Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidilharam (Bagian-1)

Jum'at, 31 Oktober 2014 - 05:10 WIB
Ulama Indonesia yang...
Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidilharam (Bagian-1)
A A A
TENTU, tidak sembarang orang bisa menjadi imam Masjidilharam. Pasti, memiliki keistimewaan dan keutamaan khusus dalam segala hal. Cerita Pagi kali ini, akan mengisahkan dua ulama besar dari Indonesia yang pernah menjadi imam masjid yang di dalamnya terdapat Kakbah, kiblat bagi umat Islam di seluruh Indonesia.

Orang istimewa itu adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi.

Pada bagian pertama ini, Cerita Pagi sedikit mengisahkan siapa sebenarnya Syekh Khatib (Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi). Dikisahkan, Syekh Khatib lahir Senin, 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat hari Senin, 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).

Syekh Khatib merupakan orang pertama dari Indonesia yang menjadi imam Masjidilharam, setelah itu orang kedua yang menjadi imam Masjidilharam adalah Syekh Nawawi (Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi).

Bukan hanya imam, Syekh Khatib juga pernah menjadi khatib dan guru besar di Masjidilharam, sekaligus Mufti (ulama Makkah yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) Mazhab Syafi'i pada akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20.

Dia memiliki peranan penting di Makkah Al-Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia. Terkait kisah pengangkatan Syekh Khatib menjadi imam Masjidilharam, ada dua riwayat (pendapat) yang berbeda.

Riwayat pertama disampaikan oleh Umar Abdul Jabbar dalam kamus tarajim-nya, Siyar wa Tarajim (Hal. 39). Umar Abdul Jabbar mencatat, bahwa jabatan imam dan khatib itu diperoleh berkat permintaan Syekh Shalih Al-Kurdi (mertua Syekh Khatib) kepada Syarif ‘Aunur Rafiq, agar berkenan mengangkat Syekh Khatib menjadi imam & khatib.

Sedangkan riwayat kedua disampaikan oleh Prof Dr Buya Hamka dalam buku karangannya, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, yang kemudian dinukil oleh Dr Akhria Nazwar dan Dadang A Dahlan.

Buya Hamka menyebutkan sebuah cerita Abdul Hamid bin Ahmad Al-Khathib (putra Syekh Khatib), ketika dalam sebuah salat berjamaah yang diimami langsung Syekh Syarif Aunur Rafiq. Pada saat salat, ternyata ada bacaan imam yang salah.

Mengetahui hal ini, Syekh Khatib yang ketika itu juga menjadi makmum, berusaha membetulkan bacaan imam. Setelah salat, Syekh Syarif Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi.

Lalu ditunjukkannya Syekh Khatib, yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Syekh Shalih Al-Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya, Syarif Aunur Rafiq mengangkat Syekh Khatib sebagai imam dan khatib Masjidilharam untuk Madzhab Syafi’i.

Syekh Khatib memiliki nama lengkap Al-Allamah Asy-Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al-Khathib Al-Minangkabawi Al-Jawi Al-Makki Asy- Syafi’i Al-Atsari Rahimahullah.

Syekh Khatib lahir di Koto Tuo, Kenagarian Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), tepatnya hari Senin, 6 Dzulhijjah 1276 H (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah hari Senin, 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) dalam usia 56 tahun.

Ibunya, bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama Abdul Lathif yang berasal dari Koto Gadang. Kakeknya bernama Abdullah (dalam riwayat lain Abdullah adalah buyutnya), merupakan seorang ulama kenamaan. Abdullah ditunjuk oleh masyarakat Koto Gadang sebagai imam dan khatib. Sejak itulah gelar Khatib Nagari melekat di belakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.

Ketika masih di kampung kelahirannya, Syekh Khatib kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School dan tamat 1871 M.

Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda, Syekh Khatib kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari ayahnya, Syekh Abdul Lathif. Dari sang ayah pula, Syekh Khatib kecil menghafal Alquran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Pada tahun 1287 H, Syech Khatib kecil diajak oleh ayahnya ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, sang ayah kembali ke Tanah Air, sementara Syekh Khatib tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Alquran-nya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah, terutama yang mengajar di Masjidilharam.

Di antara kebiasaan Syekh Khatib di Makkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik Syekh Shalih Al-Kurdi yang terletak di dekat Masjidilharam untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja, jika belum memiliki uang untuk membeli.

Karena seringnya Syekh Khatib mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Syekh Shalih Al-Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian, dan penguasaannya terhadap ilmu agama, serta keshalihannya.

Ketertarikannya itu dibuktikan dengan menjadikan Syekh Khatib sebagai menantu oleh Syekh Shalih Al-Kurdi. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syekh Khatib, Syekh Shalih Al-Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya yang menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar bernama Khadijah.

Sebenarnya Syekh Khatib sempat ragu menerima tawaran dari Syekh Shalih Al-Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi (bahkan telah mengatakan terus terang terkait hal ini), tetapi tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Syekh Shalih Al-Kurdi untuk menjadikannya sebagai menantu.

Bahkan Syech Shalih Al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan, termasuk mahar, dan kebutuhan hidup keluarga Syekh Khatib. Jika karena bukan kepribadian Syekh Khatib yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.

Tentang pengambilan Syekh Khatib sebagai menantu Syekh Shalih Al-Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya dengan terheran-heran kepada Syekh Shalih Al-Kurdi, “Aku dengar Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa arab, kecuali setelah belajar di Makkah?”

“Akan tetapi, ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Syekh Shalih Al-Kurdi seketika. “Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia,” imbuh Syaikh Shalih.

Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syekh Khatib dikaruniai seorang putra, yaitu Abdul Karim (1300-1357 H). Ternyata pernikahan Syekh Khatib dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.

Syekh Shalih Al-Kurdi, sang mertua, meminta kembali agar Syekh Khatib untuk menikah kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Alquran yang baik.

Oleh karena itu, tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu Abdul Malik Al-Khatib dan Abdul Hamid Al-Khatib. Abdul Malik sebagai ketua redaksi koran Al-Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al-Hasyimiyyah (Yordan).

Sedangkan, Abdul Hamid Al-Khatib, seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjidilharam dan duta besar Saudi Arabia untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al-Khathib Al-Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Al-Imam Al-Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)

Pertama kali di Makkah, dia berguru dengan beberapa ulama terkemuka, seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makkiy.

Selain itu, Syekh Khatib juga memiliki murid. Kelak, di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah dari Buya Hamka; Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi; Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang; Syekh Abbas Qadhi, Ladang Lawas, Bukittinggi.

Selain itu, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki; Syekh Khatib Ali Padang; Syekh Ibrahim Musa Parabek; Syekh Mustafa Husein; Purba Baru, Mandailing, dan Syekh Hasan Maksum, Medan. K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga merupakan murid dari Syekh Khatib.

Syekh Khatib
adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-20. Dia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Syekh Khatib juga seorang ilmuwan yang menguasai Ilmu Fiqih, Sejarah Islam, Al-Jabar, Ilmu Falak, Ilmu Hitung, dan Ilmu Ukur (geometri).

Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya Syal-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syekh Ahmad yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.

Selain masalah Teologi, dia juga pakar dalam Ilmu Falak. Hingga saat ini, llmu Falak digunakan untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal, perjalanan matahari, termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan, dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi, dan lainnya.

Syekh Khatib juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar.

Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat Al-Hussab dan Alam Al-Hussab. Karya-karya tulis Syekh Khatib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab.

Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan Alquran & Sunnah.

Karya-karya Syekh Khatib dalam bahasa arab antara lain, Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli; Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah; Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’; Raudhatul Hussab; Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz; As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir dan puluhan karya lainnya.

Sumber: wikipedia (diolah dari berbagai sumber)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0833 seconds (0.1#10.140)