Polisi Bantah Pukuli Ibu-ibu dan Petani di Rembang
A
A
A
REMBANG - Kapolres Rembang AKBP Muhammad Kurniawan membantah pukuli ibu-ibu dan petani saat pendirian tambang Karst dan pabrik semen PT Semen Indonesia, pada Senin 16 Juni 2014. Dia mengaku tidak ada bentrok dengan warga saat kejadian.
Dijelaskan, saat kejadian dirinya berada di lapangan. Menurutnya, peristiwa sebenarnya yang terjadi adalah, rombongan ibu-ibu yang menolak pendirian tambang Karst dan pabrik semen PT Semen Indonesia menggelar doa bersama. Jumlah mereka sekitar 50 orang.
"Mereka tidak berbuat apa-apa, kecuali hanya berdiri di kiri dan kanan jalan, dan saat rombongan Muspida lewat mereka berdiri di tengah jalan menghalangi," katanya, dalam pesan elektronik yang diterima redaksi, Senin (23/6/2014).
Ditambahkan dia, oleh karena aksi ibu-ibu dan petani itu tidak berizin, maka pihak kepolisian membawa mereka ke pinggir jalan agar rombongan bisa lewat.
“Mereka itu ibu-ibu, jadi tak masuk akal kalau sampai terjadi bentrokan dengan aparat,” jelas Kapolres menambahkan.
Sementara itu, Dewan Nasional KPA Jawa Tengah Lukito mengatakan, peristiwa yang terjadi bukan seperti yang diungkapkan Kapolres Rembang AKBP Muhammad Kurniawan.
"Dulur-dulur di Rembang yang melakukan aksi blokade disweeping, hingga ke semak-semak oleh preman dan tentara," tegasnya.
Hal senada diungkapkan Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Kabupaten Rembang Ming Ming Lukiarti. Dikatakan, polisi bukan memindahkan peserta demo, tetapi melempar beberapa ibu-ibu ke semak-semak, hingga menyebabkan Murtini dari Desa Timbrangan dan Suparmi dari Desa Tegaldowo pingsan.
"Tak hanya itu saja, polisi dan tentara juga melakukan pengejaran terhadap warga penolak pabrik semen yang saat itu memantau dari kejauhan," tambahnya.
Usai membubarkan aksi warga, polisi melakukan sweeping terhadap wartawan. Mereka yang tidak dapat menunjukkan kartu pers ditangkap dan digelandang ke mobil polisi dengan tuduhan menjadi wartawan palsu.
"Hasilnya, enam laki-laki yang saat itu menjadi tim dokumentasi aksi, dan satu perempuan peserta aksi ditangkap. Selang beberapa jam kemudian mereka dilepas," terangnya.
Dia melanjutkan, pada malam hari suasana di sekitar tambang bertambah mencekam. Warga yang melanjutkan aksi keprihatinan dengan mendirikan tenda di dekat pintu masuk tapak pabrik, menerima intimidasi dari anggota Polsek Bulumantingan dan Koramil Bulumantingan.
"Tenda yang didirikan diobrak-abrik. Mereka melarang warga dari Desa Timbrangan mendistribusikan makanan untuk peserta aksi. Bahkan polisi juga melarang warga untuk menggunakan lampu penerangan," bebernya.
Dijelaskan, saat kejadian dirinya berada di lapangan. Menurutnya, peristiwa sebenarnya yang terjadi adalah, rombongan ibu-ibu yang menolak pendirian tambang Karst dan pabrik semen PT Semen Indonesia menggelar doa bersama. Jumlah mereka sekitar 50 orang.
"Mereka tidak berbuat apa-apa, kecuali hanya berdiri di kiri dan kanan jalan, dan saat rombongan Muspida lewat mereka berdiri di tengah jalan menghalangi," katanya, dalam pesan elektronik yang diterima redaksi, Senin (23/6/2014).
Ditambahkan dia, oleh karena aksi ibu-ibu dan petani itu tidak berizin, maka pihak kepolisian membawa mereka ke pinggir jalan agar rombongan bisa lewat.
“Mereka itu ibu-ibu, jadi tak masuk akal kalau sampai terjadi bentrokan dengan aparat,” jelas Kapolres menambahkan.
Sementara itu, Dewan Nasional KPA Jawa Tengah Lukito mengatakan, peristiwa yang terjadi bukan seperti yang diungkapkan Kapolres Rembang AKBP Muhammad Kurniawan.
"Dulur-dulur di Rembang yang melakukan aksi blokade disweeping, hingga ke semak-semak oleh preman dan tentara," tegasnya.
Hal senada diungkapkan Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Kabupaten Rembang Ming Ming Lukiarti. Dikatakan, polisi bukan memindahkan peserta demo, tetapi melempar beberapa ibu-ibu ke semak-semak, hingga menyebabkan Murtini dari Desa Timbrangan dan Suparmi dari Desa Tegaldowo pingsan.
"Tak hanya itu saja, polisi dan tentara juga melakukan pengejaran terhadap warga penolak pabrik semen yang saat itu memantau dari kejauhan," tambahnya.
Usai membubarkan aksi warga, polisi melakukan sweeping terhadap wartawan. Mereka yang tidak dapat menunjukkan kartu pers ditangkap dan digelandang ke mobil polisi dengan tuduhan menjadi wartawan palsu.
"Hasilnya, enam laki-laki yang saat itu menjadi tim dokumentasi aksi, dan satu perempuan peserta aksi ditangkap. Selang beberapa jam kemudian mereka dilepas," terangnya.
Dia melanjutkan, pada malam hari suasana di sekitar tambang bertambah mencekam. Warga yang melanjutkan aksi keprihatinan dengan mendirikan tenda di dekat pintu masuk tapak pabrik, menerima intimidasi dari anggota Polsek Bulumantingan dan Koramil Bulumantingan.
"Tenda yang didirikan diobrak-abrik. Mereka melarang warga dari Desa Timbrangan mendistribusikan makanan untuk peserta aksi. Bahkan polisi juga melarang warga untuk menggunakan lampu penerangan," bebernya.
(san)