya Jack Lesmana, Oele Pattiselano, dan Yance Manusama. Mereka berkibar di era tahun 1970-an. Di era 1980-an muncul Karimata Band yang digawangi Aminoto Kosin (keyboard), Candra Darusman (keyboard), Denni TR (guitar), Erwin Gutawa (bass) dan Uce Hariono (drum, percussion) yang tergabung dalam Band Karimata.
Berikutnya muncul Indra Lesmana, Donny Suhendra, Mates, Gilang Ramadhan, Tohpati, Riza Arshad, Syuman Aksan, dan Indo Hardjidikoro adalah nama-nama musisi jazz yang muncul di era tahun 90-an. Selain membuat album solo, masing-masing mereka membentuk grup band-nya sendiri, seperti Halmahera atau Krakatau yang mengusung pop dan jazz. Pada era ini pula muncul genre acid jazz yang cukup fenomenal dibawakan kelompok musik The Groove dengan Rika Ruslan pada vokal dan Ali Akbar Sugiri pada keyboard.
Generasi keempat di era 2000-an memunculkan musisimusisi muda yang tergabung dalam sejumlah band bergenre jazz. Sebut saja Barry Likumahuwa Project (BLP) dan Ecutez. Sebagian mereka memasukan unsur pop, elektronik, dan soul di dalam ramuan musik jazz yang telah berbuah album.
Akbar insani/ Muhibudin kamali
Panggung jazz di Selat Bali ini dibuka dengan penampilan Kua Etnika yang dipimpin Djaduk Ferianto. Seniman serba bisa asal Surabaya ini memainkan musik perkusi yang diberinya judul ”Kupu Tarung”.
Dengan dukungan puluhan pemain perkusi Kuntulan dari para seniman lokal Banyuwangi, Kua Etnika mampu menyajikan irama musik yang rancak dan dinamis, menghipnotis pada penonton, termasuk Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jafar yang turut menyaksikan pergelaran tersebut. Penampilan Kua Etnika makin hangat dengan bergabungnya Trie Utami.
Vokalis Krakatau Band ini tak hanya membius pendengaran penonton dengan suaranya yang ringan. Dia pun mengajak para penonton untuk turut menyanyi. Sebelumnya, tampil gitaris jazz Tohpati dengan sentuhan nada-nadanya yang lembut. Yang menarik, di sela-sela pertunjukan, duet pemandu acara Cak Lontong dan Insan Nur Akbar tak kalah memberikan joke-joke ringan yang menyegarkan suasana.
Pergelaran Banyuwangi Beach Festival diakhiri dengan penampilan Kahitna. Perhelatan musik jazz di Banyuwangi ini mendapat apresiasi positif dari para musisi. Dalam konferensi pers sebelum pertunjukan dimulai, Djaduk Ferianto mengaku bangga bisa bermain musik di Banyuwangi. Bagi Djaduk, musik Banyuwangi tidak asing. Dia telah mempelajarinya melalui sanggar yang didirikan ayahnya sejak 1979. Musik ”Kupu Tarung” yang dimainkan diciptakannya pada 2001, terinspirasi kesenian angklung caruk khas dari Banyuwangi.
“Malam ini saya mengembalikan Kupu Tarung kembali ke habitatnya yaitu Banyuwangi,” jelas Djaduk di Pendopo Shaba Swagata Blambangan Banyuwangi. Djaduk yang sudah tiba di Banyuwangi sejak 2 Desember 2014 mengatakan bahwa Beach Jazz Festival 2014 berbeda dengan pergelaran-pergelaran jazz lain, semisal di Gunung Bromo. Dengan mengambil lokasi di pantai, Beach Jazz Festival lebih bernuansa pesisir yang ritmis dan dinamis.
”Masyarakat pesisir lebih terbuka, selaras dengan budaya jazz di mana unsur keterbukaan, kejujuran berekspresi dan keberagaman ada di dalamnya,” jelasnya. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menjelaskan jazz tidak hanya hadir sebagai seni pertunjukan tapi secara tidak langsung bertransformasi dengan musik etnik Banyuwangi sehingga ada warna baru bagi perkembangan musik di Banyuwangi.
Dalam pergelaran kali ini panitia mencetak 300 tiket VVIP, 300 tiket VIP, 500 tiket tribun, dan 500 tiket festival. Harga tiket kelas VVIP dijual Rp 1,5 juta, VIP Rp650 juta, tribun Rp300.000, dan festival Rp250.000. Panitia juga menjual langsung 100 tiket festival di lokasi dengan harga Rp300.000.
Musikus jazz kawakan, Beny Likumahuwa menilai perkembangan musik jazz di Tanah Air sangat pesat dan bagus. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya festival musik jazz yang digelar di berbagai daerah di Indonesia.
“Sekarang banyak sekali festival-festival musik jazz, seperti JakJazz, Java Jazz, Sumatera Jazz, dimana- mana ada, ini menjadikan musik jazz berkembang, mulai dari segi pemusiknya hingga penonton, karena semakin banyak penonton semakin banyak musisi yang tertantang membuat musik,” kata Beny Likumahuwa beberapa waktu lalu. Beny bercerita, sebelum tahun 1960, musik jazz merajai Indonesia, namun tahun 1960- an hilang karena munculnya The Beatles.
Musik jazz kembali berkembang di Indonesia pada tahun 1974 bersamaan dengan hidupnya kembali musik jazz di negara asalnya, Amerika. Selain Benny, generasi pertama musisi jazz Indonesia di antaranya Jack Lesmana, Oele Pattiselano, dan Yance Manusama. Mereka berkibar di era tahun 1970-an. Di era 1980-an muncul Karimata Band yang digawangi Aminoto Kosin (keyboard), Candra Darusman (keyboard), Denni TR (guitar), Erwin Gutawa (bass) dan Uce Hariono (drum, percussion) yang tergabung dalam Band Karimata.
Berikutnya muncul Indra Lesmana, Donny Suhendra, Mates, Gilang Ramadhan, Tohpati, Riza Arshad, Syuman Aksan, dan Indo Hardjidikoro adalah nama-nama musisi jazz yang muncul di era tahun 90-an. Selain membuat album solo, masing-masing mereka membentuk grup band-nya sendiri, seperti Halmahera atau Krakatau yang mengusung pop dan jazz. Pada era ini pula muncul genre acid jazz yang cukup fenomenal dibawakan kelompok musik The Groove dengan Rika Ruslan pada vokal dan Ali Akbar Sugiri pada keyboard.
Generasi keempat di era 2000-an memunculkan musisimusisi muda yang tergabung dalam sejumlah band bergenre jazz. Sebut saja Barry Likumahuwa Project (BLP) dan Ecutez. Sebagian mereka memasukan unsur pop, elektronik, dan soul di dalam ramuan musik jazz yang telah berbuah album.
Akbar insani/ Muhibudin kamali
(ars)