Mengenang Pemberontakan Ulama di Banten 1926 (Bagian II-Habis)

Jum'at, 28 November 2014 - 05:05 WIB
Mengenang Pemberontakan...
Mengenang Pemberontakan Ulama di Banten 1926 (Bagian II-Habis)
A A A
SETELAH berhasil menarik simpati ulama dan petani di Banten, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai merekrut kelompok jawara. Kelompok ini ditarik karena memiliki massa yang besar.

Para jawara dikenal dengan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, dan memainkan senjata tajam, seperti golok dan parang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jawara memiliki peran penting dalam revolusi.

Keberhasilanmerekrut jawara, sebenarnya akibat dari berhasilnya PKI dalam menarik para ulama menjadi anggota mereka. Para jawara sangat menghormati ulama, dan melihat mereka sebagai guru spiritualnya.

Sebelum pecah pemberontakan, pada 12 November 1926, sejumlah ulama pemimpin pemberontakan ditangkap polisi kolonial Belanda. Penangkapan itu juga diwarnai dengan intimidasi petani.

Di sinilah jawara memainkan perannya yang utama. Mereka berhasil mengambil alih kepemimpinan ulama yang ditangkap bersama dengan ulama yang berhasil meloloskan diri untuk melanjutkan pergerakan.

Pemberontakan ulama dan jawara di Banten, pecah di Labuan, Menes, Serang, dan Pandeglang. Para ulama memimpin ratusan orang jawara dan petani, menyerang rumah bupati, polisi, dan orang Belanda.

Di Labuan, para pemberontak berhasil menahan Asisten Wedana Wiriadikoesoema dan anggota keluarganya. Seorang polisi yang saat itu menjaga rumah dan melakukan perlawanan, terbunuh.

Sedangkan di Menes, para pemberontak menyerang rumah Wedana Raden Partadininata, Pengawas Kereta Api Benjamins, dan petugas kepolisian. Beberapa pemberontak tewas tertembak di sini.

Sementara Benjamin, orang Belanda satu-satunya yang menjadi sasaran penyerangan dibunuh, dan mayatnya dipotong-potong. Dua orang polisi juga tewas di sini. Begitupun dengan wedana.

Setelah beberapa hari melakukan pemberontakan, sejak tanggal 12 November hingga 14 November 1926, polisi kolonial mulai melakukan pembalasan. Pembersihan dilakukan hingga 18 November 1926.

Serangan balik kolonial Belanda berhasil. Dalam waktu singkat, para pemberontak berhasil dilumpuhkan. Sebanyak 1.300 anggota PKI dan simpatisannya di Banten ditangkap, empat di antaranya dihukum mati.

Sedangkan 99 orang dibuang ke Boven Digoel. Sebanyak 29 di antaranya sudah bergelar haji, 17 di antaranya bahkan pernah tinggal di Mekkah. Sedang 11 orang lainnya tercatat sebagai guru agama.

Beberapa ulama yang dibuang ke Boven Digoel adalah H Chatib, H Asgari, H Emed, H Mohammad Arif, H Abdul Hamid (adik H Chatib), H Artadjaja, H Soeeb, H Abdul Hadi, H Akjar, dan H Sentani.

Ulama, jawara, dan petani di Banten yang menjadi tulang punggung pemberontakan tahun 1926, sebenarnya bukan aktor baru. Pada tahun-tahun sebelumnya, pemberontakan juga pernah mereka dilakukan.

Pada pemberontakan sebelum tahun 1926, para ulama, jawara, dan petani di Banten belum mengenal cita-cita Indonesia merdeka. Cita-cita itu baru mereka kenal setelah bergabung dengan PKI.

Dengan demikian, orang-orang komunislah yang pertama kali berjuang mengangkat senjata melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mendirikan Republik Indonesia.

Perbedaan lain dari pemberontakan tahun 1926 adalah sifatnya yang nasional. Pemberontakan itu bukan hanya terjadi di Banten, tetapi juga di beberapa wilayah yang menjadi basis massa PKI di Indonesia.

Beberapa di antaranya adalah Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.

Dari semua daerah itu, pemberontakan di Banten lah yang terhebat. Hal ini terasa wajar, karena para ulama, jawara, dan petani di Banten sudah terkenal dengan pemberontakan-pemberontakannya.

Di antara pemberontakan yang pernah terjadi di Banten, dan cukup dikenal sebelum tahun 1926 adalah Pemberontakan Cilegon tahun 1888 yang dilatari oleh pelecehan agama Islam oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Latar itu jugalah yang membedakan terjadinya pemberontakan di tahun 1926 dengan tahun 1888. Pemberontakan 1926 dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat, dan keinginan untuk segera merdeka dari penjajahan Belanda.

Beberapa persoalan pokok lainnya dalam pemberontakan 1926 adalah, masih bersatunya umat Islam dengan komunisme. Hal yang sangat berbeda kini, di mana Islam dan komunisme ibarat air dan minyak.

Demikian ulasan singkat Cerita Pagi sejarah pemberontakan ulama dan jawara di Banten tahun 1926 diakhiri. Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Baca juga: Mengenang Pemberontakan Ulama di Banten 1926 (Bagian 1)

Sumber utama tulisan adalah buku Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten karangan Michael C Williams.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0925 seconds (0.1#10.140)