Kabinet Kerja Diminta Tuntaskan Masalah Daerah

Selasa, 28 Oktober 2014 - 16:37 WIB
Kabinet Kerja Diminta Tuntaskan Masalah Daerah
Kabinet Kerja Diminta Tuntaskan Masalah Daerah
A A A
SEKAYU - Pascapelantikan menteri, Kabinet Kerja diharapkan dapat menuntaskan berbagai persoalan hingga ke daerah, salah satunya permasalahan ilegal mining dan ilegal driling, serta agraria.

Harapan tersebut disampaikan Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi kepada KORAN SINDO PALEMBANG, kemarin. Harapan tersebut, sangat beralasan mengingat kondisi pengelolaan migas, terutama sumur-sumur tua di daerah termasuk Musi Banyuasin yang banyak menimbulkan konflik dalam kehidupan masyarakat.

Hal serupa juga terjadi dalam bidang agraria, masyarakat banyak dihadapkan pada posisi atau situasi yang dilematis dalam pemanfaatan kawasan hutan.

“Kita berharap Kabinet Kerja yang dibentuk oleh presiden dapat bekerja keras. Salah satunya persoalan migas yang harus lebih pro pada daerah,” ujar Beni di Sekayu, kemarin.

Menurut Beni, daerah harus diberikan peran yang lebih dalam melakukan pengelolaan migas, jangan hanya dibiarkan menjadi penonton. “Jangan daerah hanya jadi penonton, kita minta dibenahi. Kabinet Kerja Jokowi itu harus blusukan ke lapangan, lihat keadaan seperti bagaimana kondisi sumur tua. Serta lihat juga bagaimana persoalan agraria dan tata ruang, seperti kawasan hutan yang saat ini terus menimbulkan konflik,” beber dia.

Sementara itu, melihat postur kabinet dan profil orang-orang di kabinet pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Herman Deru merasa optimistis bisa memacu pembangunan negeri ini.

“Pembangunan di Sumsel tentu tetap ada (pengaruh) karena pem bangunan di suatu daerah tidak terlepas dari program pembangunan nasional sehingga tentu akan ada dampaknya pada kemajuan pembangunan di setiap daerah,” ungkapnya.

Setiap daerah, menurutnya sudah ada rencana atau program pembangunan. Untuk itu yang dibutuhkan bagaimana menyinkronisasikan program yang ada di daerah dengan pemerintah pusat. “Jelas ada pengaruhnya dengan kemajuan pembangunan di daerah,” katanya lagi.

Sementara itu, formasi kerja pimpinan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menuai kekecewaan. Hal ini di antaranya terkait dengan proposi kabinet yang dianggap tidak adil dan masih ketalnya nuansa kompromi. Kekecewaan ini disampaikan kalangan internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan kalangan Muhammadiyah.

Dari internal PDIP kekecewaan terjadi karena kabinet hanya me ngakomodir empat kader partai, sama dengan jumlah kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). “Saya banyak dapat masukan dari kader di daerah tentang formasi dari jumlah orang di ka binet kalau dibandingkan dengan perolehan suara di DPR RI. Masukan yang menyatakan tidak puas dalam komposisi seperti itu,” kata anggota DPR dari Fraksi PDIP TB Hasanuddin, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurut purnawan TNI bintang dua ini, semestinya kabinet mempertimbangkan proposionalitas. Seperti diketahui, kursi PDIP di DPR sebanyak 109, PKB 47 kursi, Partai Nasdem 32 kursi, dan Hanura 16 kursi. “Maunya pro porsional dong kalau kader di daerah itu. PDIP misalnya, tak sama dong dengan PKB. Dia 4 kami 4. Saya jujur apa yang saya sampaikan sesuai masukan sejak kemarin sampai 5 menit lalu,” ungkapnya.

Walapun kecewa, Hasanuddin menegaskan bahwa Presiden Jokowi punya hak prerogatif untuk menentukan susunan dan kom posisi kabinetnya yang harus dihormati dan dihargai. Bagi PDIP, kata dia, yang terpenting sekarang bagaimana kader yang duduk di kabinet bisa ikut berperan mengimplementasikan visi misi pemerintahan Jokowi. Dengan begitu, kata dia, maka rakyat akan melihat bagaimana kesungguhan pengabdian partainya, yang nantinya membuahkan hasil kemenangan di Pemilu 2019 mendatang. “Format ini harus dijaga, ada banyak anggota kabinet dari kami, agar pemilu 2019 menang lagi dalam mengaplikasikan Trisakti itu,” ujarnya.

Seperti diketahui, empat kader PDIP yang masuk Kabinet Kerja adalahSekjen Tjahjo Kumolo sebagai Menteri Dalam Ne geri, Ketua Fraksi PDIP di DPR Puan Maharani sebagai Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Yasonna H Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM, dan AAGN Puspayoga sebagai Menteri Koperasi dan UMKM.

Sebelumnya, diprediksikan kader yang masuk kabinet mencapai 7 atau setidaknya 6 orang. Namun, belakangan beberapa nama yang sebelumnya diproyeksikan masuk justru terpental. Mereka antara lain Pramono Anung, Maruarar Sirait, dan Eva K Sundari. Untuk nama Maruarar bahkan masih tertera dalam daftar calon menteri yang beredar ke publik di hari pelantikan. Kepastian bahwa nama Maruarar yang sebelumnya didapuk sebagai Menkominfo menghilang ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa yang menduduki posisi Menkominfo adalah Rudiantara.

Sementara itu, dalam rapat pleno Fraksi PDIP kemarin, Pramono Anung dan Maruarar tidak hadir. Namun, Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto mengatakan, ketidakhadiran Maruarar sudah menyampaikan izin karena ada keperluan. Sementara untuk ketidakhadiran Pramono, Bambang tidak menjelaskannya. Dia juga enggan berspekulasi perihal pernyataan Pramono Anung sebelumnya yang mengatakan bahwa dirinya tidak masuk di kabinet karena mendapatkan tugas lain dari Megawati. Yang pasti, kata Bambang, rapat pleno fraksi tak membahas mengenai orang atau kader per kader. Melainkan bagaimana sikap fraksi agar dalam melihat dinamika politik terkini punya kesamaan persepsi.

“Teman-teman PDIP ini harus mendapat info aktif dari perkembangan politik saat ini. Supaya ada pemahaman yang sama, supaya nanti suaranya sama, nanti kalau ditanya ngomongnya enggak ke sana kemari. Agar kami bisa satukan persepsinya,” katanya.

Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo eng gan menanggapi mengenai wacana yang berkembang di publik, khususnya mengenai posisi Maruarar dan Pramono yang tidak masuk dalam Kabinet Kerja Pre siden Jokowi. Menurut Tjahjo, semua yang berangkat dari partai pintunya hanya satu yakni melalui mekanisme partai yang diputuskan oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. “Itu kan partai mengusulkan, masuk atau tidak tergantung partai. Semua lewat partai dahulu. Ini kan partai ada aturan mekanisme sendiri dong,” katanya.

Adapun mantan Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, Andi Widjajanto, menegaskan dirinya legowo tidak menjadi menteri di Kabinet Kerja. Putra politikus senior PDIP, Theo Syafei, tersebut tidak seberuntung Rini Soemarno dan Anies Baswedan, mantan anggota tim transisi Jokowi-JK yang didapuk menjadi pembantu presiden. ’’Saya tidak dapat (menteri). Saya tidak jadi apa-apa kok,” kata Andi di Kompleks Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.

Usai kesibukan mengurusi transisi pemerintah, pakar politik dan militer ini mengaku akan berlibur ke Australia hingga Natal dan Tahun Baru. “Saya mau liburan ke Australia dan Selandia Baru sampai Natal,” terangnya. Sebelumnya, nama Andi sempat digadang-gadang untuk sejumlah posisi seperti sekretaris kabinet atau menteri pertahanan.

Dari kalangan Muhammadiyah, walaupun tidak mempersoalkan proporsi kabinet, mereka memprihatinkan komposisi kabinet diisi oleh orang-orang yang bermasalah, baik yang terindikasi terlibat kasus korupsi maupun kasus HAM.

Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Benny Pra mula menegaskan pihaknya mengambil sikap untuk terus melakukan pengawalan terhadap kabinet kerja tersebut yang disebutnya berpotensi merugikan masyarakat.

“Secara tegas sebagai bentuk pengawalan kami akan melakukan kontrol sosial dan menolak kabinet yang dibentuk karena masih ada beberapa tokoh yang tidak bersih dari korupsi dan pelanggan Ham,” ujar Benny saat menyampaikan sikap resmi IMM di Kantor Muhammadiyah Jalan Menteng Raya Jakarta kemarin.

Ketua bidang Hikmah DPP IMM Taufan Karompo juga berpendapat bahwa ada sejumlah kebohongan pemerintahan Jokowi- JK dalam menjalankan roda pemerintahannya. Pertama janji ingin menghadirkan kabinet ramping yang selalu didengungkan keduanya kepada masyarakat ternyata tidak terbukti dan lebih pada kabinet transaksional. “Jokowi berjanji akan menempatkan kabinet dari para ahli dan profe sional, tapi hanya wacana, karena dalam praktiknya hanya tes logika dan bagi-bagi kekuasaan,” ucapnya.

Taufan juga menyindir wacana revolusi mental yang disebut bisa mengubah kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Menurutnya hal itu akan sulit dilakukan, sementara Jokowi-JK justru memasukkan orang-orang beraliran neo liberal di kabinetnya. “Kita mendukung kabinet Jokowi-JK yang pro rakyat bukan pro coorporate. Pembentukan kabinet seharusnya langkah awal pembuktian pro rakyat, peduli wong cilik, tapi ternyata menterinya berhaluan neo liberal,” sesalnya.

Sekretaris PP Muhamadiyah Abdul Mu’ti yang disebut-sebut kandidat menteri dari ormas Islam terbesar kedua di Tanah Air tersebut mengaku tidak ingin berspekulasi lebih jauh mengapa dirinya tidak terpilih di dalam kabinet. Menurutnya, semua keputusan penentuan menteri ada di tangan presiden dan menjadi hak prerogatif kepala negara. “Nama saya munculkan hanya di sejumlah penelitian lembaga survei dan saya tidak tahu apa pertimbangan presiden dalam mentukan menterinya karena itu hak prerogatifnya,” ucap Mu’ti.

Dia menandaskan, penentuan menteri juga hanyalah bagian dari sistem pemerintahan yang dibangun lima tahun ke depan. Oleh karenanya, tentu ada berbagai macam pemikiran untuk memilih menteri. Namun Mu’ti mempertanyakan komitmen Jokowi-JK dalam membangun kabinet profesional tanpa mengedepankan kontrak politik serta tanpa tekanan partai. Sebab, nyatanya kedua hal itu justru dilanggar dengan merekrut orang orang yang tidak sesuai kompetensinya serta hanya berdasarkan kebutuhan jatah partai. “Sekarang bisa kita lihat parpol pengusung dapat jatah dan partai juga menyodorkan nama-nama dari jajaran pengurus partainya,” ujar Mu’ti.

Akibatnya menurut Mu’ti ada sejumlah pos kementerian bukan diisi orang yang sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Kondisi ini bisa berdampak pada ti dak maksimalnya program kerja pemerintah. “Akademik dan trek record-nya tidak diperhatikan, asal masuk yang penting mengakomodir,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik dari Indo Barometer M Qodari menilai, wajar PDIP kecewa karena selama ini diwacanakan lebih, yakni antara 6 atau 7 kursi. Jadi, kekecewaan tersebut bisa dipahami, apalagi bagi nama-nama yang sebelumnya masuk dalam daftar yang dispekulasikan masuk kabinet. “Bisa dipahami, dalam konteks kader PDIP yang mestinya bisa masuk juga kok ternyata karena hanya empat, maka tidak masuk,” kata Qodari.

Qodari sendiri merasa kaget dengan porsi PDIP yang hanya 4 kursi, sementara untuk partai lain tetap dengan porsinya, yakni PKB 4 kursi, Nasdem 3 kursi, dan Hanura 2 kursi serta belakangan PPP mendapatkan 1 kursi. Menurut dia, bisa jadi berkurangnya por si PDIP tidak disadari mengingat keluar masuknya nama calon menteri begitu intens. “Jadi, sangat mungkin juga itu baru disadari ketika sudah diumumkan,” ujarnya. Kemungkinan lain, hal itu memang sudah disadari karena di luar 4 kursi itu juga ada menteri yang kadar kedekatannya dengan PDIP, seperti Rini Soemarno.

Heri Budianto dari Universitas Mercu Buana menilai namanama menteri yang menduduki kursi Kabinet Kerja Jokowi-JK kurang ideal dan sarat dengan kom promi politik. “Walau dipoles dengan istilah profesional dan profesional parpol tetap aroma kompromi politik tak bisa dilepaskan,” ujarnya.

Dia menunjuk tampilnya sejumlah elite parpol yang diangkat menjadi menteri, terutama dari PDIP sebagai pemilik saham terbesar. Menurut dia, munculnya nama Puan Maharani, Rini Sumarmo, Tjahjo Kumolo membuktikan bahwa Megawati Soekarnoputri masih sangat berpengaruh dalam penyusunan kabinet. “Terutama nama Puan dan Rini, saya melihat ini digaransi Bu Mega. Kedua memiliki posisi strategis,” katanya.

Direktur Utama Polcomm Institute ini lantas mengatakan bahwa ekpektasi presiden terhadap kabinetnya terlalu tinggi. Hal itu bisa dilihat dari beberapa aspek pertama, penamaan kabiner “Kerja” itu tentu memiliki makna sangat aplikatif.

Kedua, pernyataan presiden ketika memperkenalkan menterinya satu per satu lengkap dengan latar belakang dan harapan, juga menunjukkan ekspektasi yang tinggi. “Kadang ada menteri yang dipuji berlebihan, nah ini tentu menjadi beban jika ternyata menteri yang bersangkutan tersebut tidak mampu bekerja.”

Meski demikian, cara Jokowi mengumumkan dan memperkenalkan para menterinya merupakan tradisi baru yang bangun, karena sangat berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. “Kesan yang ingin dibangun santai dan natural, tapi substansi pernyataan tampak tanpa persiapan,” ucapnya.

Rahmat S/ Sucipto/ Okezone.com/ant/ Dadang D/ Amarullah
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5573 seconds (0.1#10.140)