Bulan Ini, 4 Siswi di Surabaya Jadi Korban Rudapaksa
A
A
A
SURABAYA - Bulan ini, empat siswi di Surabaya hamil akibat dirudapaksa (perkosa) orang terdekatnya. Tiga di antara siswi tersebut, masih usia Sekolah Dasar (SD). Sedang seorang lagi, duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Ketua Hotline Pendidikan Jatim Isa Ansori menuturkan, dalam sebulan terakhir, terdapat empat siswi yang hamil dan mengalami rudapaksa. Tiga di antaranya, bahkan masih berusia SD.
"Tiga di antaranya berasal dari wilayah Surabaya Utara, Timur, dan Selatan. Sedang satu orang lainnya merupakan siswi SMK, dari wilayah Surabaya Selatan," katanya, kepada wartawan, Kamis (23/10/2014).
Korban di wilayah Surabaya Utara, kini sedang hamil lima bulan. Pelakunya diduga, teman sang ayah. Sedang siswi SD dari wilayah Surabaya Timur, berada di shelter Tesa 129.
"Saat ini, sedang dilakukan upaya pemulihan psikologi. Tinggal komunikasi si anak yang belum bisa, karena kondisi psikologinya,” ungkap Isa.
Pria berkacamata minus ini mengaku, pihaknya baru saja menerima laporan keberadaan korban di wilayah Surabaya Selatan. Kasus terbaru itu, kini sedang didalami Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim.
“Biasanya, anak yang rentan menjadi korban semacam ini ekonominya lemah, dan dari keluarga tidak harmonis,” sebutnya.
Isa yang juga ketua Divisi Riset dan Data LPA Jatim ini menyebut, faktor keluarga menjadi salah satu kunci pencegahan. Keluarga, seharusnya memberikan perlindungan.
Namun faktanya, perlindungan terhadap anak kurang, dan malah menjadi korban pelecehan oleh orang terdekatnya. Isa menilai, pergeseran umur menjadi sebuah keniscayaan. Lantaran mudahnya mengakses informasi.
“Pelaku biasanya meniru dari hal-hal yang pernah didengar dan dilihatnya. Anak tidak kuasa untuk menolak, maupun mengadukan apa yang dialaminya,” urainya.
Mengantisipasi munculnya korban-korban baru, Isa mendesak pihak terkait, utamanya Dinas Pendidikan (Dindik) untuk segera bersikap, dengan menerapkan Peraturan Daerah (perda) Tentang Perlindungan Anak.
Para siswa yang menjadi korban rudapaksa, sambung Isa, harus dilindungi. Jangan sampai, sekolah yang muridnya menjadi korban, justru berupaya “cuci tangan” dengan menyuruh anak itu pindah sekolah, dan mengeluarkannya.
“Harus ada penanganan, mulai dari pencegahan sampai reintegrasi. Bukan kebijakan yang bersifat reaktif, karena tidak menyentuh,” kritiknya.
Isa menyebut, data selama Januari-September 2013, ada 563 kasus dengan 80% anak yang menjadi korban rudapaksa. Sedang periode Januari-September 2014, terjadi peningkatan 723 kasus, dengan 80% anak menjadi korbannya.
Ketua Hotline Pendidikan Jatim Isa Ansori menuturkan, dalam sebulan terakhir, terdapat empat siswi yang hamil dan mengalami rudapaksa. Tiga di antaranya, bahkan masih berusia SD.
"Tiga di antaranya berasal dari wilayah Surabaya Utara, Timur, dan Selatan. Sedang satu orang lainnya merupakan siswi SMK, dari wilayah Surabaya Selatan," katanya, kepada wartawan, Kamis (23/10/2014).
Korban di wilayah Surabaya Utara, kini sedang hamil lima bulan. Pelakunya diduga, teman sang ayah. Sedang siswi SD dari wilayah Surabaya Timur, berada di shelter Tesa 129.
"Saat ini, sedang dilakukan upaya pemulihan psikologi. Tinggal komunikasi si anak yang belum bisa, karena kondisi psikologinya,” ungkap Isa.
Pria berkacamata minus ini mengaku, pihaknya baru saja menerima laporan keberadaan korban di wilayah Surabaya Selatan. Kasus terbaru itu, kini sedang didalami Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim.
“Biasanya, anak yang rentan menjadi korban semacam ini ekonominya lemah, dan dari keluarga tidak harmonis,” sebutnya.
Isa yang juga ketua Divisi Riset dan Data LPA Jatim ini menyebut, faktor keluarga menjadi salah satu kunci pencegahan. Keluarga, seharusnya memberikan perlindungan.
Namun faktanya, perlindungan terhadap anak kurang, dan malah menjadi korban pelecehan oleh orang terdekatnya. Isa menilai, pergeseran umur menjadi sebuah keniscayaan. Lantaran mudahnya mengakses informasi.
“Pelaku biasanya meniru dari hal-hal yang pernah didengar dan dilihatnya. Anak tidak kuasa untuk menolak, maupun mengadukan apa yang dialaminya,” urainya.
Mengantisipasi munculnya korban-korban baru, Isa mendesak pihak terkait, utamanya Dinas Pendidikan (Dindik) untuk segera bersikap, dengan menerapkan Peraturan Daerah (perda) Tentang Perlindungan Anak.
Para siswa yang menjadi korban rudapaksa, sambung Isa, harus dilindungi. Jangan sampai, sekolah yang muridnya menjadi korban, justru berupaya “cuci tangan” dengan menyuruh anak itu pindah sekolah, dan mengeluarkannya.
“Harus ada penanganan, mulai dari pencegahan sampai reintegrasi. Bukan kebijakan yang bersifat reaktif, karena tidak menyentuh,” kritiknya.
Isa menyebut, data selama Januari-September 2013, ada 563 kasus dengan 80% anak yang menjadi korban rudapaksa. Sedang periode Januari-September 2014, terjadi peningkatan 723 kasus, dengan 80% anak menjadi korbannya.
(san)