Asal Usul Kolom Agama di KTP
A
A
A
PEMERINTAH Indonesia hanya mengakui enam agama bagi penduduknya, yakni agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, dan Konghucu. Penganut agama di luar itu, akan dianggap ilegal, dan sesat.
Pro dan kontra terhadap keputusan itu pun bergulir, saat pemerintah berencana menghapus kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat yang memeluk agama di luar ketetapan yang telah ditentukan.
Fenomena yang tengah menjadi buah bibir ini, sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Saat pengesahan Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945, perdebatan serupa juga pernah terjadi.
Pada zaman Belanda, orang yang lahir di Hindia Belanda, memiliki Verklaring van Ingezetenschap (KTP). Namun dalam KTP itu, tidak tertulis kolom agama orang tersebut. KTP hanya digunakan sebagai identitas seseorang.
Baru pada 1945, setelah Indonesia merdeka, kolom agama dalam KTP mulai diadakan. Banyaknya agama di Indonesia, membuat pembahasan pembukaan UUD 1945 sempat berjalan alot. Dari sinilah perdebatan itu dimulai.
Perdebatan dimulai dengan desakan kubu Islam yang ingin syariat Islam dimasukkan dalam pembukaan UUD. Namun, upaya meng-Islamkan Indonesia itu mendapat penolakan dari pihak Non-Muslim. Benturan kedua kubu pun terjadi, dan cukup keras.
Saking kerasnya, hingga mengancam persatuan Indonesia. Daerah timur Indonesia mengancam akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jika pemerintah tetap memuat syariat Islam dalam pembukaan UUD.
Tidak main-main, ancaman itu disampaikan oleh seorang opsir Angkatan Laut Jepang yang mengaku mewakili wilayah Indonesia bagian timur, kepada Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta.
Menurut Mohammad Hatta, ancaman itu merupakan suatu masalah yang serius. Kendati seorang Muslim yang taat, Mohammad Hatta tidak mau melihat Indonesia terpecah belah hanya lantaran perbedaan pandangan. Berbagai upaya pun lalu dilakukannya.
Di antaranya dengan memanggil tokoh-tokoh agama Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera, untuk membicarakan tuntutan kubu Non-Muslim dan penghapusan syariat Islam dalam UUD.
Menurut tokoh-tokoh Islam ini, syariat Islam merupakan satu hal yang prinsip. Namun jangan sampai hal yang prinsip itu mengganggu jalannya kemerdekaan. Apalagi, sudah ada keberatan dari pihak Non-Muslim.
Akhirnya, kendati dirasa berat, mereka sepakat untuk menghapus syariat Islam dalam pembukaan UUD 1945, dan menggantinya dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila. Kata ketuhanan ditujukan sebagai identitas manusia beragama.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Presiden Indonesia pertama Soekarno dalam Trisila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Ekonomi, dan Ekasakti yang artinya Gotong Royong.
Berbeda dengan Soekarno, Mohammad Hatta melihat sila Ketuhanan yang Maha Esa merupakan kunci dari Pancasila, karena empat sila lainnya adalah bagian dari sifat Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan demikian, jelaslah mengapa kolom agama dalam KTP diadakan. Pertama adalah sebagai identitas umat beragama di Indonesia yang beraneka ragam. Kedua sebagai persatuan seluruh umat beragama di Indonesia.
Maka, dengan dihapuskannya kolom agama pada KTP, berarti akan menghilangkan identitas umat bergama di Indonesia. Hal ini, tidak hanya menimbulkan perdebatan panjang, tetapi harus dikembalikan kepada UUD 1945.
Sekian ulasan singkat Cerita Pagi kali ini tentang Asal Usul KTP. Semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca Cerita Pagi yang budiman.
Pro dan kontra terhadap keputusan itu pun bergulir, saat pemerintah berencana menghapus kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat yang memeluk agama di luar ketetapan yang telah ditentukan.
Fenomena yang tengah menjadi buah bibir ini, sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Saat pengesahan Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945, perdebatan serupa juga pernah terjadi.
Pada zaman Belanda, orang yang lahir di Hindia Belanda, memiliki Verklaring van Ingezetenschap (KTP). Namun dalam KTP itu, tidak tertulis kolom agama orang tersebut. KTP hanya digunakan sebagai identitas seseorang.
Baru pada 1945, setelah Indonesia merdeka, kolom agama dalam KTP mulai diadakan. Banyaknya agama di Indonesia, membuat pembahasan pembukaan UUD 1945 sempat berjalan alot. Dari sinilah perdebatan itu dimulai.
Perdebatan dimulai dengan desakan kubu Islam yang ingin syariat Islam dimasukkan dalam pembukaan UUD. Namun, upaya meng-Islamkan Indonesia itu mendapat penolakan dari pihak Non-Muslim. Benturan kedua kubu pun terjadi, dan cukup keras.
Saking kerasnya, hingga mengancam persatuan Indonesia. Daerah timur Indonesia mengancam akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jika pemerintah tetap memuat syariat Islam dalam pembukaan UUD.
Tidak main-main, ancaman itu disampaikan oleh seorang opsir Angkatan Laut Jepang yang mengaku mewakili wilayah Indonesia bagian timur, kepada Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta.
Menurut Mohammad Hatta, ancaman itu merupakan suatu masalah yang serius. Kendati seorang Muslim yang taat, Mohammad Hatta tidak mau melihat Indonesia terpecah belah hanya lantaran perbedaan pandangan. Berbagai upaya pun lalu dilakukannya.
Di antaranya dengan memanggil tokoh-tokoh agama Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera, untuk membicarakan tuntutan kubu Non-Muslim dan penghapusan syariat Islam dalam UUD.
Menurut tokoh-tokoh Islam ini, syariat Islam merupakan satu hal yang prinsip. Namun jangan sampai hal yang prinsip itu mengganggu jalannya kemerdekaan. Apalagi, sudah ada keberatan dari pihak Non-Muslim.
Akhirnya, kendati dirasa berat, mereka sepakat untuk menghapus syariat Islam dalam pembukaan UUD 1945, dan menggantinya dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pancasila. Kata ketuhanan ditujukan sebagai identitas manusia beragama.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Presiden Indonesia pertama Soekarno dalam Trisila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Ekonomi, dan Ekasakti yang artinya Gotong Royong.
Berbeda dengan Soekarno, Mohammad Hatta melihat sila Ketuhanan yang Maha Esa merupakan kunci dari Pancasila, karena empat sila lainnya adalah bagian dari sifat Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan demikian, jelaslah mengapa kolom agama dalam KTP diadakan. Pertama adalah sebagai identitas umat beragama di Indonesia yang beraneka ragam. Kedua sebagai persatuan seluruh umat beragama di Indonesia.
Maka, dengan dihapuskannya kolom agama pada KTP, berarti akan menghilangkan identitas umat bergama di Indonesia. Hal ini, tidak hanya menimbulkan perdebatan panjang, tetapi harus dikembalikan kepada UUD 1945.
Sekian ulasan singkat Cerita Pagi kali ini tentang Asal Usul KTP. Semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca Cerita Pagi yang budiman.
(san)