Korupsi politeknik rugikan negara Rp1,8 M lebih
A
A
A
Sindonews.com - Penyidik Polrestabes Makassar terus melakukan pendalaman kasus dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan Gedung Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Setelah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, polisi kini membidik beberapa orang lainnya yang diduga sengaja menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp1,8 miliar.
Kasat Reskrim Polrestabes AKBP M Endro mengungkapkan, dari hasil penyelidikan, bisa saja kerugian negara lebih dari Rp1,8 miliar, berdasarkan perhitungan awal.
Pasalnya, dari 29 hektare lahan yang dibebaskan oleh politeknik, terdapat 39 lahan milik negara yang diduga diperjualbelikan.
"Dari 67 pemilik lahan yang dibebaskan, ada 39 tanah milik negara di dalamnya," sebut Endro, kepada wartawan, Selasa (17/12/2013).
Hanya saja, pihaknya belum menyentuh ke arah perjualbelian lahan milik negara ini. Pasalnya, saat ini polisi masih mendalami beberapa lahan yang dibayarkan kepada bukan pemilik aslinya.
"Kita sudah koordinasi dengan BPKP. Untuk saat ini fokus di sini dulu, setelah itu baru kita melangkah ke sana," sebut mantan Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sulselbar ini.
Dalam kasus ini, polrestabes telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Masing-masing mantan Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang Suradi, Kepala Dusun Moncongloe Maros Abd Hamid, serta seorang warga yang mengklaim pemilik lahan, Juliar.
Informasi yang dihimpun wartawan, sejak awal telah ditemukan banyak penyimpangan dari kasus pembangunan gedung politeknik yang mendapatkan kucuran dana Rp20 miliar dari Kemendikbud RI ini.
Dari ketetapan anggaran tersebut, harusnya pembangunan gedung baru politeknik ini berlokasi di Kota Makassar. Namun oleh panitia, dipindahkan ke Kabupaten Maros tanpa persetujuan dari Kemendikbud RI.
Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang Dr Pirman mengaku, pembebasan lahan di Dusun Moncongloe, Kabupaten Maros ini dilakukan pada tahun 2009 lalu.
Dia pun mengaku heran, kalau pada tahun ini baru diperkarakan kasusnya di penyidik kepolisian. Pirman menambahkan, meski kasusnya ditangani di polrestabes, namun pembangunan gedung baru politeknik tetap berjalan sebagaimana yang direncanakan.
"Kalau belakangan dikatakan yang kita bayarkan itu bukan pemilik sah, itu bukan salah kami. Kan saat itu sudah ada surat yang dibuatkan pemerintah setempat," dalih Pirman.
Setelah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, polisi kini membidik beberapa orang lainnya yang diduga sengaja menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp1,8 miliar.
Kasat Reskrim Polrestabes AKBP M Endro mengungkapkan, dari hasil penyelidikan, bisa saja kerugian negara lebih dari Rp1,8 miliar, berdasarkan perhitungan awal.
Pasalnya, dari 29 hektare lahan yang dibebaskan oleh politeknik, terdapat 39 lahan milik negara yang diduga diperjualbelikan.
"Dari 67 pemilik lahan yang dibebaskan, ada 39 tanah milik negara di dalamnya," sebut Endro, kepada wartawan, Selasa (17/12/2013).
Hanya saja, pihaknya belum menyentuh ke arah perjualbelian lahan milik negara ini. Pasalnya, saat ini polisi masih mendalami beberapa lahan yang dibayarkan kepada bukan pemilik aslinya.
"Kita sudah koordinasi dengan BPKP. Untuk saat ini fokus di sini dulu, setelah itu baru kita melangkah ke sana," sebut mantan Kasubdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Sulselbar ini.
Dalam kasus ini, polrestabes telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Masing-masing mantan Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang Suradi, Kepala Dusun Moncongloe Maros Abd Hamid, serta seorang warga yang mengklaim pemilik lahan, Juliar.
Informasi yang dihimpun wartawan, sejak awal telah ditemukan banyak penyimpangan dari kasus pembangunan gedung politeknik yang mendapatkan kucuran dana Rp20 miliar dari Kemendikbud RI ini.
Dari ketetapan anggaran tersebut, harusnya pembangunan gedung baru politeknik ini berlokasi di Kota Makassar. Namun oleh panitia, dipindahkan ke Kabupaten Maros tanpa persetujuan dari Kemendikbud RI.
Direktur Politeknik Negeri Ujung Pandang Dr Pirman mengaku, pembebasan lahan di Dusun Moncongloe, Kabupaten Maros ini dilakukan pada tahun 2009 lalu.
Dia pun mengaku heran, kalau pada tahun ini baru diperkarakan kasusnya di penyidik kepolisian. Pirman menambahkan, meski kasusnya ditangani di polrestabes, namun pembangunan gedung baru politeknik tetap berjalan sebagaimana yang direncanakan.
"Kalau belakangan dikatakan yang kita bayarkan itu bukan pemilik sah, itu bukan salah kami. Kan saat itu sudah ada surat yang dibuatkan pemerintah setempat," dalih Pirman.
(san)