Eks Perdana Menteri GAM resmi jabat Wali Nanggroe Aceh
A
A
A
Sindonews.com - Wali Nanggroe Aceh ke-9 resmi dijabat mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Malik Mahmud, setelah dikukuhkan dalam sidang paripurna istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Prosesi pengukuhan ditandai dengan alunan azan disertai pengambilan sumpah di Gedung DPRA.
Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, selain memimpin sidang, merangkap sebagai saksi sumpah Wali Nanggroe, Senin (16/12/2013). Ribuan undangan menghadiri acara ini.
Mereka yang tak muat di dalam, ditampung di bawah tenda halaman gedung dewan dan bisa juga menyaksikan prosesi pengukuhan lewat layar monitor. Umumnya tamu yang hadir mengenakan pakaian adat.
Tamu dari Pemerintah Pusat yang hadir antara lain Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, Anggota DPR RI Nasir Djamil, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid.
Selain undangan resmi, ratusan simpatisan Partai Aceh dari berbagai daerah juga datang ke Banda Aceh dengan menumpangi mobil bak terbuka. Mereka memeriahkan pengukuhan mantan Perdana Menteri GAM sebagai pemimpin Lembaga Wali Nanggroe.
Wali Nanggroe merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sebagai pemersatu rakyat dengan pendekatan adat dan budaya. Ia bisa menasihati eksekutif dan legislatif.
Malik Mahmud dalam sambutannya mengatakan, Aceh harus menatap ke depan untuk merajut kembali peradaban yang pernah jaya pada masa silam. “Keragaman budaya, tamaddun, dan adat istiadat dari pada suku-suku bangsa yang berada di Aceh, harus kita jadikan sebagai khazanah utama kebangkitan peradaban Aceh,” ujarnya.
Menurutnya tak ada artinya status kekhususan dan keistimewaan Aceh, jika pranata peradaban tak lagi berfungsi sebagai pilar pembangunan. “Kita perlu melakukan revitalisasi seluruh pranata peradaban dan menjadikannya sebagai bagian dari peradaban Indonesia dan dunia,” sebut Malik.
Dia menyebutkan ada tiga tantangan besar di Aceh yang harus ditemukan resolusi dalam pembangunan secara utuh berbasis nilai peradaban, yakni ketidak adilan ekonomi, kesenjangan sosial dan wilayah.
Salah satu terobosan yang perlu dilakukan, kata Malik, adalah merevolusi pendidikan agar sejalan dengan proses transformasi pengetahuan. “Hakekat pendidikan itu membebaskan seseorang untuk berinovasi dan berkreativitas sesuai dengan potensi yang dimilikinya,” katanya.
Sehingga, lanjut dia, pendidikan tak lagi semata-mata untuk mempersiapkan orang menjadi pegawai pemerintah, melainkan menumbuhkan budaya berinovasi dan kreativitas dalam mengelola sumber daya alam dan berkemampuan wirausaha.
Menurutnya rakyat Aceh harus terlibat dalam mengawal perdamaian dunia, sehingga terlindung dari ancaman globalisasi budaya dan merebut peluang ekonomiglobal masyarakat ekonomi ASEAN pada 2015.
Sementara itu Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar, Wali Nanggroe menjadi tempat mengadu bagi masyarakat Aceh yang belum sejahtera. Dengan adanya Wali Nanggroe, lanjut dia, Aceh bisa mengukir lagi sejarah gemilang masa lalu.
Prosesi pengukuhan ditandai dengan alunan azan disertai pengambilan sumpah di Gedung DPRA.
Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, selain memimpin sidang, merangkap sebagai saksi sumpah Wali Nanggroe, Senin (16/12/2013). Ribuan undangan menghadiri acara ini.
Mereka yang tak muat di dalam, ditampung di bawah tenda halaman gedung dewan dan bisa juga menyaksikan prosesi pengukuhan lewat layar monitor. Umumnya tamu yang hadir mengenakan pakaian adat.
Tamu dari Pemerintah Pusat yang hadir antara lain Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, Anggota DPR RI Nasir Djamil, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid.
Selain undangan resmi, ratusan simpatisan Partai Aceh dari berbagai daerah juga datang ke Banda Aceh dengan menumpangi mobil bak terbuka. Mereka memeriahkan pengukuhan mantan Perdana Menteri GAM sebagai pemimpin Lembaga Wali Nanggroe.
Wali Nanggroe merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sebagai pemersatu rakyat dengan pendekatan adat dan budaya. Ia bisa menasihati eksekutif dan legislatif.
Malik Mahmud dalam sambutannya mengatakan, Aceh harus menatap ke depan untuk merajut kembali peradaban yang pernah jaya pada masa silam. “Keragaman budaya, tamaddun, dan adat istiadat dari pada suku-suku bangsa yang berada di Aceh, harus kita jadikan sebagai khazanah utama kebangkitan peradaban Aceh,” ujarnya.
Menurutnya tak ada artinya status kekhususan dan keistimewaan Aceh, jika pranata peradaban tak lagi berfungsi sebagai pilar pembangunan. “Kita perlu melakukan revitalisasi seluruh pranata peradaban dan menjadikannya sebagai bagian dari peradaban Indonesia dan dunia,” sebut Malik.
Dia menyebutkan ada tiga tantangan besar di Aceh yang harus ditemukan resolusi dalam pembangunan secara utuh berbasis nilai peradaban, yakni ketidak adilan ekonomi, kesenjangan sosial dan wilayah.
Salah satu terobosan yang perlu dilakukan, kata Malik, adalah merevolusi pendidikan agar sejalan dengan proses transformasi pengetahuan. “Hakekat pendidikan itu membebaskan seseorang untuk berinovasi dan berkreativitas sesuai dengan potensi yang dimilikinya,” katanya.
Sehingga, lanjut dia, pendidikan tak lagi semata-mata untuk mempersiapkan orang menjadi pegawai pemerintah, melainkan menumbuhkan budaya berinovasi dan kreativitas dalam mengelola sumber daya alam dan berkemampuan wirausaha.
Menurutnya rakyat Aceh harus terlibat dalam mengawal perdamaian dunia, sehingga terlindung dari ancaman globalisasi budaya dan merebut peluang ekonomiglobal masyarakat ekonomi ASEAN pada 2015.
Sementara itu Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar, Wali Nanggroe menjadi tempat mengadu bagi masyarakat Aceh yang belum sejahtera. Dengan adanya Wali Nanggroe, lanjut dia, Aceh bisa mengukir lagi sejarah gemilang masa lalu.
(rsa)