Pasangan manula hidup terlantar di gubuk kecil
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah Daerah (Pemda) Polewali Mandar sering kali mengklaim berhasil menuntaskan kemiskinan, namun kenyataannya masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Seperti, pasangan suami istri Daeng Siga (76) dan Lebang (80) ini. Keduanya hidup dalam keterbatasan tanpa ada perhatian dari pemerintah.
Mereka hidup di sebuah gubuk kecil berukuran 2x3 meter dengan beratap daun nipa serta karung bekas di tengah kebun milik warga Desa Rea, Kecamatan Binuang selama bertahun-tahun lamanya. Dinding gubuk itu juga terlihat lapuk.
Pasangan suami istri renta itu tidak memiliki sanak saudara. Mereka seringkali hidup berpindah pindah. Untuk makan sehari-hari hanya berharap belas kasihan dari warga sekitar. Itupun hanya nasi dan garam yang mereka makan.
"Kadang, saya terpaksa memakan beras rusak, sisa-sisa yang saya pungut dari pabrik gabah," tutur Daeng, dengan nada yang terbata-bata.
Sebenarnya mereka juga mendapatkan jatah beras miskin (Raskin) dari pemerintah, tapi jumlahnya tidak mencukupi memenuhi kebutuhan keduanya dalam sebulan.
Daeng ataupun Lebang sebenarnya tak malas untuk bekerja, namun kondisi usia yang terlalu tua membuat keduanya tak prodotif lagi. Terlebih kondisi Lebang, yang sudah sakit-sakitnya serta buta.
Untuk menyediakan makanan Daeng Sigalah yang melakukan semuanya. Terkadang Daeng juga memanfaatkan sisa tenaganya untuk menanam ubi di depan gubuk mereka.
Entah sampai kapan Daeng dan Lebang akan hidup dalam keadaan seperti itu. Mereka berharap ada uluran tangan dari pemerintah untuk mengentaskan keduanya dari kemiskinan.
Seperti, pasangan suami istri Daeng Siga (76) dan Lebang (80) ini. Keduanya hidup dalam keterbatasan tanpa ada perhatian dari pemerintah.
Mereka hidup di sebuah gubuk kecil berukuran 2x3 meter dengan beratap daun nipa serta karung bekas di tengah kebun milik warga Desa Rea, Kecamatan Binuang selama bertahun-tahun lamanya. Dinding gubuk itu juga terlihat lapuk.
Pasangan suami istri renta itu tidak memiliki sanak saudara. Mereka seringkali hidup berpindah pindah. Untuk makan sehari-hari hanya berharap belas kasihan dari warga sekitar. Itupun hanya nasi dan garam yang mereka makan.
"Kadang, saya terpaksa memakan beras rusak, sisa-sisa yang saya pungut dari pabrik gabah," tutur Daeng, dengan nada yang terbata-bata.
Sebenarnya mereka juga mendapatkan jatah beras miskin (Raskin) dari pemerintah, tapi jumlahnya tidak mencukupi memenuhi kebutuhan keduanya dalam sebulan.
Daeng ataupun Lebang sebenarnya tak malas untuk bekerja, namun kondisi usia yang terlalu tua membuat keduanya tak prodotif lagi. Terlebih kondisi Lebang, yang sudah sakit-sakitnya serta buta.
Untuk menyediakan makanan Daeng Sigalah yang melakukan semuanya. Terkadang Daeng juga memanfaatkan sisa tenaganya untuk menanam ubi di depan gubuk mereka.
Entah sampai kapan Daeng dan Lebang akan hidup dalam keadaan seperti itu. Mereka berharap ada uluran tangan dari pemerintah untuk mengentaskan keduanya dari kemiskinan.
(lns)