Klub Bola Tak Siap Disapih APBD
A
A
A
SEMARANG - Harapan Jateng saat ini ada di tim Persis Solo untuk belaga di ISL musim depan yang sudah menembus babak delapan besar Divisi Utama 2014. Jangankan menembus ISL, banyak tim di Jateng memilih berkutat di Divisi Utama.
Tim papan tengah seperti PSIR Rembang, PPSM Sakti Magelang, Persiku Kudus, Persipur Purwodadi dan Persip Pekalongan, seolah hanya ingin bertahan dan sekadar menyemarakkan kompetisi. Direktur Teknik PSIS Setyo Agung Nugroho mengakui, dengan kompetisi yang panjang dengan format home dan away, tim dituntut untuk mengeluarkan dana besar. PSIS pada musim ini sudah mengaluarkan dana lebih dari Rp5,5 miliar, ini bukan perkara yang mudah.
“Jangankan untuk mengontrak pemain, untuk biaya akomodasi away saja banyak tim kesulitan,” kata Setyo Agung. Kondisi PSIS Semarang tak cukup “ngenes” dibanding Persijap Jepara.Modal Laskar Kalinyamat tahun ini hanya Rp2 miliar, jumlah yang sangat kecil dibanding tim-tim lain di ISL. Soal finansial inilah momok utama apalagi setelah ada larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepakbola. Dana operasional untuk mengarungi satu musim kompetisi cukup besar.
Bertanding dengan format home dan away, memaksa tim harus mengeluarkan biaya fantastis. Pengamat sepakbola yang juga wartawan senior, Gonang Susatyo, mengatakan tim-tim sepakbola selalu mendapatkan kucuran dana segar setiap tahun dari pemerintah, tanpa harus bekerja keras.Kebiasaan buruk ini membuat tim-tim tidak mampu mandiri dalam membiayai operasional mereka selama kompetisi berlangsung.
“Tim yang biasa diberi uang pemerintah, otomatis tidak bisa mandiri, karena mereka tidak terbiasa susah payah mencari uang dan memanfaatkan uang sendiri,” ujar Gonang kepada KORAN SINDO kemarin. Mengapa klub kesulitan keuangan? Mantan General Manajer PSIS Ferdinand Hindiarto mengatakan meski sepakbola sangat strategis sebagai partner dunia usaha, namun mendapatkan sponsor sangat sulit.
“Buktinya Solo dan Kota Semarang sebagai kota besar, juga sulit mencari sponsor. Apalagi kota kecil seperti Magelang, memang sangat dibutuhkan figur yang bisa dipercaya pihak ketiga ” tuturnya. Dunia usaha, menurutnya ingin mendapat kontribusi yang diperoleh jika membantu klub sepak bola. Maka, selama dikelola oleh figur yang profesional dan akuntabel, dan iklim yang bagus dalam sepak bola, dia yakin dunia usaha tidak ragu untuk mendukung.
“Mereka butuh kepastian imbal balik terhadap produknya,” ucapnya. Sedangkan menurut Gonang, perusahaan-perusahan tidak percaya pada pengengelolaan klub karena banyaknya pengurus yang tidak mengetahui dunia sepakbola. Biasanya, pengurus adalah orang suruhan dari penguasa setempat tanpa memperhatikan kapasitasnya dalam mengelola klub olah raga.
Akhirnya, mereka hanya bisa membelanjakan uang untuk membeli pemain dan juga berkompetisi selama satu musim tanpa strategi jangka panjang. Belum lagi masalah mark up saat belanja pemain ketika bursa transfer berlangsung. Para pengurus itu membuat laporan pembelian harga pemain dengan harga tinggi. Padahal sebenarnya hargan pemain itu jauh di bawah harga yang dilaporkan kepada pemerintah.
Persoalan sepakbola Jawa Tengah bertambah runyam dengan buruknya infrastruktur. Banyak klub mengeluhkan kondisi stadion yang kurang memadai. Jika tim berprestasi di kasta yang lebih tinggi, justru dikhawatirkan tidak lolos verifikasi PT Liga Indonesia. Seperti dilema PSIR Rembang. “Stadion Krida Rembang ini sudah hampir 15 tahun tidak diperbaiki. Tidak ada lampu penerangannya, sehingga kami tidak mungkin bisa lolos ISL,” kata Manajer PSIR Siswanto.
Silang sengkarut faktor-faktor itu membuat para pemain dengan kualitas bagus enggan bergabung dengan klub-klub di Jateng. Ahmad Buchori, mantan bek kiri Persijap mengaku masih berpikir ulang untuk kembali bergabung dengan Laskar Kalinyamat musim depan. Dia ingin melihat kesiapan finansial tim terlebih dulu sebelum kembali memutuskan untuk kembali bergabung. “Tentu semua pemain berharap mendapatkan gaji yang tepat waktu, meski tidak terlalu besar,” kata dia.
Para pemain berkualitas hengkang ke klub lain yang berani membayar gaji tinggi. Ini tidak bisa dicegah, karena sepakbola profesional tidak bisa memaksa pemain harus membela klub di daerahnya. “Bambang Pamungkas (PBR), itu dulu pemain Persikas Kabupaten Semarang. Ada juga M Ridwan (Persib) dan Fafa Ariyanto (PBR),” ujar Setyo.
Wasit
Faktor keberpihakan wasit pun menjadi masalah serius yang sampai sekarang disinyalir masih berlangsung. Hal ini diakui oleh salah satu striker tim di Jateng di era 90-an. “Kalau dulu, wasit biasanya memberi penalti, terserah bisa dijadikan gol atau tidak. Kalau sekarang sudah agak mendingan,” tutur Setyo. Setyo menduga, kendati masih berlangsung tapi tidak dilakukan di setiap pertandingan. Sebab, tidak mungkin klub hanya mengurusi masalah nonteknis saja, karena sudah membayar pemain mahal-mahal. “Pembuktiannya sangat susah, padahal indikasi ada,” imbuh pengusaha konstruksi ini.
Wakil Ketua Umum PSSI Jateng Edi Sayudi menyatakan selama ini sudah ada pembinaan terhadap wasit, dan pembekalan serta pemahaman terhadap regulasi.Wasit juga sudah diberi pelatihan fisik, minimal setara dengan pemain sepak bola agar bisa maksimal selama 90 menit.
Pendukung PSIS Galang 10.000 Tanda Tangan
Tak kurang dari 300 suporter PSIS Semarang tadi malam memadati depan kantor Gubernuran di Jalan Pahlawan Kota Semarang. Mereka menggalang 10.000 dukungan tanda tangan sebagai bentuk protes terhadap PSSI yang mencoret PSIS sebagai kontestan Divisi Utama 2014. Pencoretan Mahesa Jenar sangat menyakiti masyarakat Kota Semarang.
“PSIS itu kebanggaan warga Semarang. Kalau sudah dicoret, sama saja melukai hati warga,” kata Ketua Umum Panser Biru, Mario Baskoro, di sela-sela aksi.
Arif purniawan/ Arief setiadi
Tim papan tengah seperti PSIR Rembang, PPSM Sakti Magelang, Persiku Kudus, Persipur Purwodadi dan Persip Pekalongan, seolah hanya ingin bertahan dan sekadar menyemarakkan kompetisi. Direktur Teknik PSIS Setyo Agung Nugroho mengakui, dengan kompetisi yang panjang dengan format home dan away, tim dituntut untuk mengeluarkan dana besar. PSIS pada musim ini sudah mengaluarkan dana lebih dari Rp5,5 miliar, ini bukan perkara yang mudah.
“Jangankan untuk mengontrak pemain, untuk biaya akomodasi away saja banyak tim kesulitan,” kata Setyo Agung. Kondisi PSIS Semarang tak cukup “ngenes” dibanding Persijap Jepara.Modal Laskar Kalinyamat tahun ini hanya Rp2 miliar, jumlah yang sangat kecil dibanding tim-tim lain di ISL. Soal finansial inilah momok utama apalagi setelah ada larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepakbola. Dana operasional untuk mengarungi satu musim kompetisi cukup besar.
Bertanding dengan format home dan away, memaksa tim harus mengeluarkan biaya fantastis. Pengamat sepakbola yang juga wartawan senior, Gonang Susatyo, mengatakan tim-tim sepakbola selalu mendapatkan kucuran dana segar setiap tahun dari pemerintah, tanpa harus bekerja keras.Kebiasaan buruk ini membuat tim-tim tidak mampu mandiri dalam membiayai operasional mereka selama kompetisi berlangsung.
“Tim yang biasa diberi uang pemerintah, otomatis tidak bisa mandiri, karena mereka tidak terbiasa susah payah mencari uang dan memanfaatkan uang sendiri,” ujar Gonang kepada KORAN SINDO kemarin. Mengapa klub kesulitan keuangan? Mantan General Manajer PSIS Ferdinand Hindiarto mengatakan meski sepakbola sangat strategis sebagai partner dunia usaha, namun mendapatkan sponsor sangat sulit.
“Buktinya Solo dan Kota Semarang sebagai kota besar, juga sulit mencari sponsor. Apalagi kota kecil seperti Magelang, memang sangat dibutuhkan figur yang bisa dipercaya pihak ketiga ” tuturnya. Dunia usaha, menurutnya ingin mendapat kontribusi yang diperoleh jika membantu klub sepak bola. Maka, selama dikelola oleh figur yang profesional dan akuntabel, dan iklim yang bagus dalam sepak bola, dia yakin dunia usaha tidak ragu untuk mendukung.
“Mereka butuh kepastian imbal balik terhadap produknya,” ucapnya. Sedangkan menurut Gonang, perusahaan-perusahan tidak percaya pada pengengelolaan klub karena banyaknya pengurus yang tidak mengetahui dunia sepakbola. Biasanya, pengurus adalah orang suruhan dari penguasa setempat tanpa memperhatikan kapasitasnya dalam mengelola klub olah raga.
Akhirnya, mereka hanya bisa membelanjakan uang untuk membeli pemain dan juga berkompetisi selama satu musim tanpa strategi jangka panjang. Belum lagi masalah mark up saat belanja pemain ketika bursa transfer berlangsung. Para pengurus itu membuat laporan pembelian harga pemain dengan harga tinggi. Padahal sebenarnya hargan pemain itu jauh di bawah harga yang dilaporkan kepada pemerintah.
Persoalan sepakbola Jawa Tengah bertambah runyam dengan buruknya infrastruktur. Banyak klub mengeluhkan kondisi stadion yang kurang memadai. Jika tim berprestasi di kasta yang lebih tinggi, justru dikhawatirkan tidak lolos verifikasi PT Liga Indonesia. Seperti dilema PSIR Rembang. “Stadion Krida Rembang ini sudah hampir 15 tahun tidak diperbaiki. Tidak ada lampu penerangannya, sehingga kami tidak mungkin bisa lolos ISL,” kata Manajer PSIR Siswanto.
Silang sengkarut faktor-faktor itu membuat para pemain dengan kualitas bagus enggan bergabung dengan klub-klub di Jateng. Ahmad Buchori, mantan bek kiri Persijap mengaku masih berpikir ulang untuk kembali bergabung dengan Laskar Kalinyamat musim depan. Dia ingin melihat kesiapan finansial tim terlebih dulu sebelum kembali memutuskan untuk kembali bergabung. “Tentu semua pemain berharap mendapatkan gaji yang tepat waktu, meski tidak terlalu besar,” kata dia.
Para pemain berkualitas hengkang ke klub lain yang berani membayar gaji tinggi. Ini tidak bisa dicegah, karena sepakbola profesional tidak bisa memaksa pemain harus membela klub di daerahnya. “Bambang Pamungkas (PBR), itu dulu pemain Persikas Kabupaten Semarang. Ada juga M Ridwan (Persib) dan Fafa Ariyanto (PBR),” ujar Setyo.
Wasit
Faktor keberpihakan wasit pun menjadi masalah serius yang sampai sekarang disinyalir masih berlangsung. Hal ini diakui oleh salah satu striker tim di Jateng di era 90-an. “Kalau dulu, wasit biasanya memberi penalti, terserah bisa dijadikan gol atau tidak. Kalau sekarang sudah agak mendingan,” tutur Setyo. Setyo menduga, kendati masih berlangsung tapi tidak dilakukan di setiap pertandingan. Sebab, tidak mungkin klub hanya mengurusi masalah nonteknis saja, karena sudah membayar pemain mahal-mahal. “Pembuktiannya sangat susah, padahal indikasi ada,” imbuh pengusaha konstruksi ini.
Wakil Ketua Umum PSSI Jateng Edi Sayudi menyatakan selama ini sudah ada pembinaan terhadap wasit, dan pembekalan serta pemahaman terhadap regulasi.Wasit juga sudah diberi pelatihan fisik, minimal setara dengan pemain sepak bola agar bisa maksimal selama 90 menit.
Pendukung PSIS Galang 10.000 Tanda Tangan
Tak kurang dari 300 suporter PSIS Semarang tadi malam memadati depan kantor Gubernuran di Jalan Pahlawan Kota Semarang. Mereka menggalang 10.000 dukungan tanda tangan sebagai bentuk protes terhadap PSSI yang mencoret PSIS sebagai kontestan Divisi Utama 2014. Pencoretan Mahesa Jenar sangat menyakiti masyarakat Kota Semarang.
“PSIS itu kebanggaan warga Semarang. Kalau sudah dicoret, sama saja melukai hati warga,” kata Ketua Umum Panser Biru, Mario Baskoro, di sela-sela aksi.
Arif purniawan/ Arief setiadi
(ars)