MUI tuding pemerintah 'lembek' soal miras
A
A
A
Sindonews.com - Banyaknya korban jiwa akibat menenggak minuman keras oplosan dinilai sebagai dampak tak adanya kepastian hukum terkait peredaran.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) M Yunus mengatakan, sejak dicabutnya Peraturan Presiden (Perpres) nomer 3 Tahun 1973 tentang Tata Niaga Miras, tidak ada aturan pengganti lainnya.
"Banyak beberapa aturan di daerah seperti Perda tidak berlaku karena bertentangan dengan aturan di atasnya," kata Yunus saat dihubungi, Senin (6/1/2013).
MUI dari pusat hingga daerah sudah lama menggaungkan untuk pelarangan miras. Rupanya, upaya tersebut tidak didukung dengan aturan baku yang kuat dalam dalam hal ini undang-undang. Kata Yunus, miras adalah sumber dari segala kejahatan. Selain itu, beredarnya miras oplosan juga berdampak kepada masyarakat.
Beberapa waktu lalu di Surabaya yang menelan korban 11 Orang. Pada saat yang sama di Gresik juga ada tiga orang. Baru-baru ini di Mojokerto menelan korban 15 Orang.
"Seharusnya ada pelarangan. Tidak perlu toleransi kadar alkohol. Selama ini yang diperbolehkan adalah kadar 0-5 persen boleh diperjualbelikan. Harusnya, berapapun kadar alkoholnya ya tetap dilarang," ujar Yunus.
Ia mencontohkan, di Cirebon pernah membuat Perda terkiat pelarangan miras hingga kadar nol persen. Hal itu tentu penyikapan dari kondisi wilayah setempat. Rupanya, Perda tersebut kandas di Kementrian Dalam Negeri karena bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Sehingga, Perda tersebut urung dilaksanakan.
"Nah sekarang persoalannya di pusat. Mau enggak membuat aturan baku terkait pelarangan miras. MUI memang sudah lama menggaungkan itu tapi tidak ada respon," tandasnya.
Yunus juga berharap kepada aparat penegak hukum untuk terus melakukan razia miras oplosan. "Mari kita jaga generasi kita. Kalau tidak siapa lagi. Sayangkan, banyak yang mati sia-sia gara-gara miras itu," pungkasnya.
Baca:
Korban oplosan di Mojokerto menjadi 15 orang tewas
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) M Yunus mengatakan, sejak dicabutnya Peraturan Presiden (Perpres) nomer 3 Tahun 1973 tentang Tata Niaga Miras, tidak ada aturan pengganti lainnya.
"Banyak beberapa aturan di daerah seperti Perda tidak berlaku karena bertentangan dengan aturan di atasnya," kata Yunus saat dihubungi, Senin (6/1/2013).
MUI dari pusat hingga daerah sudah lama menggaungkan untuk pelarangan miras. Rupanya, upaya tersebut tidak didukung dengan aturan baku yang kuat dalam dalam hal ini undang-undang. Kata Yunus, miras adalah sumber dari segala kejahatan. Selain itu, beredarnya miras oplosan juga berdampak kepada masyarakat.
Beberapa waktu lalu di Surabaya yang menelan korban 11 Orang. Pada saat yang sama di Gresik juga ada tiga orang. Baru-baru ini di Mojokerto menelan korban 15 Orang.
"Seharusnya ada pelarangan. Tidak perlu toleransi kadar alkohol. Selama ini yang diperbolehkan adalah kadar 0-5 persen boleh diperjualbelikan. Harusnya, berapapun kadar alkoholnya ya tetap dilarang," ujar Yunus.
Ia mencontohkan, di Cirebon pernah membuat Perda terkiat pelarangan miras hingga kadar nol persen. Hal itu tentu penyikapan dari kondisi wilayah setempat. Rupanya, Perda tersebut kandas di Kementrian Dalam Negeri karena bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Sehingga, Perda tersebut urung dilaksanakan.
"Nah sekarang persoalannya di pusat. Mau enggak membuat aturan baku terkait pelarangan miras. MUI memang sudah lama menggaungkan itu tapi tidak ada respon," tandasnya.
Yunus juga berharap kepada aparat penegak hukum untuk terus melakukan razia miras oplosan. "Mari kita jaga generasi kita. Kalau tidak siapa lagi. Sayangkan, banyak yang mati sia-sia gara-gara miras itu," pungkasnya.
Baca:
Korban oplosan di Mojokerto menjadi 15 orang tewas
(rsa)