Strategi Pemkot Surabaya terkait Dolly dianggap keliru
A
A
A
Sindonews.com - Pemberian pelatihan keterampilan dan uang saku bagi Pekerja Seks Komersial (PSK) dan mucikari terkait penutupan lokalisasi Dolly oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dianggap strategi keliru. Sebab, setelah Dolly ditutup, para penghuninya akan kehilangan mata pencaharian untuk bertahan hidup. Mereka belum tentu bisa hidup dengan uang saku yang hanya sekitar Rp5 jutaan dan bekal keterampilan.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo mengaku heran dengan strategi yang kini tengah digalakkan oleh pemkot tersebut. Uang saku Rp5 juta tentu akan habis dalam waktu yang tidak lama. Kemudian, ketika punya keterampilan, orang yang bersangkutan belum tentu bisa mendapat penghasilan. Sebab, barang yang diproduksi atau yang dihasilkan belum tentu bisa laku terjual.
"Seharusnya, tidak hanya uang saku dan pemberian keterampilan, pemkot juga harus siap menanggung atau memberi bantuan keuangan pada orang-orang yang terdampak atas penutupan lokalisasi ini. Pemberian bantuan ini harus dilakukan terus menerus sampai orang yang bersangkutan bisa mandiri dan bisa hidup tanpa bantuan pemerintah. Soal berapa rupiah yang harus diberikan tiap bulan, itu teknis saja," katanya, Minggu (11/5/2014)
Suko menambahkan, jika dalam kurun waktu tertentu ternyata masih banyak yang belum bisa mandiri, pemkot juga harus memperpanjang program pemberian bantuan keuangan ini sampai berhasil. Menurut dia, di negara mana pun, termasuk Amerika Serikat (AS), program pengentasan kemiskinan membutuhkan waktu yang panjang, kemudian dana yang jumlahnya besar. Justru kesan yang sekarang muncul, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, lebih sibuk mencari pencitraan. Caranya, dengan mencoba mendapat penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Jangan hanya karena award (penghargaan) rakyat menjadi korban. Ingat, pemerintah harus mampu menjamin kelangsungan hidup warga, termasuk Dolly," terangnya.
Terkait dengan penolakan warga setempat, lanjut Suko, ini karena masalah komunikasi antara pemkot dengan penghuni lokalisasi yang kurang baik. Seharusnya, sejak awal pemkot memberi penjelasan secara menyeluruh ke warga, tentang apa saja yang alasan penutupan dan nanti bagaimana penanganan warga terdampak. Penolakan warga, murni karena motif ekonomi. Mereka khawatir tidak dapat penghasilan lagi setelah lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini ditutup.
"Pemkot dalam masalah Dolly ini harus mampu menyelesaikan secara win-win solution. Tidak ada yang dirugikan dan dikorbankan. Saya paham bahwa pemkot ingin menegakkan perda (peraturan daerah), tapi jangan sampai masyarakat jadi korban dari perda itu," pintanya.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo mengaku heran dengan strategi yang kini tengah digalakkan oleh pemkot tersebut. Uang saku Rp5 juta tentu akan habis dalam waktu yang tidak lama. Kemudian, ketika punya keterampilan, orang yang bersangkutan belum tentu bisa mendapat penghasilan. Sebab, barang yang diproduksi atau yang dihasilkan belum tentu bisa laku terjual.
"Seharusnya, tidak hanya uang saku dan pemberian keterampilan, pemkot juga harus siap menanggung atau memberi bantuan keuangan pada orang-orang yang terdampak atas penutupan lokalisasi ini. Pemberian bantuan ini harus dilakukan terus menerus sampai orang yang bersangkutan bisa mandiri dan bisa hidup tanpa bantuan pemerintah. Soal berapa rupiah yang harus diberikan tiap bulan, itu teknis saja," katanya, Minggu (11/5/2014)
Suko menambahkan, jika dalam kurun waktu tertentu ternyata masih banyak yang belum bisa mandiri, pemkot juga harus memperpanjang program pemberian bantuan keuangan ini sampai berhasil. Menurut dia, di negara mana pun, termasuk Amerika Serikat (AS), program pengentasan kemiskinan membutuhkan waktu yang panjang, kemudian dana yang jumlahnya besar. Justru kesan yang sekarang muncul, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, lebih sibuk mencari pencitraan. Caranya, dengan mencoba mendapat penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Jangan hanya karena award (penghargaan) rakyat menjadi korban. Ingat, pemerintah harus mampu menjamin kelangsungan hidup warga, termasuk Dolly," terangnya.
Terkait dengan penolakan warga setempat, lanjut Suko, ini karena masalah komunikasi antara pemkot dengan penghuni lokalisasi yang kurang baik. Seharusnya, sejak awal pemkot memberi penjelasan secara menyeluruh ke warga, tentang apa saja yang alasan penutupan dan nanti bagaimana penanganan warga terdampak. Penolakan warga, murni karena motif ekonomi. Mereka khawatir tidak dapat penghasilan lagi setelah lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini ditutup.
"Pemkot dalam masalah Dolly ini harus mampu menyelesaikan secara win-win solution. Tidak ada yang dirugikan dan dikorbankan. Saya paham bahwa pemkot ingin menegakkan perda (peraturan daerah), tapi jangan sampai masyarakat jadi korban dari perda itu," pintanya.
(zik)