Ikut pelatihan Mapala, mahasiswa IAIN Cirebon muntah darah
A
A
A
Sindonews.com - Seorang mahasiswa Semester III Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Abdul Qodir Jaelani (19), diduga menjadi korban kekerasan senior hingga tewas.
Pihak keluarga bersikeras melaporkan kematian Jaelani kepada pihak berwajib, karena dinilai tidak wajar. Sementara pihak kampus, terus berupaya menawarkan jalan kekeluargaan sebagai penyelesaiannya.
Pihak keluarga menduga, Jaelani mendapat siksaan selama 13 hari saat mengikuti pendidikan pelatihan dasar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Kelestarian Alam (Mahapeka). Dugaan tersebut lahir saat belakangan ditemukan adanya kejanggalan dalam kematian mahasiswa asal Desa Lungbenda RT 03/01, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon.
Kejanggalan itu, bermula ketika korban dibawa ke rumah sakit. Berdasarkan informasi, korban sempat masuk dua rumah sakit berbeda, sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Masing-masing ICU RS Djuanda Kabupaten Kuningan, serta RS Sumber Waras Kabupaten Cirebon.
Menurut penuturan paman korban Hariri (30), saat masuk ICU RS Djuanda, korban mengalami memar pada pelipis mata, dada, perut, serta luka pada kaki. Korban juga diketahui pihak keluarga mengalami muntah darah.
“Korban masuk rumah sakit pada 25 Januari sekitar pukul 11.00 WIB. Tapi kami baru diberitahu pihak kampus melalui seniornya sekitar pukul 21.00 WIB, rentang waktunya terlalu lama,” sesal dia, kepada wartawan, Senin (3/2/2014).
Beruntung, salah satu perawat di RS Djuanda merupakan tetangga korban yang kemudian memberitahukannya kepada pihak keluarga sebelum pihak kampus. Dari RS Djuanda, pihak keluarga selanjutnya merujuk korban ke RSUD Gunung Jati Kota Cirebon dan RS Sumber Waras Kabupaten Cirebon.
Kondiri korban sempat membaik setelah mendapat perawatan di ICU RS Sumber Waras selama tiga hari. Namun saat dalam perawatan di ruang perawatan biasa, korban kembali mengalami pendarahan hingga kemudian dinyatakan meninggal dunia, Minggu 1 Februari 2014 sekitar pukul 22.30 WIB, setelah dirawat sekitar tujuh hari.
Pihak keluarga mencurigai kematian korban, karena korban tak memiliki riwayat penyakit. Apalagi, menurut keterangan salah satu dokter di RS Djuanda, luka-luka dalam di tubuh korban disebabkan benda tumpul.
“Saya pernah mencoba bertanya kepada korban mengenai kondisinya sebelum dibawa ke rumah sakit, tapi dia terkesan ketakutan. Apalagi di sekitarnya selalu ada senior yang mendampingi, makanya kami jadi bertanya-tanya,” tandasnya.
Sementara itu, pihak kampus menemui keluarga korban di kediamannya. Menurut ibu korban Indun, pihak kampus berjanji akan menanggung semua biaya tahlilan hingga 1.000 hari kematian korban.
“Rektornya juga janji akan menggratiskan biaya kuliah adik kedua Jaelani jika masuk IAIN hingga lulus kelak,” tutur dia.
Tawaran itu pun diterima pihak keluarga. Namun begitu, mereka rupanya bakal tetap meneruskan kasus tersebut ke ranah hukum. Apalagi, kasus itu telah dilaporkan ke Polsek Palimanan pagi kemarin, sebagai bahan pertimbangan agar kejadian serupa tak terulang di masa depan.
Jaelani sendiri dikenal sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sakad dan Indun. Sakad dikenal sebagai sopir taksi di Jakarta. Jenazah Jaelani sendiri telah dikebumikan Minggu 2 Februari 2014 pagi di pemakaman desa. Hingga kemarin, kediaman korban didatangi pihak kampus maupun aparat desa.
Terpisah, pihak IAIN melalui Pembantu Rektor III Cecep Sumarna bersama Pembantu Rektor II Wahidin kemarin menggelar jumpa pers terkait kasus ini. Menurut Cecep, telah dibentuk tim investigasi internal untuk mengetahui kebenaran di balik tewasnya Jaelani.
“Untuk kegiatan kemahasiswaan, kami sudah tegaskan tak ada izin untuk segala tindak kekerasan. Kami jamin, kalau ada kekerasan, sanksi akademis berupa dikeluarkan dari kampus akan kami jatuhkan bagi mahasiswa yang melakukannya,” tegas dia.
Dia tak menampik, kegiatan Mahapeka memang menggunakan ukuran fisik. Namun selama sekitar 23 tahun berdiri, kasus ini merupakan yang pertama kali. Dia pun menyatakan, saat kejadian senior-senior Mahapeka telah melakukan tindakan pertolongan pertama terhadap korban, dan sejauh ini Jaelani diindikasi meninggal akibat sakit.
Salah satu mahasiswa yang tergabung dalam Mahapeka dan merupakan pemateri kegiatan, Saefudin mengatakan, tidak ada metode kekerasan dalam pelatihan yang mereka gelar selama 13 hari itu. Terlebih sampai melibatkan benda-benda tertentu yang disebut-sebut dokter sebagai penyebab kematian Jaelani.
“Saat kejadian, kami sedang senam pagi. Korban kemudian mengeluh sakit dan terduduk sampai muntah darah, kami langsung bawa ke RS Djuanda,” jelas dia.
Dia menyebut kemungkinan korban terkena dahan atau ranting, mengingat sehari sebelum kejadian mereka melakukan latihan bertahan hidup (survival). Karena itu, analisa dokter mengenai penyebab kematian korban disebut dia hanya menunjukkan ketidaktahuan kondisi mereka di lapangan.
Namun dia memastikan korban dalam kondisi sehat sebelum mengikuti pelatihan. Mengenai keterlambatan informasi dari pihak panitia kepada pihak keluarga, dia mengatakan hal itu tak lebih dari persoalan teknis.
“Kami kesulitan mencari alamat korban, karena dia hanya mencantumkan nama desa, sedangkan wilayah desa terhitung luas,” kilah dia.
Pihak keluarga bersikeras melaporkan kematian Jaelani kepada pihak berwajib, karena dinilai tidak wajar. Sementara pihak kampus, terus berupaya menawarkan jalan kekeluargaan sebagai penyelesaiannya.
Pihak keluarga menduga, Jaelani mendapat siksaan selama 13 hari saat mengikuti pendidikan pelatihan dasar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Kelestarian Alam (Mahapeka). Dugaan tersebut lahir saat belakangan ditemukan adanya kejanggalan dalam kematian mahasiswa asal Desa Lungbenda RT 03/01, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon.
Kejanggalan itu, bermula ketika korban dibawa ke rumah sakit. Berdasarkan informasi, korban sempat masuk dua rumah sakit berbeda, sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Masing-masing ICU RS Djuanda Kabupaten Kuningan, serta RS Sumber Waras Kabupaten Cirebon.
Menurut penuturan paman korban Hariri (30), saat masuk ICU RS Djuanda, korban mengalami memar pada pelipis mata, dada, perut, serta luka pada kaki. Korban juga diketahui pihak keluarga mengalami muntah darah.
“Korban masuk rumah sakit pada 25 Januari sekitar pukul 11.00 WIB. Tapi kami baru diberitahu pihak kampus melalui seniornya sekitar pukul 21.00 WIB, rentang waktunya terlalu lama,” sesal dia, kepada wartawan, Senin (3/2/2014).
Beruntung, salah satu perawat di RS Djuanda merupakan tetangga korban yang kemudian memberitahukannya kepada pihak keluarga sebelum pihak kampus. Dari RS Djuanda, pihak keluarga selanjutnya merujuk korban ke RSUD Gunung Jati Kota Cirebon dan RS Sumber Waras Kabupaten Cirebon.
Kondiri korban sempat membaik setelah mendapat perawatan di ICU RS Sumber Waras selama tiga hari. Namun saat dalam perawatan di ruang perawatan biasa, korban kembali mengalami pendarahan hingga kemudian dinyatakan meninggal dunia, Minggu 1 Februari 2014 sekitar pukul 22.30 WIB, setelah dirawat sekitar tujuh hari.
Pihak keluarga mencurigai kematian korban, karena korban tak memiliki riwayat penyakit. Apalagi, menurut keterangan salah satu dokter di RS Djuanda, luka-luka dalam di tubuh korban disebabkan benda tumpul.
“Saya pernah mencoba bertanya kepada korban mengenai kondisinya sebelum dibawa ke rumah sakit, tapi dia terkesan ketakutan. Apalagi di sekitarnya selalu ada senior yang mendampingi, makanya kami jadi bertanya-tanya,” tandasnya.
Sementara itu, pihak kampus menemui keluarga korban di kediamannya. Menurut ibu korban Indun, pihak kampus berjanji akan menanggung semua biaya tahlilan hingga 1.000 hari kematian korban.
“Rektornya juga janji akan menggratiskan biaya kuliah adik kedua Jaelani jika masuk IAIN hingga lulus kelak,” tutur dia.
Tawaran itu pun diterima pihak keluarga. Namun begitu, mereka rupanya bakal tetap meneruskan kasus tersebut ke ranah hukum. Apalagi, kasus itu telah dilaporkan ke Polsek Palimanan pagi kemarin, sebagai bahan pertimbangan agar kejadian serupa tak terulang di masa depan.
Jaelani sendiri dikenal sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sakad dan Indun. Sakad dikenal sebagai sopir taksi di Jakarta. Jenazah Jaelani sendiri telah dikebumikan Minggu 2 Februari 2014 pagi di pemakaman desa. Hingga kemarin, kediaman korban didatangi pihak kampus maupun aparat desa.
Terpisah, pihak IAIN melalui Pembantu Rektor III Cecep Sumarna bersama Pembantu Rektor II Wahidin kemarin menggelar jumpa pers terkait kasus ini. Menurut Cecep, telah dibentuk tim investigasi internal untuk mengetahui kebenaran di balik tewasnya Jaelani.
“Untuk kegiatan kemahasiswaan, kami sudah tegaskan tak ada izin untuk segala tindak kekerasan. Kami jamin, kalau ada kekerasan, sanksi akademis berupa dikeluarkan dari kampus akan kami jatuhkan bagi mahasiswa yang melakukannya,” tegas dia.
Dia tak menampik, kegiatan Mahapeka memang menggunakan ukuran fisik. Namun selama sekitar 23 tahun berdiri, kasus ini merupakan yang pertama kali. Dia pun menyatakan, saat kejadian senior-senior Mahapeka telah melakukan tindakan pertolongan pertama terhadap korban, dan sejauh ini Jaelani diindikasi meninggal akibat sakit.
Salah satu mahasiswa yang tergabung dalam Mahapeka dan merupakan pemateri kegiatan, Saefudin mengatakan, tidak ada metode kekerasan dalam pelatihan yang mereka gelar selama 13 hari itu. Terlebih sampai melibatkan benda-benda tertentu yang disebut-sebut dokter sebagai penyebab kematian Jaelani.
“Saat kejadian, kami sedang senam pagi. Korban kemudian mengeluh sakit dan terduduk sampai muntah darah, kami langsung bawa ke RS Djuanda,” jelas dia.
Dia menyebut kemungkinan korban terkena dahan atau ranting, mengingat sehari sebelum kejadian mereka melakukan latihan bertahan hidup (survival). Karena itu, analisa dokter mengenai penyebab kematian korban disebut dia hanya menunjukkan ketidaktahuan kondisi mereka di lapangan.
Namun dia memastikan korban dalam kondisi sehat sebelum mengikuti pelatihan. Mengenai keterlambatan informasi dari pihak panitia kepada pihak keluarga, dia mengatakan hal itu tak lebih dari persoalan teknis.
“Kami kesulitan mencari alamat korban, karena dia hanya mencantumkan nama desa, sedangkan wilayah desa terhitung luas,” kilah dia.
(san)