Anak Pulau Itu Tidak Senang Berebut

Selasa, 28 Oktober 2014 - 16:15 WIB
Anak Pulau Itu Tidak...
Anak Pulau Itu Tidak Senang Berebut
A A A
MAKASSAR - Anak pulau itu tidak senang berebut . Itulah kalimat terakhir yang dilontarkan seniman Asdar Muis RMS dalam pemetasan Kabar dari Pulau di acara Sastra Kepulauan VIII di Fort Rotterdam. Tidak ada yang menyadari bahwa itulah panggung terakhir pria kelahiran Pangkep 13 Agustus 1963 itu, meski dia sudah memberi tanda “perpisahan.”

Sebelum waktunya tampil, Asdar meminta kepada panitia agar penampilan dia dipercepat karena dia merasa kedinginan. Saat membacakan essainya, properti yang dipegangnya sempat terjatuh, namun dia pun menanggapinya dengan kelakar khasnya. Asdar berdalih hal itu karena dia kelamaan menunggu untuk tampil.

Mantan Direktur Pemberitaan Pedoman Rakyat ini sebelum pentas, juga melakukan hal yang tidak lazim, yakni dia makan. Padahal sebelum-sebelumnya, Asdar tidak pernah makan sebelum pentas, tapi lebih banyak minum.

Namun malam itu, Asdar memilih untuk makan. Tidak ada yang menyadari pertanda itu. Setelah tampil, dia sempat membagikan buku kepada semua orang. Kini, seniman, penulis, wartawan senior Sulsel itu telah tiada. Asdar berpulang ke rahmatullah di usia 51 tahun meninggalkan seorang istri Herlina dan dua orang anak yakni A Muhammad Yusran Lologau (anak angkat) dan Irma. Yusran, yang biasa disapa Aso, menceritakan, sebelum berpisah Minggu malam itu, Asdar memintanya memeluk dan mencium pipinya.

“Bapak bilang, sini peluk bapak dan cium kedua pipi bapak,” kisahnya.

Menurut Yudistira, sahabatnya, usai tampil, Asdar muntah-muntah. Melihat kondisi itu, dia dibawa ke Rumah Sakit Pelamonia. Di ruang gawat darurat pun, pendiri Komunitas Sapi Berbunyi ini masih sempat bercanda dengan perawat. “Dia minta digelitik agar bisa menemukan nadinya,” kenang Yudistira yang merupakan rekan Asdar di Sanggar Merah Putih.

Setelah itu, Asdar meminta dipanggilkan anak sulunya, Aso. Saat dipertemukan dengan anak sulungnya itulah kemudian denyut jantung Sang Maestro Essay berhenti dalam dekapan anaknya.

“Hal yang selalu disampaikan bapak ke saya untuk tidak sombong, berbuat baik ke setiap orang dan senantiasa menjaga nama baik keluarga. Bahkan, bapak pernah menyampaikan jika kehilangan bapak itu sama dengan kehilangan kehormatan, kehilangan ibu sama dengan kehilangan kasih sayang. Dan saat ini, saya sudah kehilangan kehormatan, makanya amanah bapak untuk senantiasa menjaga ibu dan adik-adik akan saya wujudkan untuk menjaga wejangan beliau,” tutur anggota DPRD Pangkep ini.

Kemarin, Asdar disemayamkan di rumah duka di Pontiku Jalan Ujung Pandang Baru No 6 yang selanjutnya dimakamkan di Desa Bungoro, Salebbu Tonasa II, Kabupaten Pangkep.

Dalam kesehariannya, Pria yang suka memakai celana pendek ini tak pernah luput dari kegiatan teater. Bahkan, dia merancang rumahnya di Bukit Hartaco Indah Blok 2A/29 Sudiang Raya, Biringkanaya, menjadi seperti panggung. Ia membuat semacam mezanin yang cukup luas di atas ruang tengah rumahnya. Mezanin dengan tangga kayu itu di gunakannya sebagai panggung utamanya.

Sementara, ruang tengahnya digunakan sebagai tempat duduk untuk penontonnya. Sejak awal 1984, Asdar Muis menambahkan RMS pada namanya, yang merupakan singkatan dari Rachmatiah Muis Sanusi. Penggabungan nama dari kedua orangtuanya.

“Sembilan dari 11 buku yang telah saya keluarkan itu melalui hasil editornya dia (almarhum). Dia paling paham apa yang ingin saya tuangkan dalam tulisan,” jelas Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo yang datang melayat di rumah duka.

Syahrul mengungkapkan rasa dukanya atas kehilangan sosok sahabat, guru, dan kerabat yang baik yang bisa diandalkan kesetiaan dan kejujurannya.

“Siapa yang menaburkan kecintaan, dia akan menuai persahabatan. Dan kehadiran kita bukan karena status, kehadiran kita adalah karena keterpanggilan nurani atas nama persahabatan dan kecintaan. Asdar Muis telah mewariskan legenda. Ada hal-hal yang diajarkan pada kita, ada jejak yang telah dia torehkan,” kata Syahrul.

Mantan Bupati Gowa ini menuturkan, jika dua hari lalu dirinya masih sempat siaran live bersama di Radio Suara Celebes. Dia menceritakan jika dia pernah “marah” melihat pola hidupnya yang tidak teratur.

“Saya mengatakan, suatu saat kamu akan mati Dar kalau begitu cara hidupmu. Kau harus berobat. Beliau mengatakan, kalau saya mati, jangan terlalu sedih di sekitar saya, nanti saya ikut sedih, kalau bisa orang di sekitar saya ikut tertawa. Permintaan ini rasanya sulit bagi saya untuk bisa kami wujudkan karena kecintaan kita pada almarhum,” tutur Syahrul.

Diketahui Asdar selama ini mengidap penyakit gula darah dan darah tinggi. Asdar memilih pengobatan herbal.

Bupati Pangkep Syamsuddin Hamid menilai, Asdar bukan hanya sekadar keluarga dekat, tapi juga seorang budayawan yang melestarikan kesenian di Pangkep.

Seniman Muhary Wahyu Nurba menilai, Asdar adalah teman berkelahinya dalam berpendapat dan teman curhat saat kesepian.

“Tentu saja kita kehilangan, tetapi sebagai seorang seniman, dia mengerjakan tugas-tugasnya dengan caranya sendiri, menyampaikan kebaikan-kebaikan kepada kita semua, dia memberi sesuatu yang tentu saja dengan caranya yang tidak biasa. Mengingatkan kita agar tetap waras untuk terus menjaga kehidupan,” tambahnya.

Ram Asia Prapanca menilai, Asdar melahirkan konsep Teater Legislatif, sebuah konsep bebas mengemukakan pendapat, ide atau gagasan. “Setiap ulang tahun pernikahannya, kami selalu diundang ke rumahnya di Daya untuk baca puisi, main musik, tari, dan teater sambil menikmati hidangan ikan laut, cumi, udang, dan lain-lain. Asdar suka curhat ke saya tentang keadaan persahabatannya, baik utuh maupun ada sedikit retak. Dia sahabat baik kita semua. Kadang marah kadang lembut, tapi dia sangat jujur,” ujarnya.

Wali Kota Makasar Moh Ramdhan Pomanto juga memiliki kesan mendalam terhadap sosok Asdar. Bahkan, Danny, sapaan akrabnya, menjuluki Asdar sebagai pahlawan pembangunan Losari. Rencana reklamasi yang kekurangan dana, awalnya tidak mendapat respon dari Presiden RI Megawati Soekarno Putri.

Essai yang dibacakan Asdar pun mampu meluluhkan hati seorang Megawati yang kemudian menyetujui pencairan anggaran Rp50 miliar.

“Saya bisa katakan sosok Asdar tidak ada duanya, lewat essaynya dia banyak membantu pemerintah,” tuturnya.

Asdar Muis menempuh pendidikan di Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta, S1 Fisipol Unhas, dan S2 Sosiologi Pascasarjana Unhas.

Dia bergabung dengan Sanggar Merah Putih Makassar. Dia juga menjelajah di berbagai media di Indonesia, seperti Harian Fajar, Pedoman Rakyat, Manado Pos, Majalah Tempo, Harian Jakarta, Tabloid Harian Suaka Metro Jakarta, Tabloid Anak Gita, Suara Metro Jakarta, dan Harian Nusantara Bali Jakarta.

Dia juga aktif sebagai penulis buku, antara lain Sepatu Tuhan dan Tuhan Masih Pidato.

Najmi S Limonu/ Suwarny Dammar/ Jane Saturi
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1177 seconds (0.1#10.140)