Soeharto dan Gerakan 30 September 1965
A
A
A
SOEHARTO merupakan anak desa yang ditakdirkan menjadi orang besar dalam kemelut sejarah Indonesia modern. Anak pasangan Kertosudiro dan Sukirah, ini memulai karir militernya dari titik nol.
Dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto menceritakan, masa-masa sulitnya menjadi pengangguran sebelum bergabung dengan Pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL).
"Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa saja, asal halal," katanya, menceritakan masa-masa sulitnya saat menjadi pengangguran di Solo, sebelum melamar kerja menjadi tentara KNIL, di halaman 18.
Tahun 1940, Soeharto menerima saran temannya untuk melamar kerja tentara KNIL. Setelah sempat putus asa lamarannya lama tidak mendapat jawaban, Soeharto akhirnya diterima menjadi siswa sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Perasaannya sangat senang ketika itu.
"Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima," demikian Soeharto, menggambarkan awal karirnya di dunia militer, halaman 19.
Pilihan Soeharto masuk ke tentara, ternyata tepat. Di ketentaraan, dia berhasil meraihkan kesuksesan dengan cemerlang. Karirnya terus melesat, dari pangkat kopral menjadi mayor jenderal. Namun obsesi Soeharto lebih dari itu. Dia ingin sesuatu yang lebih besar, kekuasaan.
Seperti diungkapkan mantan Wakil Perdana Menteri I Kabinet Dwikora Dr H Soebandrio. Tangan kanan Presiden Soekarno, ini ternyata sudah mengamati gerakan Kelompok Soeharto sejak masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Dalam bukunya, Soebandrio: Yang Saya Alami Peristiwa G30S, dia membongkar dugaan keterlibatan Kelompok Soeharto dalam berbagai kudeta, mulai Peristiwa 3 Juli 1946, hingga Gerakan 30 September 1965 atau G30S, dan kudeta merangkak terhadap Presiden Soekarno.
Kudeta merangkak Soeharto dibagi menjadi empat tahapan. Pertama menyingkirkan para pemimpin Angkatan Darat (AD) dengan isu Dewan Jenderal, menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI), melemahkan kekuatan pendukung Soekarno, dan mengambilalih kekuasaan.
Isu Dewan Jenderal mulai dihembuskan Kelompok Soeharto setelah Presiden Soekarno mengeluarkan ide pembentukan Angkatan Kelima, di luar angkatan yang telah ada, sebagai pasukan khusus.
Namun ide itu langsung ditolak oleh Menpangad Letjen A Yani. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa isu Dewan Jenderal yang sebenarnya adalah untuk menyerang Kelompok Yani, dan pimpinan AD. Isu ini terus dikembangkan hingga rencana adanya kup oleh Dewan Jenderal.
Isu kup Dewan Jenderal, mulai dihembuskan setelah Presiden Soekarno jatuh sakit. Soebandrio yang merupakan salah satu dokter pribadi Soekarno langsung datang ke istana, setelah mengetahui presiden sakit dan memeriksanya. Ternyata, Soekarno hanya masuk angin.
Selain Soebandrio, Ketua Central Committee (CC) PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit, juga langsung ke istana setelah mendengar kabar Soekarno sakit. Setibanya di istana, Aidit mengetahui Soekarno masuk angin.
Namun kabar yang beredar di luar menyebutkan, Soekarno sakit parah. Dari sinilah timbul isu akan adanya kup oleh Kelompok Dewan Jenderal. Isu itu menimbulkan kekhawatiran dari Komandan Batalion Pasukan Kawal Istana Cakrabirawa Letkol Untung Samsuri.
Untung lalu berinisiatif membuat suatu gerakan yang mendahului Dewan Jenderal. Namun dia tidak mau gegabah. Dia lalu menemui salah seorang pemimpin AD yang berada di luar Kelompok Dewan Jenderal, yakni Mayjen Soeharto. Pertemuan dilangsungkan di rumah Soeharto.
Hasil pertemuan itu disampaikan Untung kepada Soebandrio, saat mereka sama-sama mendekam di dalam penjara LP Cimahi, Bandung. Dikatakan Untung, Soeharto mendukung rencana tersebut.
"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu. Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu," kata Soeharto, memberi tanggapan atas rencana Untung tersebut, seperti dikutip Soebandrio, dalam buku tipisnya, halaman 22.
Selain Untung, di dalam penjara, Soebandrio juga bertemu dengan Kolonel Latief. Kepada Soebandrio, Latief juga menceritakan pertemuan dengan Soeharto. Pertemuan itu dilangsungkan sehari menjelang G30S, di rumah Soeharto, di Jalan H Agus Salim.
Dalam pertemuan itu, Latief kembali menjelaskan akan melakukan tindakan mendahului gerakan Dewan Jenderal, dengan melakukan aksi penculikan terhadap para pimpinan AD.
Namun saat itu, Soeharto tidak bereaksi. Sebab ada tamu lain di rumahnya, dan pembicaraan dialihkan kepada hal-hal lain. Pertemuan dilanjutkan pada 30 September 1965, beberapa jam sebelum penculikan dimulai. Pertemuan dilangsungkan di RSPAD Gatot Subroto.
Dalam pertemuan yang dilangsungkan pukul 23.00 WIB, Soeharto sudah diberitahu bahwa penculikan para Dewan Jenderal akan dilakukan pukul 04.00 WIB. Di rumah sakit, Soeharto sambil menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera, yang terkena tumpahan air panas.
Dari beberapa pertemuan itu dapat diketahui bahwa Soeharto berada di balik aksi penculikan para pemimpin AD. Dengan demikian G30S yang merupakan rencana Soeharto untuk menyingkirkan pesaingnya berhasil.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi bagian pertama Soeharto dan Gerakan 30 September 1965 diakhiri. Tulisan selanjutnya akan ditayangkan, pada Cerita Pagi 3 Oktober 2014. Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan tambahan wacana pembaca.
Dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto menceritakan, masa-masa sulitnya menjadi pengangguran sebelum bergabung dengan Pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL).
"Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa saja, asal halal," katanya, menceritakan masa-masa sulitnya saat menjadi pengangguran di Solo, sebelum melamar kerja menjadi tentara KNIL, di halaman 18.
Tahun 1940, Soeharto menerima saran temannya untuk melamar kerja tentara KNIL. Setelah sempat putus asa lamarannya lama tidak mendapat jawaban, Soeharto akhirnya diterima menjadi siswa sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Perasaannya sangat senang ketika itu.
"Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima," demikian Soeharto, menggambarkan awal karirnya di dunia militer, halaman 19.
Pilihan Soeharto masuk ke tentara, ternyata tepat. Di ketentaraan, dia berhasil meraihkan kesuksesan dengan cemerlang. Karirnya terus melesat, dari pangkat kopral menjadi mayor jenderal. Namun obsesi Soeharto lebih dari itu. Dia ingin sesuatu yang lebih besar, kekuasaan.
Seperti diungkapkan mantan Wakil Perdana Menteri I Kabinet Dwikora Dr H Soebandrio. Tangan kanan Presiden Soekarno, ini ternyata sudah mengamati gerakan Kelompok Soeharto sejak masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Dalam bukunya, Soebandrio: Yang Saya Alami Peristiwa G30S, dia membongkar dugaan keterlibatan Kelompok Soeharto dalam berbagai kudeta, mulai Peristiwa 3 Juli 1946, hingga Gerakan 30 September 1965 atau G30S, dan kudeta merangkak terhadap Presiden Soekarno.
Kudeta merangkak Soeharto dibagi menjadi empat tahapan. Pertama menyingkirkan para pemimpin Angkatan Darat (AD) dengan isu Dewan Jenderal, menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI), melemahkan kekuatan pendukung Soekarno, dan mengambilalih kekuasaan.
Isu Dewan Jenderal mulai dihembuskan Kelompok Soeharto setelah Presiden Soekarno mengeluarkan ide pembentukan Angkatan Kelima, di luar angkatan yang telah ada, sebagai pasukan khusus.
Namun ide itu langsung ditolak oleh Menpangad Letjen A Yani. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa isu Dewan Jenderal yang sebenarnya adalah untuk menyerang Kelompok Yani, dan pimpinan AD. Isu ini terus dikembangkan hingga rencana adanya kup oleh Dewan Jenderal.
Isu kup Dewan Jenderal, mulai dihembuskan setelah Presiden Soekarno jatuh sakit. Soebandrio yang merupakan salah satu dokter pribadi Soekarno langsung datang ke istana, setelah mengetahui presiden sakit dan memeriksanya. Ternyata, Soekarno hanya masuk angin.
Selain Soebandrio, Ketua Central Committee (CC) PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit, juga langsung ke istana setelah mendengar kabar Soekarno sakit. Setibanya di istana, Aidit mengetahui Soekarno masuk angin.
Namun kabar yang beredar di luar menyebutkan, Soekarno sakit parah. Dari sinilah timbul isu akan adanya kup oleh Kelompok Dewan Jenderal. Isu itu menimbulkan kekhawatiran dari Komandan Batalion Pasukan Kawal Istana Cakrabirawa Letkol Untung Samsuri.
Untung lalu berinisiatif membuat suatu gerakan yang mendahului Dewan Jenderal. Namun dia tidak mau gegabah. Dia lalu menemui salah seorang pemimpin AD yang berada di luar Kelompok Dewan Jenderal, yakni Mayjen Soeharto. Pertemuan dilangsungkan di rumah Soeharto.
Hasil pertemuan itu disampaikan Untung kepada Soebandrio, saat mereka sama-sama mendekam di dalam penjara LP Cimahi, Bandung. Dikatakan Untung, Soeharto mendukung rencana tersebut.
"Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu. Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu," kata Soeharto, memberi tanggapan atas rencana Untung tersebut, seperti dikutip Soebandrio, dalam buku tipisnya, halaman 22.
Selain Untung, di dalam penjara, Soebandrio juga bertemu dengan Kolonel Latief. Kepada Soebandrio, Latief juga menceritakan pertemuan dengan Soeharto. Pertemuan itu dilangsungkan sehari menjelang G30S, di rumah Soeharto, di Jalan H Agus Salim.
Dalam pertemuan itu, Latief kembali menjelaskan akan melakukan tindakan mendahului gerakan Dewan Jenderal, dengan melakukan aksi penculikan terhadap para pimpinan AD.
Namun saat itu, Soeharto tidak bereaksi. Sebab ada tamu lain di rumahnya, dan pembicaraan dialihkan kepada hal-hal lain. Pertemuan dilanjutkan pada 30 September 1965, beberapa jam sebelum penculikan dimulai. Pertemuan dilangsungkan di RSPAD Gatot Subroto.
Dalam pertemuan yang dilangsungkan pukul 23.00 WIB, Soeharto sudah diberitahu bahwa penculikan para Dewan Jenderal akan dilakukan pukul 04.00 WIB. Di rumah sakit, Soeharto sambil menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera, yang terkena tumpahan air panas.
Dari beberapa pertemuan itu dapat diketahui bahwa Soeharto berada di balik aksi penculikan para pemimpin AD. Dengan demikian G30S yang merupakan rencana Soeharto untuk menyingkirkan pesaingnya berhasil.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi bagian pertama Soeharto dan Gerakan 30 September 1965 diakhiri. Tulisan selanjutnya akan ditayangkan, pada Cerita Pagi 3 Oktober 2014. Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan tambahan wacana pembaca.
(san)