Ini Sejarah Museum Bali
A
A
A
MUSEUM Bali menjadi salah satu bangunan bersejarah di Bali. Bagaimana sejarah berdirinya Museum Bali?
Cerita Pagi kali ini akan mengajak pembaca untuk mengingat kembali sejarah berdirinya Museum Bali, yang kini lumayan sering dijadikan sebagai lokasi foto prewedding.
Sama seperti hampir seluruh wilayah Indonesia lainnya, Bali juga menjadi jajahan Belanda. Bali dikuasai Belanda sekitar tahun 1906. Salah satu bukti kekuasan zaman Belanda kala itu yang masih tertinggal hingga kini adalah Museum Bali.
Menurut Kepala Seksi Edukasi dan Reparasi Museum Bali Dewa Putu Ardana, pada masa Kerajaan Klungkung, masyarakat Bali cenderung tertutup bagi bangsa luar. Namun, setelah Belanda menduduki Pulau Dewata, Bali semakin terbuka. Hal itu merupakan peluang bagi bangsa asing lainnya untuk datang ke Bali.
Benar saja. Saat itu, banyak orang asing dari berbagai penjuru dunia mengunjungi Bali. Ada yang murni sebagai wisatawan, pedagang, maupun berbagai profesi lainnya. Namun, pada saat orang asing itu kembali ke negaranya, mereka selalu membawa koleksi benda-benda budaya Bali sebagai cenderamata dan koleksi pribadi.
Saat itulah, WFJ Kroon, Asisten Residen Bali Selatan mulai gelisah dan khawatir benda-benda budaya yang dimiliki Bali akan hilang.
"Saat itu beliau berpikir kalau keadaan itu dibiarkan maka akan mengakibatkan pemiskinan warisan budaya. Saat itu juga mulai dari budayawan dan seniman sepakat untuk membuat Museum Bali," paparnya saat ditemui tim Cerita Pagi di Museum Bali, Denpasar.
WFJ Kroon, saat itu juga mendapatkan sumbangan pemikiran dari Th A Resink tentang pelestarian budaya dan mencetuskan suatu gagasan untuk mendirikan bangunan yang akan melindungi benda-benda budaya Bali dari kepunahan.
Ide pembangunan Museum Bali didukung seluruh raja di Bali. Selanjutnya, Kroon memerintahkan Curt Grundler, seorang arsitek dari Jerman yang saat itu sedang berada di Bali, untuk membuat bangunan tersebut. Dia dibantu para undagi (ahli bangunan tradisional Bali), di antaranya I Gusti Ketut Rai dan I Gusti Ketut Gede Kandel dari Denpasar.
Untuk membuat bangunan tradisional, para undagi tersebut tidak mungkin mengabaikan asta kosala kosali (fengshui-nya Bali), yaitu sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali.
Bangunan yang didirikan harus sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik membangun rumah, pelaksanaan, serta beberapa aspek lainnya. Sementara, dari segi pembangunan modernnya dirancang oleh Curt Grundler yang menekankan kekuatan dan fungsi museum.
Setelah berembuk, bentuk arsitektur Museum Bali disepakati kombinasi antara pura (tempat sembahyang) dan puri (istana raja). Maka, didirikanlah museum itu di atas tanah seluas 2.600 meter persegi yang saat ini sudah menjadi 6.000 meter persegi. Museum meliputi tiga halaman yakni halaman luar (jaba), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman dalam (jeroan). Masing-masing dibatasi dengan tembok dan gapura. Masing-masing halaman dihubungkan dengan candi (pintu gerbang).
Setelah pembangunan rampung, museum yang memiliki ribuan benda cagar budaya itu diresmikan pada 8 Desember 1932 dengan nama Bali Museum dan dikelola Yayasan Bali Museum.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agutus 1945, Bali Museum diambil alih oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Pada 5 Januari 1965, Museum Bali diserahkan kepada pemerintah pusat di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan menjadi museum umum provinsi dengan nama Museum Negeri Provinsi Bali.
Seperti dimuat situs www.wisatadewata.com, tahun 1969 Museum Bali mendapat bantuan proyek Pelita dengan perluasan areal menjadi 6.000 meter persegi dan menambah gedung pameran yang disebut Gedung Timur. Sejak otonomi daerah Tahun 2000, Museum Negeri Provinsi Bali diserahkan kembali ke Pemerintah Provinsi Bali dengan nama UPTD Museum Bali. Dan, sejak Tahun 2008 UPTD Museum Bali berubah nama menjadi UPT Museum Bali.
Kini, museum yang terletak di pusat Kota Denpasar, tepatnya di Jalan Mayor Wisnu itu masih menjadi lokasi yang dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara, meski jumlahnya tidak terlalu banyak.
Museum yang menyimpan koleksi arkeologi, koleksi historika, koleksi seni rupa, dan koleksi etnografika dari zaman prasejarah (Bali kuno) sampai sekarang, kini kerap dijadikan lokasi foto prewedding.
Demikian sekilas sejarah berdirinya Museum Bali. Semoga menambah pengetahuan pembaca setia Cerita Pagi.
Cerita Pagi kali ini akan mengajak pembaca untuk mengingat kembali sejarah berdirinya Museum Bali, yang kini lumayan sering dijadikan sebagai lokasi foto prewedding.
Sama seperti hampir seluruh wilayah Indonesia lainnya, Bali juga menjadi jajahan Belanda. Bali dikuasai Belanda sekitar tahun 1906. Salah satu bukti kekuasan zaman Belanda kala itu yang masih tertinggal hingga kini adalah Museum Bali.
Menurut Kepala Seksi Edukasi dan Reparasi Museum Bali Dewa Putu Ardana, pada masa Kerajaan Klungkung, masyarakat Bali cenderung tertutup bagi bangsa luar. Namun, setelah Belanda menduduki Pulau Dewata, Bali semakin terbuka. Hal itu merupakan peluang bagi bangsa asing lainnya untuk datang ke Bali.
Benar saja. Saat itu, banyak orang asing dari berbagai penjuru dunia mengunjungi Bali. Ada yang murni sebagai wisatawan, pedagang, maupun berbagai profesi lainnya. Namun, pada saat orang asing itu kembali ke negaranya, mereka selalu membawa koleksi benda-benda budaya Bali sebagai cenderamata dan koleksi pribadi.
Saat itulah, WFJ Kroon, Asisten Residen Bali Selatan mulai gelisah dan khawatir benda-benda budaya yang dimiliki Bali akan hilang.
"Saat itu beliau berpikir kalau keadaan itu dibiarkan maka akan mengakibatkan pemiskinan warisan budaya. Saat itu juga mulai dari budayawan dan seniman sepakat untuk membuat Museum Bali," paparnya saat ditemui tim Cerita Pagi di Museum Bali, Denpasar.
WFJ Kroon, saat itu juga mendapatkan sumbangan pemikiran dari Th A Resink tentang pelestarian budaya dan mencetuskan suatu gagasan untuk mendirikan bangunan yang akan melindungi benda-benda budaya Bali dari kepunahan.
Ide pembangunan Museum Bali didukung seluruh raja di Bali. Selanjutnya, Kroon memerintahkan Curt Grundler, seorang arsitek dari Jerman yang saat itu sedang berada di Bali, untuk membuat bangunan tersebut. Dia dibantu para undagi (ahli bangunan tradisional Bali), di antaranya I Gusti Ketut Rai dan I Gusti Ketut Gede Kandel dari Denpasar.
Untuk membuat bangunan tradisional, para undagi tersebut tidak mungkin mengabaikan asta kosala kosali (fengshui-nya Bali), yaitu sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali.
Bangunan yang didirikan harus sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik membangun rumah, pelaksanaan, serta beberapa aspek lainnya. Sementara, dari segi pembangunan modernnya dirancang oleh Curt Grundler yang menekankan kekuatan dan fungsi museum.
Setelah berembuk, bentuk arsitektur Museum Bali disepakati kombinasi antara pura (tempat sembahyang) dan puri (istana raja). Maka, didirikanlah museum itu di atas tanah seluas 2.600 meter persegi yang saat ini sudah menjadi 6.000 meter persegi. Museum meliputi tiga halaman yakni halaman luar (jaba), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman dalam (jeroan). Masing-masing dibatasi dengan tembok dan gapura. Masing-masing halaman dihubungkan dengan candi (pintu gerbang).
Setelah pembangunan rampung, museum yang memiliki ribuan benda cagar budaya itu diresmikan pada 8 Desember 1932 dengan nama Bali Museum dan dikelola Yayasan Bali Museum.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agutus 1945, Bali Museum diambil alih oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Pada 5 Januari 1965, Museum Bali diserahkan kepada pemerintah pusat di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan menjadi museum umum provinsi dengan nama Museum Negeri Provinsi Bali.
Seperti dimuat situs www.wisatadewata.com, tahun 1969 Museum Bali mendapat bantuan proyek Pelita dengan perluasan areal menjadi 6.000 meter persegi dan menambah gedung pameran yang disebut Gedung Timur. Sejak otonomi daerah Tahun 2000, Museum Negeri Provinsi Bali diserahkan kembali ke Pemerintah Provinsi Bali dengan nama UPTD Museum Bali. Dan, sejak Tahun 2008 UPTD Museum Bali berubah nama menjadi UPT Museum Bali.
Kini, museum yang terletak di pusat Kota Denpasar, tepatnya di Jalan Mayor Wisnu itu masih menjadi lokasi yang dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara, meski jumlahnya tidak terlalu banyak.
Museum yang menyimpan koleksi arkeologi, koleksi historika, koleksi seni rupa, dan koleksi etnografika dari zaman prasejarah (Bali kuno) sampai sekarang, kini kerap dijadikan lokasi foto prewedding.
Demikian sekilas sejarah berdirinya Museum Bali. Semoga menambah pengetahuan pembaca setia Cerita Pagi.
(zik)