Keluar 1800-an, Bergambar Raja Willem III
A
A
A
Peredaran prangko di Indonesia ternyata telah ada sejak 1800-an. Tahun itu Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan prangko pertama yang beredar khusus di Nusantara.
Seperti apa? Replika prangko pertama kali yang beredar di Indonesia dipamerkan oleh Museum Pos Indonesia pada ajang Museum Mart yang digelar di kompleks Museum Ranggawarsita Semarang. Acara ini digelar hingga 2 November mendatang. Melihat dari replikanya, prangko pertama kali di Indonesia bergambar Raja Willem III, penguasa di era itu. Prangko itu dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dan khusus beredar di Indonesia.
“Prangko asli ada di Museum Pos Indonesia dan hanya berjumlah satu buah,” kata pelaksana Museum Pos Indonesia Dwi Sri kemarin. Selain replika prangko pertama di Indonesia, Museum Pos Indonesia juga memerkan replika prangko pertama di dunia buatan tahun 1840. Prangko itu memuat kata postgaedi bagian atas dan one pennydi bagian bawah. Tulisan one pennymenunjukkan harga nomimal, prangko tersebut dikenal oleh masyarakat luas dengan julukan The Penny Black.
Prangko ini berlatar hitam dan prangko asli disimpan pada museum di Inggris. Dalam pameran tersebut juga dipaparkan metamorfosis bentuk prangko dan ukurannya. Museum Pos Indonesia juga memaparkan sejarah layanan pos dari masa ke masa. Museum yang berdiri sejak 1931 dahulu dikenal dengan nama Museum PTT (Pos, Telepon, Telegrap) terletak di Jalan Cilaki 73, Bandung. Meski demikian, museum ini mulai dibuka untuk umum pada 1983.
Sejak saat itu museum telah berhasil mengubah orientasi pelayanan maupun pengembangan benda-benda koleksi. Koleksi diperluas dengan menambah benda-benda lain, seperti peralatan, visualisasi, diaroma, dan kegiatan layanan pos. Secara keseluruhan ada 131.000 prangko dari 178 negara. Selain koleksi filateli, masih ada replika surat menggunakan tinta emas (golden letter) yang ditulis oleh raja-raja di tahun 1.700. Surat ini disimpan di Inggris dan dipamerkan di sini dalam bentuk duplikat.
Surat antar raja-raja Nusantara yang dikirimkan melalui merpati atau kurir. Surat emas raja-raja memuat pesan, berita dan kebijakan kerajaan masa itu seperti Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Purnawarman. “Bukti otentik ini mengungkapkan bahwa budaya surat menyurat sudah ada sejak dulu,” kata Dewi Sri.
Keberadaan benda-benda koleksi museum diharapkan menggugah kepedulian generasi muda terhadap pelayanan pos. Pesatnya teknologi di bidang informasi memicu pergeseran gaya hidup. Budaya menulis surat semakin tergilas digantikan kecanggihan telepon pintar. “Kegiatan menulis surat, menempel prangko, dan mengirimkan surat sudah mulai jarang dilakukan. Di Bandung (letak Museum Pos Indonesia), ruang edukasi memberi kesempatan untuk praktik,” ungkapnya.
Museum Pos Indonesia dibuka mulai Senin–Jumat pukul 09.0–-16.00 WIB, sedangkan Sabtu mulai buka 09.00–13.00 WIB. Pengunjung museum tidak dibebankan biaya alias gratis. “Keinginan dan minat masyarakat harus dipahami agar museum terus berinovasi dan bukan sekadar menampilkan koleksi benda mati,” kata Kepala Meseum Ranggawarsita Jawa Tengah Steven Timesela.
HENDRATI HAPSARI
Kota Semarang
Seperti apa? Replika prangko pertama kali yang beredar di Indonesia dipamerkan oleh Museum Pos Indonesia pada ajang Museum Mart yang digelar di kompleks Museum Ranggawarsita Semarang. Acara ini digelar hingga 2 November mendatang. Melihat dari replikanya, prangko pertama kali di Indonesia bergambar Raja Willem III, penguasa di era itu. Prangko itu dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dan khusus beredar di Indonesia.
“Prangko asli ada di Museum Pos Indonesia dan hanya berjumlah satu buah,” kata pelaksana Museum Pos Indonesia Dwi Sri kemarin. Selain replika prangko pertama di Indonesia, Museum Pos Indonesia juga memerkan replika prangko pertama di dunia buatan tahun 1840. Prangko itu memuat kata postgaedi bagian atas dan one pennydi bagian bawah. Tulisan one pennymenunjukkan harga nomimal, prangko tersebut dikenal oleh masyarakat luas dengan julukan The Penny Black.
Prangko ini berlatar hitam dan prangko asli disimpan pada museum di Inggris. Dalam pameran tersebut juga dipaparkan metamorfosis bentuk prangko dan ukurannya. Museum Pos Indonesia juga memaparkan sejarah layanan pos dari masa ke masa. Museum yang berdiri sejak 1931 dahulu dikenal dengan nama Museum PTT (Pos, Telepon, Telegrap) terletak di Jalan Cilaki 73, Bandung. Meski demikian, museum ini mulai dibuka untuk umum pada 1983.
Sejak saat itu museum telah berhasil mengubah orientasi pelayanan maupun pengembangan benda-benda koleksi. Koleksi diperluas dengan menambah benda-benda lain, seperti peralatan, visualisasi, diaroma, dan kegiatan layanan pos. Secara keseluruhan ada 131.000 prangko dari 178 negara. Selain koleksi filateli, masih ada replika surat menggunakan tinta emas (golden letter) yang ditulis oleh raja-raja di tahun 1.700. Surat ini disimpan di Inggris dan dipamerkan di sini dalam bentuk duplikat.
Surat antar raja-raja Nusantara yang dikirimkan melalui merpati atau kurir. Surat emas raja-raja memuat pesan, berita dan kebijakan kerajaan masa itu seperti Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Purnawarman. “Bukti otentik ini mengungkapkan bahwa budaya surat menyurat sudah ada sejak dulu,” kata Dewi Sri.
Keberadaan benda-benda koleksi museum diharapkan menggugah kepedulian generasi muda terhadap pelayanan pos. Pesatnya teknologi di bidang informasi memicu pergeseran gaya hidup. Budaya menulis surat semakin tergilas digantikan kecanggihan telepon pintar. “Kegiatan menulis surat, menempel prangko, dan mengirimkan surat sudah mulai jarang dilakukan. Di Bandung (letak Museum Pos Indonesia), ruang edukasi memberi kesempatan untuk praktik,” ungkapnya.
Museum Pos Indonesia dibuka mulai Senin–Jumat pukul 09.0–-16.00 WIB, sedangkan Sabtu mulai buka 09.00–13.00 WIB. Pengunjung museum tidak dibebankan biaya alias gratis. “Keinginan dan minat masyarakat harus dipahami agar museum terus berinovasi dan bukan sekadar menampilkan koleksi benda mati,” kata Kepala Meseum Ranggawarsita Jawa Tengah Steven Timesela.
HENDRATI HAPSARI
Kota Semarang
(ars)