Identitas Spiritualisme
A
A
A
Dian Nafi termasuk salah satu perempuan penulis paling produktif di Indonesia. Sejak 2008 hingga kini, dia telah merilis 18 novel dan terlibat dalam 84 buku antologi.
Melalui berbagai tulisannya yang kuat dari segi spiritual, insinyur teknik arsitektur dari Universitas Diponegoro ini tak hanya berbagi kisah, tapi juga inspirasi dan motivasi.
Dian Nafi mencitrakan dirinya sebagai pecinta purnama dan penikmat hujan. Bagi dia, purnama sering membuat dirinya teraktivasi sehingga menjadi “high” sementara hujan membawa nuansa romantis dan unspoken moment.
Dan menulis bagi Dian adalah cara terbaik menuangkan perasaan-perasaan tersebut sepuasnya. Berikut wawancara dengan pemenang lomba menulis kisah inspiratif Indiva ini.
Latar belakang Anda adalah arsitektur. Sedangkan saat ini Anda lebih aktif sebagai penulis. Apakah Anda vakum dari aktivitas sebagai arsitek?
Saya masih menerima pesanan mendesain rumah tinggal dan bangunan lainnya walaupun tidak sebanyak dulu saat masih fokus bekerja di perusahaan konsultan arsitektur. Ada banyak ilmu arsitektur yang saya dapatkan yang bisa diaplikasikan dalam penulisan. Misalnya, perancangan, perencanaan, teknik presentasi, analisis, logika, dan keseimbangan. Itu semua berguna untuk menulis.
Sulit mana, merancang bangunan atau “merancang” cerita?
Sejak dulu sebenarnya saya aktif menulis tapi saya simpan sendiri. Perkenalan dengan tulis menulis bermula saat ayah menghadiahkan sebuah buku harian saat ulang tahun Ke-8 saya. Beliau yang mendorong saya untuk menulis. Semasa sekolah dan kuliah, saya aktif di redaksi majalah dinding dan buletin kampus. Bagi saya, menulis itu mudah-mudah sulit, sulit-sulit mudah. Mudah karena idenya bisa ditemukan dan didapatkan dari mana dan kapan saja.
Sulit karena menulis itu bukan saja seni bagaimana kita merasa, tapi juga lebih kepada proses berpikir. Writing is thinking. Saya mendapat inspirasi menulis dari banyak hal, mulai dari peristiwa di sekitar saya, kisah orang-orang dekat sampai curhatan teman, sahabat, kenalan dan dari buku-buku non-fiksi seperti biografi dan kisah-kisah inspiratif. Hal sulit lainnya adalah bagaimana mengeksekusi ide menjadi tulisan yang bernas, mengalir, menyentuh, dan mencerahkan.
How to convey the message, the idea? Bagaimana menyampaikan pesan dengan cara yang tepat, baik dari gaya bahasa, pilihan kata, maupun emosinya dengan cara tidak menggurui. Itulah yang menjadi pekerjaan rumah terus-menerus sepanjang waktu.
Bagaimana tulisan-tulisan Anda kemudian dibukukan dan menjadi komersial?
Saya menggemari menulis sejak lama namun tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya akan berkecimpung lebih dalam dan lebih jauh di dunia tulis menulis. Pada 2008 saya harus menjalani masa iddah, tinggal dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari karena suami saya meninggal dunia. Dalam masa senggang sekaligus duka itu mulailah saya bersinggungan dengan Facebook dan banyak menulis curahan hati. Di saat berkabung seperti itu, menulis seperti terapi bagi saya.
Beberapa teman di dunia maya akhirnya mendorong saya untuk mengikuti lomba menulis. Sekali menang, kedua kali menang lagi, ketiga kali menang lagi, dan akhirnya kecanduan hingga sekarang. Pada 2009, saya baru menulis untuk publik dan pada 2010 saya merilis novel debut berjudul Mayasmara. Dulu, menulis hobi saya namun untuk sekarang sepertinya menulis jadi karier he he he….
Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis cerita?
Setelah mendapatkan konsep dan premis, saya selalu membuat outline terlebih dahulu. Dari kerangka tersebut, saya menjadi tahu bahan-bahan apa saja yang harus saya riset jika belum punya bahannya dan mana yang bisa dikerjakan terlebih dahulu terutama jika saya sudah menguasai bagian itu. Jadi saya bisa memulai dari mana saja. Saya juga aktif menulis puisi, cerita pendek, cerita panjang, dan beberapa kisah inspiratif. Berbagai karya saya dibukukan bersama tulisan penulis lain. Sudah ada 84 buku antologi.
Pernah stucksaat menulis?
Jika terjadi kemacetan dalam menulis, saya sering brainstormingdengan guru-guru saya. Saat brainstorming, mereka dengan senang hati melempar pertanyaan-pertanyaan bernas dan bermutu yang kadang-kadang memancing jawaban dari bawah sadar saya. Atau jika saya memang belum punya jawabannya, dari sanalah saya bergerak untuk melakukan riset lanjutan.
Hal apa yang membuat Anda ingin terus menulis?
Ada banyak sekali ide cerita yang ingin saya tuliskan. Benih cerita-cerita dalam kepala itu mendorong saya untuk terus menulis. Alhamdulillah tidak habis-habis. Sebagian ide yang belum sempat saya kembangkan saya tuliskan dalam buku khusus ide dan plot. Ada juga yang berserakan di notes-notes kecil yang saya bawa dalam perjalanan kereta atau bus. Sebagian lagi bahkan saya tulis dalam bentuk singkatan-singkatan karena media yang sempit, post-it.
Apa asiknya atau puasnya menulis bagi Anda?
Rasanya plong, seakan-akan ganjalan cerita yang mendesak-desak minta dikeluarkan dari dalam kepala dan hati akhirnya mengalir. Rasanya seperti sukses membayar utang janji pada diri sendiri. Selama proses penulisan, saya menjadi memahami diri sendiri dan orang lain dengan cara lebih baik lagi. Rahasia-rahasia serta hakikat kejadian dan peristiwa seperti dibukakan oleh-Nya pada mata hati saya yang sebelumnya tertutup ego, persepsi sendiri, atau persepsi orang lain.
Bagaimana sensasinya membuat theatre of mindyang masuk logika fiksi?
Saya suka was-was juga, takutnya malah terkesan mengada-ada, klise, atau malah dianggap tidak logis. Jadi terkadang, saya membuat beberapa alternatif adegan atau kejadian untuk dipilih yang terbaik. Tak jarang juga saya brainstorming dengan teman atau mentor mengenai kemungkinan- kemungkinan adegan sebab akibat. Dalam perjalanan editing, seringkali datang tambahan ide untuk improvisasi agar lebih logis dan tidak terjadi plot-hole atau semacamnya. Kadang-kadang, kita perlu membebaskan diri untuk tidak terlalu “kaku” pada plot yang telah disiapkan. Dengan begitu, seiring proses akan ditemukan kejutan yang tidak terduga.
Menurut Anda, di mana kekuatan tulisan Anda?
Latarbelakang keluarga saya yang berasal dari keluarga santri. Saya sendiri juga aktivis kerohanian Islam dan kehidupan haroki semasa kuliah. Hal ini membuat saya memiliki sudut pandang religius tapi berusaha tidak hanya ada hitam dan putih. Saya suka sekali memasukkan kontemplasi dan perenungan dalam tulisan dan cerita saya. Teman-teman pembaca menyukai dan menganggap spiritualisme yang hampir selalu mewarnai tulisan saya ini sebagai identitas dan ciri khas.
Apa garis merah di setiap tulisan Anda?
Saya punya bagan besar yang menjadi cikal bakal banyak tulisan dan cerita saya. Terinspirasi dari novel Para Priyayi karya Umar Kayam, namun saya membuatnya lebih ke versi kehidupan dan dunia pesantren yang memang juga sama kuat akarnya serta mempunyai pengaruh signifikan pada personal-personal di dalamnya. Berbagai karakter itulah yang kemudian menggerakkan cerita-cerita ini.
Apakah Anda mempunyai obsesi dalam menulis?
Saya masih punya pekerjaan rumah dari salah seorang penulis kelahiran Indonesia yang tinggal di Amerika. Dia sudah lama sekali ingin menerbitkan tulisan saya, tapi saya masih belum bisa setorkan kepadanya sampai saat ini. Terbayang, saya menuliskan novel berlatar Demak berbau sejarah seperti Gadis Kretek, punya nilai filosofis yang tinggi tapi juga sekaligus up to date untuk masa sekarang. Kisah yang bisa mencerahkan dan menggerakkan banyak orang menuju hal-hal yang lebih baik sekaligus membawa nama Demak ke dunia internasional lebih jauh lagi.
Jika memungkinkan, tulisan ini akan dibuat dalam genre eksistensialisme karena Ahmad Tohari pernah berpesan pada saya demikian. Beliau berpesan agar saya terus menulis seperti novel debut saya, Mayasmara (2010), yang beliau sebut sebagai novel eksistensialis.
Peluang apa saja yang Anda dapatkan dari menulis?
Dari menulis, saya sering diundang untuk mengisi sharing kepenulisan di sekolah, kampus, dan pesantren. Selain itu, saya juga menerbitkan bukubuku penulis lain melalui Hasfa Publishing, penerbitan sendiri, dan menjualnya melalui distributor ke toko buku. Peluang sampingan lainnya adalah menjual buku-buku secara online baik buku sendiri atau buku terbitan Hasfa.
Saya sempat berjualan kaos yang berkaitan dengan literasi dan buku yang kami terbitkan untuk membantu korban bencana alam. Ke depannya, mungkin berjualan suvenir dan pernak-pernik berkaitan dengan berbagai karakter dalam cerita-cerita yang saya tulis.
Ema malini
Melalui berbagai tulisannya yang kuat dari segi spiritual, insinyur teknik arsitektur dari Universitas Diponegoro ini tak hanya berbagi kisah, tapi juga inspirasi dan motivasi.
Dian Nafi mencitrakan dirinya sebagai pecinta purnama dan penikmat hujan. Bagi dia, purnama sering membuat dirinya teraktivasi sehingga menjadi “high” sementara hujan membawa nuansa romantis dan unspoken moment.
Dan menulis bagi Dian adalah cara terbaik menuangkan perasaan-perasaan tersebut sepuasnya. Berikut wawancara dengan pemenang lomba menulis kisah inspiratif Indiva ini.
Latar belakang Anda adalah arsitektur. Sedangkan saat ini Anda lebih aktif sebagai penulis. Apakah Anda vakum dari aktivitas sebagai arsitek?
Saya masih menerima pesanan mendesain rumah tinggal dan bangunan lainnya walaupun tidak sebanyak dulu saat masih fokus bekerja di perusahaan konsultan arsitektur. Ada banyak ilmu arsitektur yang saya dapatkan yang bisa diaplikasikan dalam penulisan. Misalnya, perancangan, perencanaan, teknik presentasi, analisis, logika, dan keseimbangan. Itu semua berguna untuk menulis.
Sulit mana, merancang bangunan atau “merancang” cerita?
Sejak dulu sebenarnya saya aktif menulis tapi saya simpan sendiri. Perkenalan dengan tulis menulis bermula saat ayah menghadiahkan sebuah buku harian saat ulang tahun Ke-8 saya. Beliau yang mendorong saya untuk menulis. Semasa sekolah dan kuliah, saya aktif di redaksi majalah dinding dan buletin kampus. Bagi saya, menulis itu mudah-mudah sulit, sulit-sulit mudah. Mudah karena idenya bisa ditemukan dan didapatkan dari mana dan kapan saja.
Sulit karena menulis itu bukan saja seni bagaimana kita merasa, tapi juga lebih kepada proses berpikir. Writing is thinking. Saya mendapat inspirasi menulis dari banyak hal, mulai dari peristiwa di sekitar saya, kisah orang-orang dekat sampai curhatan teman, sahabat, kenalan dan dari buku-buku non-fiksi seperti biografi dan kisah-kisah inspiratif. Hal sulit lainnya adalah bagaimana mengeksekusi ide menjadi tulisan yang bernas, mengalir, menyentuh, dan mencerahkan.
How to convey the message, the idea? Bagaimana menyampaikan pesan dengan cara yang tepat, baik dari gaya bahasa, pilihan kata, maupun emosinya dengan cara tidak menggurui. Itulah yang menjadi pekerjaan rumah terus-menerus sepanjang waktu.
Bagaimana tulisan-tulisan Anda kemudian dibukukan dan menjadi komersial?
Saya menggemari menulis sejak lama namun tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya akan berkecimpung lebih dalam dan lebih jauh di dunia tulis menulis. Pada 2008 saya harus menjalani masa iddah, tinggal dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari karena suami saya meninggal dunia. Dalam masa senggang sekaligus duka itu mulailah saya bersinggungan dengan Facebook dan banyak menulis curahan hati. Di saat berkabung seperti itu, menulis seperti terapi bagi saya.
Beberapa teman di dunia maya akhirnya mendorong saya untuk mengikuti lomba menulis. Sekali menang, kedua kali menang lagi, ketiga kali menang lagi, dan akhirnya kecanduan hingga sekarang. Pada 2009, saya baru menulis untuk publik dan pada 2010 saya merilis novel debut berjudul Mayasmara. Dulu, menulis hobi saya namun untuk sekarang sepertinya menulis jadi karier he he he….
Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis cerita?
Setelah mendapatkan konsep dan premis, saya selalu membuat outline terlebih dahulu. Dari kerangka tersebut, saya menjadi tahu bahan-bahan apa saja yang harus saya riset jika belum punya bahannya dan mana yang bisa dikerjakan terlebih dahulu terutama jika saya sudah menguasai bagian itu. Jadi saya bisa memulai dari mana saja. Saya juga aktif menulis puisi, cerita pendek, cerita panjang, dan beberapa kisah inspiratif. Berbagai karya saya dibukukan bersama tulisan penulis lain. Sudah ada 84 buku antologi.
Pernah stucksaat menulis?
Jika terjadi kemacetan dalam menulis, saya sering brainstormingdengan guru-guru saya. Saat brainstorming, mereka dengan senang hati melempar pertanyaan-pertanyaan bernas dan bermutu yang kadang-kadang memancing jawaban dari bawah sadar saya. Atau jika saya memang belum punya jawabannya, dari sanalah saya bergerak untuk melakukan riset lanjutan.
Hal apa yang membuat Anda ingin terus menulis?
Ada banyak sekali ide cerita yang ingin saya tuliskan. Benih cerita-cerita dalam kepala itu mendorong saya untuk terus menulis. Alhamdulillah tidak habis-habis. Sebagian ide yang belum sempat saya kembangkan saya tuliskan dalam buku khusus ide dan plot. Ada juga yang berserakan di notes-notes kecil yang saya bawa dalam perjalanan kereta atau bus. Sebagian lagi bahkan saya tulis dalam bentuk singkatan-singkatan karena media yang sempit, post-it.
Apa asiknya atau puasnya menulis bagi Anda?
Rasanya plong, seakan-akan ganjalan cerita yang mendesak-desak minta dikeluarkan dari dalam kepala dan hati akhirnya mengalir. Rasanya seperti sukses membayar utang janji pada diri sendiri. Selama proses penulisan, saya menjadi memahami diri sendiri dan orang lain dengan cara lebih baik lagi. Rahasia-rahasia serta hakikat kejadian dan peristiwa seperti dibukakan oleh-Nya pada mata hati saya yang sebelumnya tertutup ego, persepsi sendiri, atau persepsi orang lain.
Bagaimana sensasinya membuat theatre of mindyang masuk logika fiksi?
Saya suka was-was juga, takutnya malah terkesan mengada-ada, klise, atau malah dianggap tidak logis. Jadi terkadang, saya membuat beberapa alternatif adegan atau kejadian untuk dipilih yang terbaik. Tak jarang juga saya brainstorming dengan teman atau mentor mengenai kemungkinan- kemungkinan adegan sebab akibat. Dalam perjalanan editing, seringkali datang tambahan ide untuk improvisasi agar lebih logis dan tidak terjadi plot-hole atau semacamnya. Kadang-kadang, kita perlu membebaskan diri untuk tidak terlalu “kaku” pada plot yang telah disiapkan. Dengan begitu, seiring proses akan ditemukan kejutan yang tidak terduga.
Menurut Anda, di mana kekuatan tulisan Anda?
Latarbelakang keluarga saya yang berasal dari keluarga santri. Saya sendiri juga aktivis kerohanian Islam dan kehidupan haroki semasa kuliah. Hal ini membuat saya memiliki sudut pandang religius tapi berusaha tidak hanya ada hitam dan putih. Saya suka sekali memasukkan kontemplasi dan perenungan dalam tulisan dan cerita saya. Teman-teman pembaca menyukai dan menganggap spiritualisme yang hampir selalu mewarnai tulisan saya ini sebagai identitas dan ciri khas.
Apa garis merah di setiap tulisan Anda?
Saya punya bagan besar yang menjadi cikal bakal banyak tulisan dan cerita saya. Terinspirasi dari novel Para Priyayi karya Umar Kayam, namun saya membuatnya lebih ke versi kehidupan dan dunia pesantren yang memang juga sama kuat akarnya serta mempunyai pengaruh signifikan pada personal-personal di dalamnya. Berbagai karakter itulah yang kemudian menggerakkan cerita-cerita ini.
Apakah Anda mempunyai obsesi dalam menulis?
Saya masih punya pekerjaan rumah dari salah seorang penulis kelahiran Indonesia yang tinggal di Amerika. Dia sudah lama sekali ingin menerbitkan tulisan saya, tapi saya masih belum bisa setorkan kepadanya sampai saat ini. Terbayang, saya menuliskan novel berlatar Demak berbau sejarah seperti Gadis Kretek, punya nilai filosofis yang tinggi tapi juga sekaligus up to date untuk masa sekarang. Kisah yang bisa mencerahkan dan menggerakkan banyak orang menuju hal-hal yang lebih baik sekaligus membawa nama Demak ke dunia internasional lebih jauh lagi.
Jika memungkinkan, tulisan ini akan dibuat dalam genre eksistensialisme karena Ahmad Tohari pernah berpesan pada saya demikian. Beliau berpesan agar saya terus menulis seperti novel debut saya, Mayasmara (2010), yang beliau sebut sebagai novel eksistensialis.
Peluang apa saja yang Anda dapatkan dari menulis?
Dari menulis, saya sering diundang untuk mengisi sharing kepenulisan di sekolah, kampus, dan pesantren. Selain itu, saya juga menerbitkan bukubuku penulis lain melalui Hasfa Publishing, penerbitan sendiri, dan menjualnya melalui distributor ke toko buku. Peluang sampingan lainnya adalah menjual buku-buku secara online baik buku sendiri atau buku terbitan Hasfa.
Saya sempat berjualan kaos yang berkaitan dengan literasi dan buku yang kami terbitkan untuk membantu korban bencana alam. Ke depannya, mungkin berjualan suvenir dan pernak-pernik berkaitan dengan berbagai karakter dalam cerita-cerita yang saya tulis.
Ema malini
(ars)