Pembangunan di Aceh tertinggal, pemerintah salah arah
A
A
A
Sindonews.com - Aceh sebagai provinsi otonomi khusus, sudah menerima dana Rp100 triliun sejak 2008. Tapi uang yang melimpah, belum mampu mewujudkan pembangunan bermutu dan membebaskan provinsi itu dari kemiskinan.
Disinyalir, hal itu terjadi karena perencanaan pembangunan yang keliru. Seperti diungkapkan Advisor Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) Prof Raja Masbar.
“Diperlukan terobosan baru dalam meningkatkan kualitas perencanaan yang menjawab kebutuhan dan tantangan,” ujarnya, dalam diskusi Belanja Publik Aceh 2013 di 3in1 Cafe, Banda Aceh, Kamis (28/11/2013).
Dalam laporan analisa terhadap belanja publik Aceh, disebutkan dana yang diterima Aceh pada 2013 meningkat hampir dua kali lipat secara riil, jika dibandingkan dengan 2007.
Bahkan, penerimaan Aceh tahun ini terhitung sebesar Rp25,5 triliun, terdiri dari penerimaan pemerintah provinsi sebesar Rp10,1 triliun, dan pemerintah kabupaten/kota sebesar Rp15,4 triliun.
Peningkatan penerimaan, berasal dari transfer pemerintah pusat, terutamanya dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Otonomi Khusus, yang terhitung meningkat sebesar 12 persen dari tahun 2012.
Sejak 2008, hingga akhir tahun 2013, Aceh telah menerima lebih dari Rp100 triliun, yang menempatkan daerah ini sebagai salah satu daerah terkaya dengan tingkat penerimaan perkapita ke lima tertinggi di Indonesia, terhitung sebesar Rp5,5 juta. Penerimaan perkapita rata-rata daerah lain, hanya sebesar Rp4,2 juta.
"Dukungan dana belum mampu dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh untuk merencanakan pembangunan ke arah yang lebih baik. Untuk tahun ini, Pemerintah Aceh malah mengulangi kekeliruan perencanaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya," tukasnya.
Misalnya, kekeliruan di bidang infrastruktur, pembangunan jalan belum mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan populasi.
Perencanaan anggaran belum berdasarkan data. Sebagian jalan di wilayah barat selatan Aceh, banyak berada dalam kondisi rusak, namun belum menjadi prioritas dalam anggaran.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Senasib, sektor pendidikan. Meski ruang kelas sudah memadai sejak 2010, tapi perencanaan 2013 masih berorientasi pada pembangunan fisik. Pembangunan fisik primer dan sekunder mencapai Rp411 miliar atau 44 persen.
Antara lain gedung sekolah dan ruang kelas baru (RKB) dengan alokasi dana sebesar Rp204,6 miliar atau 22 persen dari keseluruhan belanja pendidikan. Sedangkan alokasi dana untuk peningkatan mutu sekolah, mutu siswa, dan mutu guru, serta tenaga kependidikan terhitung sebesar Rp288 millar atau 31 persen.
Raja Masbar juga mengungkapkan, adanya kekeliruan dalam perencanaan sektor kesehatan 2013 yang terulang seperti tahun lalu. Misalnya alokasi belanja kuratif yang menjadi prioritas dibandingkan preventif.
Alokasi untuk kuratif terhitung sebesar Rp735 miliar atau 66 persen dari belanja sektor kesehatan Provinsi Aceh. Sedangkan belanja suportif seperti untuk kegiatan perkantoran dan belanja, tidak langsung juga terhitung meningkat, tercatat sebesar Rp239 miliar atau 22 persen.
Sedangkan belanja preventif (pencegahan) masih tergolong rendah, hanya sebesar Rp 26 miliar atau 2 persen. Sisa selebihnya adalah untuk program preventif-kuratif.
PECAPP menilai, kekeliruan perencanaan terjadi akibat kegagalan menterjemahkan prioritas kebutuhan pembangunan (berdasarkan data), dengan cita-cita serta kepentingan lainnya. ”Analisis yang tepat belum menjadi dasar kebijakan dalam belanja anggaran,” sambung Raja Masbar.
Menurutnya, fungsi diskusi publik yang dilaksanakan PECAPP adalah untuk mengingatkan pemerintah daerah agar bisa pengambil kebijakan pembangunan lebih baik ke depan. ”Intervensi yang sanggup kita lakukan hanya advokasi,” tukasnya.
Dalam kesempatan itu, pihaknya merekomendasikan, agar belanja publik ke depan harus berdasarkan analisis yang tepat terhadap kebutuhan dan tantangan, sehingga meminimalisi kekeliruan belanja. ”Diperlukan komitmen politik yang kuat antara eksekutif dan legislatif,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Ekonomi di Bappeda Aceh Zulkifli mengakui adanya kekeliruan itu. Menurutnya, kekeliruan yang terjadi dalam perencanaan di masa lalu dan tahun ini akan terus diperbaiki, sehingga menjadi lebih baik pada 2014 mendatang.
Dia mengakui adanya kelemahan perencanaan, yang dapat dilihat salah satunya pada belum maksimalnya realisasi anggaran 2013, padahal sudah akhir November. ”Baru sekitar 60 persen,” tambahnya.
Menurut Zulkifli, pihaknya terus membenahi ketersedian data-data dan usulan perencanaan pembangunan dari bawah, melalui musrembang misalnya, untuk memaksimalnya capaian pembangunan di masa mendatang.
Disinyalir, hal itu terjadi karena perencanaan pembangunan yang keliru. Seperti diungkapkan Advisor Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) Prof Raja Masbar.
“Diperlukan terobosan baru dalam meningkatkan kualitas perencanaan yang menjawab kebutuhan dan tantangan,” ujarnya, dalam diskusi Belanja Publik Aceh 2013 di 3in1 Cafe, Banda Aceh, Kamis (28/11/2013).
Dalam laporan analisa terhadap belanja publik Aceh, disebutkan dana yang diterima Aceh pada 2013 meningkat hampir dua kali lipat secara riil, jika dibandingkan dengan 2007.
Bahkan, penerimaan Aceh tahun ini terhitung sebesar Rp25,5 triliun, terdiri dari penerimaan pemerintah provinsi sebesar Rp10,1 triliun, dan pemerintah kabupaten/kota sebesar Rp15,4 triliun.
Peningkatan penerimaan, berasal dari transfer pemerintah pusat, terutamanya dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Otonomi Khusus, yang terhitung meningkat sebesar 12 persen dari tahun 2012.
Sejak 2008, hingga akhir tahun 2013, Aceh telah menerima lebih dari Rp100 triliun, yang menempatkan daerah ini sebagai salah satu daerah terkaya dengan tingkat penerimaan perkapita ke lima tertinggi di Indonesia, terhitung sebesar Rp5,5 juta. Penerimaan perkapita rata-rata daerah lain, hanya sebesar Rp4,2 juta.
"Dukungan dana belum mampu dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh untuk merencanakan pembangunan ke arah yang lebih baik. Untuk tahun ini, Pemerintah Aceh malah mengulangi kekeliruan perencanaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya," tukasnya.
Misalnya, kekeliruan di bidang infrastruktur, pembangunan jalan belum mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan populasi.
Perencanaan anggaran belum berdasarkan data. Sebagian jalan di wilayah barat selatan Aceh, banyak berada dalam kondisi rusak, namun belum menjadi prioritas dalam anggaran.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Senasib, sektor pendidikan. Meski ruang kelas sudah memadai sejak 2010, tapi perencanaan 2013 masih berorientasi pada pembangunan fisik. Pembangunan fisik primer dan sekunder mencapai Rp411 miliar atau 44 persen.
Antara lain gedung sekolah dan ruang kelas baru (RKB) dengan alokasi dana sebesar Rp204,6 miliar atau 22 persen dari keseluruhan belanja pendidikan. Sedangkan alokasi dana untuk peningkatan mutu sekolah, mutu siswa, dan mutu guru, serta tenaga kependidikan terhitung sebesar Rp288 millar atau 31 persen.
Raja Masbar juga mengungkapkan, adanya kekeliruan dalam perencanaan sektor kesehatan 2013 yang terulang seperti tahun lalu. Misalnya alokasi belanja kuratif yang menjadi prioritas dibandingkan preventif.
Alokasi untuk kuratif terhitung sebesar Rp735 miliar atau 66 persen dari belanja sektor kesehatan Provinsi Aceh. Sedangkan belanja suportif seperti untuk kegiatan perkantoran dan belanja, tidak langsung juga terhitung meningkat, tercatat sebesar Rp239 miliar atau 22 persen.
Sedangkan belanja preventif (pencegahan) masih tergolong rendah, hanya sebesar Rp 26 miliar atau 2 persen. Sisa selebihnya adalah untuk program preventif-kuratif.
PECAPP menilai, kekeliruan perencanaan terjadi akibat kegagalan menterjemahkan prioritas kebutuhan pembangunan (berdasarkan data), dengan cita-cita serta kepentingan lainnya. ”Analisis yang tepat belum menjadi dasar kebijakan dalam belanja anggaran,” sambung Raja Masbar.
Menurutnya, fungsi diskusi publik yang dilaksanakan PECAPP adalah untuk mengingatkan pemerintah daerah agar bisa pengambil kebijakan pembangunan lebih baik ke depan. ”Intervensi yang sanggup kita lakukan hanya advokasi,” tukasnya.
Dalam kesempatan itu, pihaknya merekomendasikan, agar belanja publik ke depan harus berdasarkan analisis yang tepat terhadap kebutuhan dan tantangan, sehingga meminimalisi kekeliruan belanja. ”Diperlukan komitmen politik yang kuat antara eksekutif dan legislatif,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Ekonomi di Bappeda Aceh Zulkifli mengakui adanya kekeliruan itu. Menurutnya, kekeliruan yang terjadi dalam perencanaan di masa lalu dan tahun ini akan terus diperbaiki, sehingga menjadi lebih baik pada 2014 mendatang.
Dia mengakui adanya kelemahan perencanaan, yang dapat dilihat salah satunya pada belum maksimalnya realisasi anggaran 2013, padahal sudah akhir November. ”Baru sekitar 60 persen,” tambahnya.
Menurut Zulkifli, pihaknya terus membenahi ketersedian data-data dan usulan perencanaan pembangunan dari bawah, melalui musrembang misalnya, untuk memaksimalnya capaian pembangunan di masa mendatang.
(san)