Tutup Dolly, Pemkot Surabaya Langgar UU
A
A
A
SURABAYA - Tim Advokasi Front Pekerja Lokalisasi (FPL) Dolly menilai, rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menutup lokalisasi Dolly, pada 19 Juni mendatang, melanggar Undang-undang (UU) No.2 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU tersebut dikatakan, setiap kebijakan harus ada kepastian hukum, tertib penyelengaraan negara, dan mengutamakan kepentingan umum. Selain itu, pasal 22 juga menjelaskan, Pemerintah Kota Surabaya memiliki kewajiban memperhatikan kualitas kehidupan masyarakat, pemerataan, dan keadilan.
Mengacu pada UU itu, tim advokasi ini menganggap pemkot berkewajiban mengutamakan kesejahteraan warga. "Menutup lokalisasi Dolly tidak boleh dilakukan sebelum perekonomian warga terdampak mapan," kata Ketua Tim Advokasi FPL Anis, Jumat (30/5/2014).
Selain melanggar UU, rencana penutupan itu juga akan memicu konflik vertikal antara warga dengan pemeritah. "Jadi, pemkot harus memperhatikan UU terlebih dulu jika tidak ingin memiliki masalah hukum di kemudian hari nanti," terangnya.
Anis menegaskan, keadilan dan kesejahteraan merupakan hak warga. Persoalan lokalisasi tidak hanya aspek ekonomi, tapi aspek sosial. Pemkot kerap menggunakan alasan yang tidak masuk akal.
Banyaknya angka kriminalitas karena disebabkan keberadaan lokalisasi tidak bisa dibenarkan. Begitu pula dengan perdagangan anak tidak memiliki dasar yang kuat. Selama tujuh tahun menekuni masalah anak, tidak satupun pelaku trafficking berasal dari warga lokalisasi.
"Tidak masuk akal jika keberadaan lokalisasi dianggap memicu kriminalitas. Itu hanya dalih pemkot untuk membuat opini publik yang buruk soal Dolly. Ini tidak bisa dibenarkan," jelasnya.
Salah seorang warga Kelurahan Putat Jaya (tempat beroperasinya Dolly) Linda mengungkapkan, pembekalan sebelum penutupan seperti pelatihan membuat kue dan kursus menjahit tidak maksimal.
Pemkot dianggap tidak serius memberikan program tersebut pada warga, mucikari, dan pekerja seks komersial (PSK). Pelatihan yang mestinya membutuhkan waktu lama, hanya diadakan dua hingga tiga hari.
"Pelatihan itu setidaknya enam bulan. Kalau cuma dua sampai tiga hari, bisa apa? Kami disuruh bikin resoles, kalau orang desa itu tidak bisa dengan waktu sesingkat itu," ungkapnya.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengusulkan, pemkot menampung aspirasi dari banyak pihak, sebelum Dolly benar-benar ditutup, pada 19 juni mendatang. Sebab, menutup lokalisasi bukan perkara mudah.
Perundingan dengan warga ini sangat perlu untuk menghindari terjadinya konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Hal itu karena penutupan bukan semata-mata kepentingan pemerintah.
"Para PSK memiliki latar belakang persoalan yang beragam sebelum terjun jadi PSK. Ada yang disebabkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, dan lainnya. Masalah tidak akan selesai hanya dengan memberi pesangon dan pelatihan ketrampilan," pungkasnya.
Dalam UU tersebut dikatakan, setiap kebijakan harus ada kepastian hukum, tertib penyelengaraan negara, dan mengutamakan kepentingan umum. Selain itu, pasal 22 juga menjelaskan, Pemerintah Kota Surabaya memiliki kewajiban memperhatikan kualitas kehidupan masyarakat, pemerataan, dan keadilan.
Mengacu pada UU itu, tim advokasi ini menganggap pemkot berkewajiban mengutamakan kesejahteraan warga. "Menutup lokalisasi Dolly tidak boleh dilakukan sebelum perekonomian warga terdampak mapan," kata Ketua Tim Advokasi FPL Anis, Jumat (30/5/2014).
Selain melanggar UU, rencana penutupan itu juga akan memicu konflik vertikal antara warga dengan pemeritah. "Jadi, pemkot harus memperhatikan UU terlebih dulu jika tidak ingin memiliki masalah hukum di kemudian hari nanti," terangnya.
Anis menegaskan, keadilan dan kesejahteraan merupakan hak warga. Persoalan lokalisasi tidak hanya aspek ekonomi, tapi aspek sosial. Pemkot kerap menggunakan alasan yang tidak masuk akal.
Banyaknya angka kriminalitas karena disebabkan keberadaan lokalisasi tidak bisa dibenarkan. Begitu pula dengan perdagangan anak tidak memiliki dasar yang kuat. Selama tujuh tahun menekuni masalah anak, tidak satupun pelaku trafficking berasal dari warga lokalisasi.
"Tidak masuk akal jika keberadaan lokalisasi dianggap memicu kriminalitas. Itu hanya dalih pemkot untuk membuat opini publik yang buruk soal Dolly. Ini tidak bisa dibenarkan," jelasnya.
Salah seorang warga Kelurahan Putat Jaya (tempat beroperasinya Dolly) Linda mengungkapkan, pembekalan sebelum penutupan seperti pelatihan membuat kue dan kursus menjahit tidak maksimal.
Pemkot dianggap tidak serius memberikan program tersebut pada warga, mucikari, dan pekerja seks komersial (PSK). Pelatihan yang mestinya membutuhkan waktu lama, hanya diadakan dua hingga tiga hari.
"Pelatihan itu setidaknya enam bulan. Kalau cuma dua sampai tiga hari, bisa apa? Kami disuruh bikin resoles, kalau orang desa itu tidak bisa dengan waktu sesingkat itu," ungkapnya.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengusulkan, pemkot menampung aspirasi dari banyak pihak, sebelum Dolly benar-benar ditutup, pada 19 juni mendatang. Sebab, menutup lokalisasi bukan perkara mudah.
Perundingan dengan warga ini sangat perlu untuk menghindari terjadinya konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Hal itu karena penutupan bukan semata-mata kepentingan pemerintah.
"Para PSK memiliki latar belakang persoalan yang beragam sebelum terjun jadi PSK. Ada yang disebabkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, dan lainnya. Masalah tidak akan selesai hanya dengan memberi pesangon dan pelatihan ketrampilan," pungkasnya.
(san)