Menteri Agraria Diminta Segera Batalkan Sertifikat Partono Wiraputra
A
A
A
JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan diminta segera membatalkan Sertifikat No 52 dan 53 di Ratu Jaya, Depok, Jawa Barat, atas nama Partono Wiraputra.
Karena selain pembuatannya cacat hukum, sertifikat tersebut diduga digunakan mafia tanah untuk menguasai tanah tersebut.
Pensiunan dokter RSCM dan staf pengajar pasca sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Adjit Sing Gill mengatakan, Menteri Agraria selaku kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Republik Indonesia harus segera membatalkan sertifikat tersebut karena semua proses hukum perdata soal tanah tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (incrach).
Hal ini sesuai dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) no 3297 K/Pdt/1998 dan dikuatkan kembali dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) MA no 35/PK/Pdt/2003.
Menurut dokter ahli, dirinya selaku pemilik tanah tersebut sebelumnya sudah mengirim surat permohonan pembatalan sertifikat tersebut ke Kepala Kanwil BPN Jawa Barat dan Kepala BPN RI sewaktu dijabat Hendarman Soepanji.
Sehingga Kepala BPN RI pada waktu itu telah menyurati BPN Kanwil Jawa Barat dengan No 5148/27.3/600/XII/2013 tanggal 23 Desember 2013 yang isinya memerintahkan BPN Jawa Barat untuk melakukan penelitian fisik dan yuridis mengenai permasalahan tanah ini agar dapat diselesaikan.
"Tapi hingga berganti kepala BPN RI menjadi Menteri Agraria sampai sekarang ini tidak ada kelanjutannya, " tukas pria paruh baya ini, Senin (24/11/2014).
Adjit meminta, Menteri Agraria yang sekarang dijabat Ferry Mursyidan Baldan segera membenahi jajarannya di Kanwil BPN Jawa Barat dan Depok agar kasus pertanahan yang menimpa dirinya tak berlarut-larut.
"Saya berharap pak Menteri bisa segera membatalkan sertifikat tanah atas nama Partono Saputra. Agar ada kepastian hukum di negeri ini," ungkap Adjit.
Sementara menurut Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia (UI) Prof Arie Sukanti Hutagalung, BPN memang harus segera membatalkan SHM No 52, 53 atas nama Partono Wiraputra karena proses pembuatannya menggunakan akta penjualan yang cacat hukum administrasi.
Pembatalan ini, kata Prof Arie Sukanti, merujuk kepada Peraturan Kepala BPN RI No 3/2011 bagian kedua, paragraf 1, Pasal 61, di mana pembatalan hak atas tanah bisa dilakukan karena cacat hukum administrasi.
Jadi, menurut Ketua Pusat Studi Hukum Agraria UI ini, kalau merujuk kepada Peraturan Kepala BPN tersebut pada Bab VIII bagian kesatu, paragraf 1, Pasal 54 tentang pelaksanaan putusan pengadilan dinyatakan, BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Anggota dewan guru besar Fakultas Hukum UI ini juga menjelaskan, proses pembatalan sertifikat wajib dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN RI paling lambat dua bulan setelah diterimanya salinan putusan pengadilan oleh pejabat yang berwenang melakukan pembatalan.
"Ini kan sudah lebih dua bulan. Kalau BPN Depok tidak membatalkan segera laporkan kasusnya ke Kanwil. Jika Kanwil tidak juga melaksanakan ya harus dilaporkan ke BPN Pusat atau Menteri Agraria. Sehingga dapat diketahui kendala yang terjadi, " tandas Arie kepada Sindonews beberapa waktu lalu.
Karena selain pembuatannya cacat hukum, sertifikat tersebut diduga digunakan mafia tanah untuk menguasai tanah tersebut.
Pensiunan dokter RSCM dan staf pengajar pasca sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Adjit Sing Gill mengatakan, Menteri Agraria selaku kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Republik Indonesia harus segera membatalkan sertifikat tersebut karena semua proses hukum perdata soal tanah tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (incrach).
Hal ini sesuai dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) no 3297 K/Pdt/1998 dan dikuatkan kembali dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) MA no 35/PK/Pdt/2003.
Menurut dokter ahli, dirinya selaku pemilik tanah tersebut sebelumnya sudah mengirim surat permohonan pembatalan sertifikat tersebut ke Kepala Kanwil BPN Jawa Barat dan Kepala BPN RI sewaktu dijabat Hendarman Soepanji.
Sehingga Kepala BPN RI pada waktu itu telah menyurati BPN Kanwil Jawa Barat dengan No 5148/27.3/600/XII/2013 tanggal 23 Desember 2013 yang isinya memerintahkan BPN Jawa Barat untuk melakukan penelitian fisik dan yuridis mengenai permasalahan tanah ini agar dapat diselesaikan.
"Tapi hingga berganti kepala BPN RI menjadi Menteri Agraria sampai sekarang ini tidak ada kelanjutannya, " tukas pria paruh baya ini, Senin (24/11/2014).
Adjit meminta, Menteri Agraria yang sekarang dijabat Ferry Mursyidan Baldan segera membenahi jajarannya di Kanwil BPN Jawa Barat dan Depok agar kasus pertanahan yang menimpa dirinya tak berlarut-larut.
"Saya berharap pak Menteri bisa segera membatalkan sertifikat tanah atas nama Partono Saputra. Agar ada kepastian hukum di negeri ini," ungkap Adjit.
Sementara menurut Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia (UI) Prof Arie Sukanti Hutagalung, BPN memang harus segera membatalkan SHM No 52, 53 atas nama Partono Wiraputra karena proses pembuatannya menggunakan akta penjualan yang cacat hukum administrasi.
Pembatalan ini, kata Prof Arie Sukanti, merujuk kepada Peraturan Kepala BPN RI No 3/2011 bagian kedua, paragraf 1, Pasal 61, di mana pembatalan hak atas tanah bisa dilakukan karena cacat hukum administrasi.
Jadi, menurut Ketua Pusat Studi Hukum Agraria UI ini, kalau merujuk kepada Peraturan Kepala BPN tersebut pada Bab VIII bagian kesatu, paragraf 1, Pasal 54 tentang pelaksanaan putusan pengadilan dinyatakan, BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Anggota dewan guru besar Fakultas Hukum UI ini juga menjelaskan, proses pembatalan sertifikat wajib dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN RI paling lambat dua bulan setelah diterimanya salinan putusan pengadilan oleh pejabat yang berwenang melakukan pembatalan.
"Ini kan sudah lebih dua bulan. Kalau BPN Depok tidak membatalkan segera laporkan kasusnya ke Kanwil. Jika Kanwil tidak juga melaksanakan ya harus dilaporkan ke BPN Pusat atau Menteri Agraria. Sehingga dapat diketahui kendala yang terjadi, " tandas Arie kepada Sindonews beberapa waktu lalu.
(sms)