Kisah Patih Djojodigdo, Pemilik Aji Pancasona

Minggu, 30 November 2014 - 05:00 WIB
Kisah Patih Djojodigdo, Pemilik Aji Pancasona
Kisah Patih Djojodigdo, Pemilik Aji Pancasona
A A A
Jika menyebut makam gantung akan orang teringat tentang Djojodigdo, seorang patih di Kadipaten Blitar, Jawa Timur yang sakti mandraguna.

Kesaktian sang patih karena memiliki ilmu Aji Pancasona yang dapat hidup kembali ketika mati jika jasadnya menyentuh tanah.

Sebelum diangkat menjadi patih, Djojodigdo muda dikenal suka laku tirakat, dan berpuasa sehingga berbagai macam ilmu kanuragan dikuasainya.

Bahkan gurunya, tak hanya dari bangsa manusia saja. Tapi ada juga yang berasal dari bangsa lelembut.

Tak heran, jika Djojodigdo bisa menguasai ilmu Aji Pancasona atau yang juga disebut Ajian Rawa Rontek.

Djojodigdo merupakan sahabat sekaligus pengikut Pangeran Diponegoro. Tokoh ini juga memiliki trah darah biru dari Mataram karena putra Adipati Kulonprogo.

Kedigjayaan Djojodigdo teruji ketika terjadi perang antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro.

Sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, Djojodigdo yang saat itu masih berusia sekitar 30-an juga melakukan perlawanan kepada Belanda.

Bahkan dia terus melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda meski Pangeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan.

Bahkan Djojodigdo menjadi momok bagi Kompeni Belanda karena kesaktian Aji Pancasona yang dia miliki. Djojodigdo dapat beberapa kali hidup kembali walaupun telah dieksekusi oleh tentara Kompeni Belanda ketika itu.

Begitu jasadnya dibuang dan menyentuh tanah dia dapat hidup kembali tanpa sepengetahuan kompeni.

Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta terlalu banyak dijaga oleh kompeni, Djojodigdo lebih memilih perang gerilya bersama pengikutnya menuju arah timur.

Dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda yang lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Djojodigdo di wilayah Blitar selatan.

Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa Blitar saat itu, Djojodigdo bersama laskarnya terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Sehingga Belanda menjadi takut terhadap kesaktian Djojodigdo dan pengikutnya dan pada akhirnya melepaskan pengawasan terhadap Kadipaten Blitar.

Merasa wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati Blitar saat itu, mengirim pasukan telik sandi (intel) untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar.

Hingga pada akhirnya, telik sandi yang dikirim oleh sang Adipati, menemukan Djojodigdo di sebuah hutan yang masuk wilayah Blitar Selatan. Atas perintah Adipati Blitar, telik sandi mengundang Djojodigdo untuk datang ke pendopo.

Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus. Alasannya, Djojodigdo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir kompeni.

Karena tolakan halus dari Djojodigdo ini, kemudian telik sandi langsung pulang dan melapor kepada Adipati.

Dua tahun kemudian, Adipati Blitar kembali mengirim utusan. Namun saat itu, patih di Kadipaten Blitar mangkat dan harus segera dicarikan pengganti.

Maksud Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Djojodigdo bersedia menjadi patih di Kadipaten Blitar.

Dan karena banyak pihak kompeni yang meninggalkan Blitar lantaran serangan gerilya pasukannya. Akhirnya Djojodigdo bersedia menerima tawaran Adipati Blitar.

Sebagai seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton, ketika diangkat menjadi patih di Kadipaten Blitar, Djojodigdo sudah tak asing lagi dengan pemerintahan. Maka sang patih pun mampu mengambil kebijakan yang sangat cakap.

Hal inilah yang membuat salut sang Adipati Blitar. Karena kecakapan ini, kemudian sang Adipati memberinya sebidang tanah yang sekarang berada di Jalan Melati Kota Blitar.

Di tanah perdikan ini, Djojodigdo kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama, Pesanggerahan Djojodigdo.

Rumah yang didirikan oleh Djojodigdo in, hingga kini masih berdiri kokoh. Sebagai manusia biasa, walau mempunyai Aji Pancasona, Djojodigdo akhirnya wafat pada tahun 1905 diusia seratus tahun lebih.

Karenanya agar tidak hidup kembali, saat meninggal Djojodigdo kemudian makamnya digantung tidak menyentuh tanah.

Jasadnya dimasukan ke dalam peti besi, kemudian disangga dengan empat penyangga yang juga terbuat dari besi. Sehingga masyarakat Blitar menyebutnya dengan nama, Makam Gantung.

Makamnya terletak di Jalan Melati, Blitar, Jawa Timur, sekitar 1 kilometer dari makam Sang Proklamator Bung Karno.

Sebagai makam seorang tokoh sakti pada jamannya, kini makam Eyang Djojodigdo pada hari-hari tertentu banyak didatangi oleh para peziarah.

Terutama yang datang dari kalangan spiritualis. Beda dengan para peziarah biasa, kaum spiritualis ini datang ke makam Eyang Djojodigdo dengan maksud tertentu.

Yakni ingin berguru kepada Eyang Djojodigdo dengan cara gaib. Tujuannya, agar mendapat titisan ilmu Aji Pancasona.

Makam Eyang Djojodigdo juga diyakini dijaga dua sosok gaib berujud dua binatang besar berupa seekor ular sebesar batang pohon kelapa, serta seekor harimau loreng sebesar anak sapi.

Dua sosok gaib penjaga makam ini, konon dulunya merupakan pengawal pribadi Eyang Djojodigdo semasa hidup yang berasal dari bangsa lelembut berujud binatang.

Karena kesetiaannya kepada majikan, hingga Eyang Djojodigdo wafat, kedua sosok gaib itu masih setia menunggui makam majikannya.

Sumber : laurentiadewi.com (diolah berbagai sumber)
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5088 seconds (0.1#10.140)