Larangan Menyirih di Era Gerakan Paderi
A
A
A
MENGUNYAH sirih atau menyirih merupakan kebiasaan yang dilakukan perempuan Minangkabau. Tapi, di era gerakan Paderi, kebiasaan menyirih dilarang. Kenapa?
Cerita Pagi kali ini akan membahas tentang kebiasaan menyirih hingga larangan menyirih yang terjadi di era gerakan Paderi atau ada juga yang menulisnya gerakan Padri.
Menyirih atau bersugi adalah kegiatan mengunyah sirih yang dicampur dengan pinang, gambir, dan chunam (kapur gamping yang dibuat dari kulit kerang yang dipanggang). Dapat pula ditambahkan tembakau yang dirajang halus sebelum digunakan dan ditahan antara bibir dengan gigi barisan atas.
Hasil pengunyahan ketiga bahan pertama di atas adalah cairan yang membuat air ludah menjadi merah terang, yang tidak bisa dihasilkan sirih dan pinang tanpa bantuan chunam.
Menurut William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra (Komunitas Bambu, 2013), warna yang dipindahkan ke mulut dan bibir ini dipandang sebagai hiasan; sementara aromanya memberikan bau napas yang disukai. Biasanya, cairan ini (setelah fermentasi pertama yang dihasilkan oleh gamping) walaupun tidak selalu, ditelan oleh pengunyah sirih.
Nah, kebiasaan mengunyah sirih itu juga dilakukan kaum perempuan Minangkabau. Tujuannya, menjaga kesehatan gigi. Kebiasaan itu dilakukan jauh sebelum gerakan modernisasi Islam pertama berlangsung di Minangkabau.
Kepada Sindonews.com, pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif mengatakan, kebiasaan memakan sirih ini sempat terhenti ketika gerakan Paderi mengusung konsep wahabi, yang meminta setiap orang untuk meninggalkan kebiasaannya itu (menyirih).
Gerakan Paderi adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam kehidupan tatanan beragama dan kemasyarakatan di minangkabau yang dimulai pada tahun 1803 hingga tahun 1821.
Dalam menyebarkan pemikirannya, kaum Paderi mengundang golongan adat dan pemuka masyarakat dalam sebuah pertemuan di Bukit Kamang. Tuanku Nan Renceh, salah seorang tokoh gerakan Paderi, dalam dakwahnya mengajak golongan adat dan pemuka masyarakat untuk menjalankan perintah agama dan meninggalkan kebiasaan merokok, makan sirih, madat, minum tuak, sabung ayam, dan berjudi.
Di akhir dakwahnya, Tuanku Nan Renceh mengeluarkan ultimatum hukuman mati terhadap orang yang melanggar aturan syariat Islam.
Ancaman itu tidak sekadar wacana. Tuanku Nan Renceh membuktikan pada keluarganya sendiri. Ia menyuruh salah seorang anaknya untuk membunuh bibinya karena kedapatan makan sirih. Sejak peristiwa tersebut, perempuan Minangkabau pun meninggalkan kebiasaan menyirih.
Kebiasaan menyirih kembali dilakukan setelah berakhirnya perang Paderi. Bahkan, ketika gerakan modernisasi Islam jilid 2 yang dipelopori Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Djamil Djambek, dan lainnya, kebiasaan menyirih ini tetap berlangsung di kalangan penganut Islam tradisional.
Terlepas dari larangan menyirih yang terjadi di era gerakan Paderi di atas, menyirih merupakan kebiasaan yang dilakukan sejak lama. William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra (Komunitas Bambu, 2013) menuliskan bahwa orang-orang Sumatera secara umum selalu membawa bahan-bahan menyirih bersamanya dan menyuguhkannya kepada para tamu di setiap kesempatan.
Para pangeran menyimpan dalam wadah emas, sedangkan orang miskin menyimpannya dalan kotak tembaga atau tas tikar. Wadah sirih milik golongan atas biasanya dibuat dari perak yang dihiasi oleh gambar-gambar kasar.
Wadah ini berisi sejumlah wadah yang lebih kecil, dipasang menyudut secara pas untuk menampung pinang,daun sirih. Dan chunam-kapur gamping yang dibuat dari kulit yang dipanggang. Satu set alat ini dilengkapi dengan wadah untuk menyimpan alat (kachip) yang digunakan memotong pinang dan spatula untuk mengoleskan kapur gamping.
Setelah penghormatan pertama diberikan, sirih disajikan sebagai tanda keramahan dan tindakan kesopanan. Akan dianggap sebagai penghinaan jika seseorang yang lebih rendah kedudukannya berbicara kepada seseorang yang tinggi kedudukannya tanpa mengunyah sirih sebelum dia bicara.
Demikian Cerita Pagi hari ini. Semoga menambah pengetahuan pembaca setia Cerita Pagi.
Cerita Pagi kali ini akan membahas tentang kebiasaan menyirih hingga larangan menyirih yang terjadi di era gerakan Paderi atau ada juga yang menulisnya gerakan Padri.
Menyirih atau bersugi adalah kegiatan mengunyah sirih yang dicampur dengan pinang, gambir, dan chunam (kapur gamping yang dibuat dari kulit kerang yang dipanggang). Dapat pula ditambahkan tembakau yang dirajang halus sebelum digunakan dan ditahan antara bibir dengan gigi barisan atas.
Hasil pengunyahan ketiga bahan pertama di atas adalah cairan yang membuat air ludah menjadi merah terang, yang tidak bisa dihasilkan sirih dan pinang tanpa bantuan chunam.
Menurut William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra (Komunitas Bambu, 2013), warna yang dipindahkan ke mulut dan bibir ini dipandang sebagai hiasan; sementara aromanya memberikan bau napas yang disukai. Biasanya, cairan ini (setelah fermentasi pertama yang dihasilkan oleh gamping) walaupun tidak selalu, ditelan oleh pengunyah sirih.
Nah, kebiasaan mengunyah sirih itu juga dilakukan kaum perempuan Minangkabau. Tujuannya, menjaga kesehatan gigi. Kebiasaan itu dilakukan jauh sebelum gerakan modernisasi Islam pertama berlangsung di Minangkabau.
Kepada Sindonews.com, pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif mengatakan, kebiasaan memakan sirih ini sempat terhenti ketika gerakan Paderi mengusung konsep wahabi, yang meminta setiap orang untuk meninggalkan kebiasaannya itu (menyirih).
Gerakan Paderi adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam kehidupan tatanan beragama dan kemasyarakatan di minangkabau yang dimulai pada tahun 1803 hingga tahun 1821.
Dalam menyebarkan pemikirannya, kaum Paderi mengundang golongan adat dan pemuka masyarakat dalam sebuah pertemuan di Bukit Kamang. Tuanku Nan Renceh, salah seorang tokoh gerakan Paderi, dalam dakwahnya mengajak golongan adat dan pemuka masyarakat untuk menjalankan perintah agama dan meninggalkan kebiasaan merokok, makan sirih, madat, minum tuak, sabung ayam, dan berjudi.
Di akhir dakwahnya, Tuanku Nan Renceh mengeluarkan ultimatum hukuman mati terhadap orang yang melanggar aturan syariat Islam.
Ancaman itu tidak sekadar wacana. Tuanku Nan Renceh membuktikan pada keluarganya sendiri. Ia menyuruh salah seorang anaknya untuk membunuh bibinya karena kedapatan makan sirih. Sejak peristiwa tersebut, perempuan Minangkabau pun meninggalkan kebiasaan menyirih.
Kebiasaan menyirih kembali dilakukan setelah berakhirnya perang Paderi. Bahkan, ketika gerakan modernisasi Islam jilid 2 yang dipelopori Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Thaher Jalaluddin, Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Djamil Djambek, dan lainnya, kebiasaan menyirih ini tetap berlangsung di kalangan penganut Islam tradisional.
Terlepas dari larangan menyirih yang terjadi di era gerakan Paderi di atas, menyirih merupakan kebiasaan yang dilakukan sejak lama. William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra (Komunitas Bambu, 2013) menuliskan bahwa orang-orang Sumatera secara umum selalu membawa bahan-bahan menyirih bersamanya dan menyuguhkannya kepada para tamu di setiap kesempatan.
Para pangeran menyimpan dalam wadah emas, sedangkan orang miskin menyimpannya dalan kotak tembaga atau tas tikar. Wadah sirih milik golongan atas biasanya dibuat dari perak yang dihiasi oleh gambar-gambar kasar.
Wadah ini berisi sejumlah wadah yang lebih kecil, dipasang menyudut secara pas untuk menampung pinang,daun sirih. Dan chunam-kapur gamping yang dibuat dari kulit yang dipanggang. Satu set alat ini dilengkapi dengan wadah untuk menyimpan alat (kachip) yang digunakan memotong pinang dan spatula untuk mengoleskan kapur gamping.
Setelah penghormatan pertama diberikan, sirih disajikan sebagai tanda keramahan dan tindakan kesopanan. Akan dianggap sebagai penghinaan jika seseorang yang lebih rendah kedudukannya berbicara kepada seseorang yang tinggi kedudukannya tanpa mengunyah sirih sebelum dia bicara.
Demikian Cerita Pagi hari ini. Semoga menambah pengetahuan pembaca setia Cerita Pagi.
(zik)