Cicit Sultan Mahmud Badaruddin II Masih Hidup di Manado

Senin, 25 Agustus 2014 - 16:28 WIB
Cicit Sultan Mahmud Badaruddin II Masih Hidup di Manado
Cicit Sultan Mahmud Badaruddin II Masih Hidup di Manado
A A A
MANADO - Adalah Abdul Rahman Tahir, pria yang berusia senja ini merupakan keturunan ketiga dari Sultan Mahmud Badaruddin II. Kakek ibunya Tahir adalah Letnan Djakaria Djunaedi, yakni anak dari Pangeran Prabu Dikara Muhammad Yasin. Di mana Pangeran Dikara Muhammad Yasin inilah adalah anak dari SMB II saat di pengasingan.

Rumah Abdul Rahman Tahir di Lingkungan II, Kelurahan Islam, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut) tak semegah rumah disekilingnya yang bak istana.

Rumah Tahir hanya berukuran 32 meter persegi, tinggi tembok sekira 2,5 meter, beratapkan seng. Sisi kiri adalah tempat jualan barang campuran, pun tak begitu banyak.

Di belakang tempat jualan tersebut adalah kamar. Sementara sisi kiri adalah ruang tamu dan bagian belakang, dapur sekaligus kamar mandi.

"Inilah kediaman kami, tempat saya dilahirkan sebelum kemerdekaan. Jangan lihat rumah dan isinya, tapi keramahan kami bisa menerima siapa saja yang datang," ujar Tahir Senin, (25/8/2014).

Jika sepintas terpikir, Tahir sebenarnya masih bisa menikmati harta warisan nenek buyutnya, yakni Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II), seorang pemimpin Kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821).

Kekayaannya pun tak perlu diragukan leluhurnya ini dikenal sebagai salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan gudangnya penuh dengan dolar dan emas yang telah ditimbun.

Bahkan nama SMB II ini menjadi nama Bandara Internasional Palembang serta ada juga dipecahan rupiah Rp10.000 pada 25 Oktober 2005, hingga kini.

Tahir menjelaskan, pada 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di Loji Sungai Alur.

Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.

Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, SMB II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

"Namun setelah itu kami sekeluarga banyak yang hijrah ke Manado sebelum kemerdekaan," jelas pria yang berumur 86 tahun pada 8 September 2014 ini.

Tahir lahir dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya sudah meninggal, nama ibunya Suaida Djakaria asal Palembang dan ayah dan ayah Muhammad Tahir asal Banjarmasin Kalimantan Selatan.

"Dari delapan bersaudara, empat lelaki dan empat perempuan, saya adalah anak ke tujuh, dan semua saudara saya sudah meninggal, yang hidup tinggal saya sendiri hingga saat ini," jelasnya.

Sebelum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kata dia, dirinya ikut berperang melawan kolonial Belanda dan Jepang di Manado.

Sehingga dirinya mendapatkan SK 744/VI/1982 sebagai gelar kehormatan Veteran Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, NPV 18.004.810, golongan V dengan masa bakti 1,4 tahun.

"SK ini dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Wapangab Laksamana TNI Sudomo dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Administrasi Veteran XVIII Sultteng Soekemi," ujar pejuang yang telah renta ini.

Mesti tak menyebut berapa yang diterimanya dari SK tersebut, Tahir mengaku, banyak kecilnya bukan masalah.

"Yang jelas ada yang kami tunggu setiap bulannya. Uang perjuangan, halal, tanpa korupsi," ungkapnya.

Saat ini Tahir hidup bersama empat orang anak. Tiga cucu dan dua cicit. Keempat anaknya itu didapatkan dari istri keduanya Alwiah Salim Badarab, istri pertamanya sudah meninggal dan tidak ada anak.

Untuk menghidupi keluarga, kata dia, didapatkan dari hasil jualan barang campuran, selama ini.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3699 seconds (0.1#10.140)