Perhutani Sulap Hutan Lindung Jadi Tambak Udang

Senin, 23 Juni 2014 - 19:53 WIB
Perhutani Sulap Hutan...
Perhutani Sulap Hutan Lindung Jadi Tambak Udang
A A A
BLITAR - Sebanyak 18,690 hektare hutan jati milik KPH Perhutani Blitar menjadi lokasi budi daya udang vannamei atau udang putih. Hal ini kontan membuat geram anggota DPRD Kabupaten Blitar yang melakukan inspeksi mendadak (sidak) di kawasan itu.

"Pengalihan fungsi hutan lindung tersebut berlangsung sejak tahun 2006. Kami pastikan ini ilegal, karena hingga kini adminstrasinya masih dalam proses," ujar Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Blitar M Ansori, kepada wartawan, Senin (23/6/2014).

Selain di Plandirejo, pengalihan fungsi hutan lindung menjadi tambak udang juga terjadi di wilayah Kecamatan Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung. Lokasi yang hanya bersebelahan dekat itu (dengan Plandirejo) telah merusak 13,125 hektare hutan jati.

Total keseluruhan (Blitar dan Tulungagung) kawasan hutan yang menjelma tambak udang mencapai 40 hektare lebih. Tambak yang dikelola PT Lima Satu Lapan Sidoarjo tersebut mempekerjakan sebanyak 80 orang. Setiap hari volume udang yang dihasilkan sebanyak 80-120 ekor per meter persegi.

Informasinya, hewan asli perairan Pasifik Barat Amerika Latin, dan mulai dikenalkan pertama kali tahun 1970 di Tahiti tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Karenanya, pihak perusahaan tidak pernah melayani transaksi dengan masyarakat sekitar.

Sekedar diketahui, wilayah kewenangan KPH Perhutani Blitar yang mencapai 2.979 hektare, meliputi seluruh kawasan hutan di Kabupaten Blitar hingga Kabupaten Tulungagung.

“Karena kewenangan kita di Blitar, tentu yang kita permasalahkan yang ada di wilayah Kabupaten Blitar,“ terang Ansori.

Dewan juga mempertanyakan legalitas alih fungsi ribuan hektare hutan menjadi kebun ketela dan ladang tebu. Pengubahan fungsi hutan tersebut dicurigai hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi oknum petugas perhutani.

Hal itu serupa dengan kasus pembalakan liar yang telah terjadi. Bahwa ditengarai pelaku adalah sekelompok orang suruhan oknum perhutani setempat. Untuk menciptakan kambing hitam, oknum perhutani menuduh warga setempat yang kepergok memungut ranting pohon, sebagai pelaku pembalakan.

“Kita telah menerima laporan tidak sedikit warga desa yang ditangkap dan diperkarakan secara hukum hanya karena mengambil ranting pohon. Sementara disisi lain perhutani justru melakukan pelanggaran hukum secara terang-terangan,“ tegas Ansori.

Meski Perhutani berstatus sebagai lembaga vertikal. Dimana segala pertanggungjawaban dilakukan kepada induk organisasinya. Menurut Ansori, pengubahan kawasan hutan lindung berpengaruh langsung pada masyarakat setempat.

Setidaknya, alih fungsi tersebut menabrak prinsip program LMDH. “Karenanya kami mendesak pihak perhutani untuk mengembalikan kawasan hutan lindung seperti semula,“ tegasnya.

Sementara tudingan alih fungsi ilegal itu sempat membuat terkejut Wakil Adm KPH Perhutani Blitar Wawan Gunawan. Petinggi hutan yang hadir dalam sidak itu mengakui bahwa proses administrasi alih fungsi termasuk tukar guling hingga kini masih berjalan.

Wawan tidak bisa menjelaskan kapan semua syarat tersebut akan segera terpenuhi, mengingat terhitung sejak tahun 2006 prosesnya sudah berjalan delapan tahun (2014). “Memang prosesnya masih berjalan. Namun saat ini semuanya sudah ditangani divre (divisi regional Perhutani Jawa Timur)," dalihnya singkat.

Wawan yang didampingi sejumlah petugas KPH Perhutani Blitar juga mangkir dari pertemuan yang digelar antara DPRD, muspika, kepala desa dan warga setempat.

Sementara di lokasi sidak, yang bersangkutan sebelumnya menyatakan akan hadir agar semua permasalahan bisa selesai dengan baik. Namun faktanya, rombongan pejabat Perhutani KPH Blitar memilih menghindari pertemuan.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1137 seconds (0.1#10.140)